Dari Demokrat Menuju Isu Presiden Tiga Periode

Share

Bayu Hermawan*

Nukilan.id – Konflik di Partai Demokrat telur bergulir. Bukan hanya dihiasi aksi mengugat ke pengadilan dan melapor ke polisi, angin panas pun semakin kencang berhembus ke arah Istana Negara.

Sejak awal isu kudeta kepemimpinan di tubuh Partai Demokrat muncul, sekitar awal Februari lalu, nama Presiden Joko Widodo (Jokowi) ikut terseret. Penyebabnya, kudeta terhadap Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) ini melibatkan nama Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko, yang notabene berada di bawah dan bertanggung jawab terhadap presiden. Meski sebenarnya belum tentu Jokowi terlibat.

Awalnya, Gerakan Pengambialihan Kepemimpinan Partai Demokrat (GPK-PD), begitu nama resmi yang diberikan kubu AHY, dituding mendapat restu dari Jokowi. Namun, kemudian Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan keyakinannya bahwa Jokowi tidak terlibat dengan isu kudeta di Partai Demokrat. SBY juga yakin Jokowi punya integritas yang berbeda dengan anak buahnya, Moeldoko.

Isu keterlibatan Istana sejenak mereda, setelah Demokrat kubu AHY menunding gerakan kudeta sebagai upaya Moeldoko untuk maju menjadi Capres pada tahun 2024.

Ibarat terpergok akan melakukan ‘pencurian’, kubu kontra AHY bukan tiarap, justru malah semakin unjuk gigi. Mereka pun menggelar Kongres Luar Biasa (KLB) di Deli Serdang, Sumatera Utara, pada 5 Maret lalu. Dalam KLB itu, kubu kontra AHY kemudian menetapkan Moeldoko sebagai Ketua Umum Partai Demokrat yang baru, dan menganggap kepemimpinan AHY demisioner.

Suasana semakin, Demokrat kubu AHY dan KLB terlibat aksi saling serang untuk menegaskan legalitas masing-masing. Bukan hanya komentar-komentar di media massa, perang di medsos pun tak bisa terhindari. Tagar-tagar terkait kudeta Demokrat hampir setiap hari menghiasi timeline di Twitter serta media sosial lainnya.

Pemerintah kembali terseret, kali ini bukan tudingan berada di belakang aksi tersebut, namun diminta tegas bersikap terkait tindaktanduk Moeldoko. Pernyataan yang disampaikan oleh Menkopolhukam Mahfud MD, tidak cukup menjauhkan pemerintah dari pusaran konflik tersebut. Mahfud kala itu mengatakan bahwa Presiden Jokowi dan pemerintah tidak bisa melarang kegiatan politik semacam KLB di Deliserdang. Bahkan, pernyataan Mahfud yang membandingkan kudeta di Demokrat dengan aksi serupa yang pernah terjadi di PKB pun justru menuai pro dan kontra.

Belakangan, angin panas dari isu kudeta di Demokrat mulai kembali berhembus ke Istana. Hal itu setelah muncul dugaan bahwa kudeta di Partai Demokrat adalah untuk memuluskan langkah menambah masa jabatan presiden untuk lima tahun ke depan, atau tiga periode. Isu ini mulai ramai diperbicangkan setelah salah satu pengamat menyampaikan dugaan tersebut. Pernyataan itu kemudian disambar oleh Arief Poyuono, yang merupakan kader Gerindra yang menyebut ada wacana ke arah sana.

Menurutnya, peluang melakukan amendemen yang mengubah masa jabatan presiden menjadi tiga periode sangat terbuka. Sebab, de fakto-nya hampir seluruh partai politik kini masuk dalam koalisi pemerintah. Mungkin secara riil hanya Partai Demokrat dan PKS yang berada di luar. Bahkan, dalam sebuah webinar pada Kamis lalu, Arief merasa yakin Prabowo Subianto, yang notabene pernah menjadi lawan Jokowi pada dua kali pilpres pun, setuju dengan masa jabatan presiden tiga periode.

Untuk mengubah masa jabatan presiden dari maksimal dua periode menjadi tiga periode maka dibutuhkan amandemen terhadap Undang-Undang Dasar 1945, yakni Pasal 7 yang menyatakan bahwa presiden dan wakil presiden maksimal bisa menjabat paling lama dua periode atau sepuluh tahun.

Merujuk pada logika ini, memang masuk akal jika pengambilalihan Demokrat dikaitkan dengan isu masa jabatan presiden tiga periode. Jika berada di bawah genggaman Moeldoko, berarti Demokrat juga berada dalam barisan koalisi pendukung pemerintah. Sehingga jika usul Amendemen UUD 1945 diajukan, maka tidak bisa dihentikan lagi, karena praktis hanya menyisakan PKS di luar pemerintahan.

Namun apakah sedemikian konyol kekuasaan menempuh jalan ini, demi mengubah masa jabatan presiden menjadi tiga periode?. Mereka tentu juga sadar kalau masyarakat Indonesia saat ini sudah sedemikian melek politik.

Kalaupun Parpol oposisi tak bisa membendung amendemen UUD 1945, bukan tidak mungkin rakyatlah yang akan bergerak. Gelombang penolakan besar-besaran bisa saja akan dilakukan masyarakat dan kelompok ekstra parlementer. Terlebih ingatan terhadap rezim Orde Baru yang berkuasa 32 tahun masih tak lekang dari ingatan masyarakat Indonesia.

Yang menarik, meski belum merupakan sikap resmi lembaga, isu wacana tiga periode masa jabatan presiden, ditolak oleh PDIP yang merupakan Parpol utama pendukung Jokowi. Wakil Sekjen PDIP Ahmad Basarah menegaskan tidak ada pembahasan tiga periode masa jabatan presiden, baik dengan Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri, maupun partai koalisi.

Ia mengatakan, partainya tetap memandang masa masa jabatan presiden dua periode sebagaimana diatur dalam UUD 1945, sudah ideal. Hal senada juga disampaikan Nasdem, yang pada pilpres sebelumnya menjadi parpol yang pertama kembali mendukung Jokowi. Ketua Dewan Pertimbangan Partai Nasdem Siswono Yudo Husodo mengatakan, meski Jokowi dinilai sebagai presiden terbaik yang pernah dimiliki Indonesia saat ini, namun menurutnya tak ada kesempatan jika Jokowi ingin menambah kepemimpinannya sebagai presiden satu periode lagi. Siswono menegaskan, Nasdem tetap taat pada konstitusi dan memang tidak pernah ada pembahasan masa jabatan tiga periode di internal Parpol koalisi. Begitu juga dengan Gerindra, yang menyebut Prabowo sebagai Ketua Umum tetap berpegangan pada UUD 1945 soal masa jabatan presiden.

Meski parpol-parpol koalisi membantah hal ini, namun bukan tidak mungkin isu wacana Jokowi tiga periode akan semakin bergulir di waktu mendatang. Isu ini bisa menjadi bahan untuk ‘menyerang’ Jokowi oleh pihak-pihak yang mungkin tidak terkait langsung dalam konflik di Demokrat. Pada akhirnya, pemerintah akan tersandera secara langsung atau tidak langsung dalam pusaran konflik Demokrat.

Jika soal kubu mana di Demokrat yang paling sah bisa diserahkan pada Kemenkumham. Maka untuk meredam isu masa jabatan presiden ditambah, nampaknya cuma Jokowi yang bisa melakukannya. Presiden Jokowi sepertinya harus mengulang apa yang pernah disampaikan pada 2 Desember 2019 lalu mengenai masa jabatan presiden.

Saat itu, Jokowi dengan lantang menegaskan tak setuju dengan usul masa jabatan presiden diperpanjang menjadi tiga periode. Jokowi bahkan menyampaikan kecurigaannya pada pihak yang mengusulkan wacana itu, sebagai upaya untuk menjerumuskannya. Dan tak setuju amandemen UUD 1945 dilakukan jika hanya bertujuan menambah masa jabatan presiden.

“Kalau ada yang usulkan itu, ada tiga (motif) menurut saya, ingin menampar muka saya, ingin cari muka, atau ingin menjerumuskan. Itu saja,” tegasnya kala itu.

Pertanyaannya, apakah kali ini ada pihak yang mencoba menjerumuskan Jokowi atau sudah ada perubahan sikap? kita tunggu saja. Namun, nampaknya bola panas konflik Demokrat akan bergulir semakin dekat ke Istana.

*) Penulis adalah redaktur Republika.co.id

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

Read more

Local News