Nukilan.id – Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Aceh melalui Bidang Penelitian dan Pengembangan (Litbang) melaksanakan Seminar UMKM dan Komoditi Unggulan Sektor Pertanian dengan tema “Melalui Hilirisasi dan Spesialisasi Produk Kita Wujudkan Daya Saing Perekonomian Daerah”.
Kegiatan ini dibuka langsung Kepala Bappeda Aceh, H. T. Ahmad Dadek,SH, MH yang diwakili Kepala Bidang Litbang Bappeda Aceh, Dr. Ir. Ema Alemina, MP di Aula Bappeda Aceh, Banda Aceh, Jum’at (2/12/2022).
Dalam sambutannya, Kepala Bappeda Aceh, Ahmad Dadek menyebutkan selama pandemi covid-19, hampir seluruh wilayah di Aceh tahun 2020 terutama sektor ekonomi mengalami tekanan berupa macetnya kegiatan-kegiatan ekonomi. Namun, ditengah lesunya aktifitas perekonomian Aceh tersebut terdapat beberapa sektor yang mampu bertahan dan tumbuh positif di antaranya sektor pertanian, pertambangan, listrik dan gas, konstruksi, informasi komunikasi, jasa pendidikan dan jasa kesehatan.
“Jika kita lihat PDRB Aceh pada sub sektor tanaman perkebunan pada tahun 2020 sebesar 11.172,02 miliar dengan laju pertumbuhan sebesar 5,24 persen. Pada tahun 2021 angka ini mengalami peningkatan menjadi 11.737,26 miliar dan mengalami penurunan sedikit sedikit pada laju pertumbuhan yaitu menjadi 5,06 persen,” sebutnya.
Sementara luas area tanam tanaman perkebunan seperti kopi dan coklat dari tahun 2020 hingga tahun 2021 mengalami penngkatan. Disebutkan luas area tanaman kopi seluas 125.335 Ha dan menjadi 126.289 Ha pada tahun 2021.
“Sedangkan untuk tanaman coklat seluas 99.270 Ha dan menjadi 99.395 Ha pada tahun 2021. Begitu juga produksinya mengalami peningkatan yang baik,” ujar Dadek.
Selanjutnya, Kepala Bappeda Aceh ini menjelaskan pertumbuhan ekonomi yang terkontraksi akibat banyaknya usaha ekonomi harus terhenti/tutup, bangkrut atau berkurangnya omset secara drastis, termasuk pertumbuhan konsumsi rumah tangga juga terkontrasi karena rendahnya pendapatan.
“Artinya tidak ada pertumbuhan ekonomi dan tidak ada permintaan, naiknya harga eceran barang-barang kebutuhan pokok, serta naiknya angka pengangguran terbuka. Bahkan, Aceh mencatat selama pandemi sebesar 61 ribu pekerja informal kehilangan pekerjaan,” jelasnya.
Kemudian, lanjut Dadek, kebijakan belanja Aceh diarahkan pada peningkatan kualitas belanja (quality spending) melalui alokasi belanja yang lebih besar pada program dan kegiatan dengan elastisitas positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi yang berkualitas, pengurangan angka kemiskinan dan pengangguran serta stabilitas harga barang.
“Pada tahun 2021, jumlah angkatan kerja provinsi Aceh sebanyak 2.520.157 orang, dari hasil survei Sakernas. Dari jumlah tersebut, sebanyak 2.361.300 orang diantaranya dengan status bekerja, dan sisanya adalah penganggura,” sebutnya.
Sedangkan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Aceh pada tahun 2021 adalah sebesar 6,30 persen, dengan TPT tertinggi adalah Kota Lhokseumawe yaitu sebesar 11,16 persen dan terendah adalah Kabupaten Bener Meriah yaitu sebesar 1,24 persen.
Selain itu, Ahmad Dadek juga menyebutkan, jumlah penduduk miskin Aceh pada Maret 2021 sebanyak 834,24 ribu jiwa atau sebesar 15,33 persen. Sedangkan pada September 2021 meningkat sebanyak 16,02 ribu jiwa atau menjadi 850,26 ribu jiwa (15,53 persen) pada tahun 2021. Dari angka tersebut jumlah penduduk miskin terbanyak itu berada di pedesaan.
“Progam pengentasan kemiskinan menjadi prioritas Pemerintah Aceh, dengan kegiatan prioritasnya, yaitu: akselerasi penguatan ekonomi keluarga; keperantaraan usaha dan dampak sosial; reformasi agraria; dan perhutanan sosial,” sebutnya.
Disisi lain, menurut Dadek, pertumbuhan perekonomian Aceh sangat dipengaruhi oleh kontribusi sektor riil. Salah satunya sektor Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) juga merupakan sektor yang strategis dalam penyerapan tenaga kerja dan peningkatan usaha produktif masyarakat. Secara umum sektor UMKM didominasi usaha mikro dan kecil yang terus menunjukkan perkembangan yang cukup baik.
Daya saing UMKM sangat beragam, untuk mengidentifikasi daya saing UMKM perlu mencakup tiga karakteristik yaitu potensi, proses, dan kinerja. Meskipun UMKM di Indonesia belum memiliki daya saing yang tinggi namun UMKM mempunyai kontribusi yang besar terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
“Jadi untuk meningkatkan daya saing, UMKM harus memiliki kemampuan berkompetisi,” tuturnya.
Dadek menilai perkembangan UMKM saat ini belum menunjukkan kapasitas mereka sebagai pelaku usaha yang kuat dan berdaya saing. Keadaan seperti ini bisa saja dikarenakan oleh beberapa faktor, antara lain kualitas produk UMKM belum mampu bersaing dengan produk unggulan dari daerah lain; terbatasnya akses kepada sumberdaya produktif terhadap bahan baku; terbatasnya sarana dan prasarana serta informasi pasar; rendahnya kualitas dan kompetensi kewirausahaan sumberdaya manusia; terbatasnya dukungan modal; dan kondisi pandemi covid-19.
Untuk itu, kata dia, Pemerintah Aceh terus berupaya untuk meningkatkan kapasitas, produktivitas dan daya saing koperasi dan UMKM dengan mendorong untuk dapat berperan aktif dalam meningkatkan ekonomi masyarakat dan penyediaan lapangan kerja.
Dadek berharap melalui isu strategis ini akan menciptakan lapangan kerja baru untuk tenaga kerja yang memiliki ketrampilan sesuai dengan kebutuhan lapangan kerja.
“Mudah-mudahan dengan adanya seminar akhir kajian pada hari ini, akan ada masukkan-masukkan untuk penyempurnaan penelitian yang sedang dilakukan. Dan saya berharap adanya pencerahan bagi kita terhadap isu-isu mengenai perkebunan dan UMKM, keadaan dan harapan para pelaku usaha perkebunan dan UMKM terhadap baik pemerintah provinsi maupun Pemerintah Kabupaten dan Kota sehingga kita dapat mengambil kebijakan yang tepat dalam pembangunan Aceh,” demikian jelas Kepala Bappeda Aceh itu. [Wanda]