Nukilan.id – Keberadaan sampah jika tidak ditangani dengan baik memang kerapkali mendatangkan masalah. Selain berdampak buruk terhadap hewan darat, sampah plastik juga berbahaya bagi kesehatan biota laut. Tidak hanya dimakan, keberadaan sampah yang mengandung bahan-bahan anorganik yang bersifat sebagai racun tersebut juga bisa menjerat mereka.
Dwi Suprapti, dokter hewan dari IAM Flying Vet (Indonesian Aquatic Megafauna Veterinary Medicine Association) mengatakan, keberadaan sampah yang sudah terakumulasi di lautan itu sudah cukup meresahkan, dan juga beresiko bagi makhluk hidup yang ada di dalamnya.
Sebagai dokter hewan yang fokus pada penanganan satwa akuatik, Dwi Penyu panggilan akrabnya, acapkali menangani kasus-kasus satwa laut terdampar yang salah satu penyebabnya adalah karena memakan sampah plastik.
Dalam ingatannya, saat pertama kali dia menangani seekor penyu sisik (Eretmochelys imbricata) terdampar di Pantai Kuta, Bali, kondisinya mengenaskan. Selain kurus juga sudah lemah, sehingga tidak bisa ditolong lagi.
Karena itu, untuk mengetahui penyebabnya ia kemudian melakukan nekropsi. Saat dilakukan bedah bangkai tersebut ternyata ditemukan sejumlah sampah plastik yang ada di dalam organ tubuh spesies yang tersebar di seluruh dunia ini.
“Pada bagian lambung penyu sisik itu sudah sobek. Di dalamnya kami menemukan mata pancing yang nyangkut, di pencernaanya juga terdapat jaring berbahan plastik yang sudah terkumulasi cukup lama. Sehingga wajar kalau kondisinya sudah parah,” kisahnya saat dihubungi Mongabay Indonesia, Sabtu (11/06/2022)
Menyebabkan Malnutrisi
Tidak kalah miris, terbaru di tahun 2020 perempuan yang juga sebagai Marine Species Conservation Coordinator WWF-Indonesia ini juga pernah menangani penyu hijau (Chelonia mydas) yang kondisi dalam tubuhnya ditemukan banyak plastik.
Ketika itu, penyu tersebut ditemukan oleh tim Bali Sea Turtle Society terdampar. Untuk proses penyelamatan mereka kemudian melaporkan ke Turtle Conservation and Education Centre (TCEC), karena kondisinya yang sangat lemah dan nafsu makannya rendah akhirnya direhabilitasi.
Saat direhabilitasi, penyu yang status konservasinya berdasarkan Uni International untuk Konservasi Alam atau disingakt IUCN masuk kategori terancam punah ini didapati mengeluarkan kotoran berupa sampah plastik.
Tidak tanggung-tanggung, setelah diperiksa Dwi menemukan 7 potongan plastik berukuran lebih dari 5 cm yang keluar dari kloaka atau lubang anusnya. Sedangkan ukuran plastik terpanjang berukuran 41 cm bersamaan dengan kantong kresek yang masih utuh berukuran 26×16 cm.
Dia bilang, untuk menunggu penyu mengeluarkan plastik di dalam tubuhnya secara alami tersebut membutuhkan waktu kurang lebih satu jam. Karena sudah tidak keluar ia berfikir plastiknya sudah habis. Namun, setelah di rontgen ternyata di dalam perut penyu itu masih penuh dengan plastik.
Akhirnya ia pun melakukan treatment dan menunggu plastik itu keluar lagi dengan telaten. Begitu selesai, plastik dengan berbagai ukuran itu lalu di total, jumlahnya ada 70.
“Bayangkan kalau kita sedang buang air besar selama sejam, tentu sakit sekali. Kalau orang melihat sekilas memang seperti ekor yang panjang, tapi jika diamati ternyata plastik yang keluar dari lubang anusnya,” ujarnya.
Bagi Dwi, dari sekian pengalaman menangani kasus satwa terdampak sampah plastik, peristiwa membebaskan satwa yang bisa hidup di semua laut baik itu tropis maupun subtropis ini yang paling berkesan. Karena dengan berbagai upaya yang sudah dilakukan, penyu hijau bisa dikembalikan ke habitatnya.
Meskipun sudah dilepaskan, kata dia, peluang untuk memakan plastik di laut lagi masih tetap ada. Sebab, ketika di lautan plastik ini seolah menyerupai ubur-ubur yang merupakan makanannya. Selain itu, berdasarkan berbagai kajian yang dipelajari, sampah plastik yang sudah lama di laut ini akan menjadi rumah bagi mikroba, lumut, alga, dan hewan kecil lainnya. Sehingga ini yang membuat plastik bisa beraroma seperti ubur-ubur
“Berbeda dengan manusia yang bisa memilih makanan dengan menggunakan tangan. Sedangkan hewan ini kan tidak punya. Jadi, ini yang kemudian menyebabkan satwa tersebut mengalami malnutrisi, tidak sedikit yang kemudian mati,” kata perempuan kelahiran Singkawang, Pontianak ini.
Salah Mengartikan
Banyak peristiwa satwa mati lantaran memakan atau terjerat sampah plastik. Hal ini dikarenakan satwa tidak bisa menyelamatkan dirinya sendiri. Matthew Sayoca, Peneliti dari Hopkins Marine Station di Standford University mengatakan, bahaya sampah yang ditimbulkan oleh sampah yang dimakan satwa tersebut memang tidak langsung terlihat.
Sampah terlebih dulu mengendap di dalam tubuh hewan yang memakannya, sebelum kemudian tercipta bahaya kronis seperti kelaparan. Karena kekurangan makanan ini, sehingga membuat hewan tersebut bisa kehilangan energi untuk melakukan hal yang mereka butuhkan, seperti berkembang biak, mencari mangsa dan juga bermigrasi.
Ria Saryanthi, Conservation Partnership Adviser Burung Indonesia melalui keterangan tertulis menjelaskan, di Indonesia studi terkait dengan dampak satwa terhadap burung migran maupun penetap masih belum ada.
Namun, sebuah artikel menunjukkan di beberapa negara seperti Inggris, Autralia, dan Amerika, keberadaan sampah plastik ini mengganggu habitat burung-burung laut maupun air, salah satunya seperti burung albatros. Anak burung dengan nama latin Diomedeidae ini mati lantaran indukannya memberi makan sampah plastik.
“Beberapa informasi saat pengamatan burung, sampah plastik ini juga digunakan sebagai pembuatan sarang. “Penggunaan produk plastik secara bijaksana, reuse dan recycle, pemilahan dan pengelolaan sampah yang tepat. Sehingga dapat mengurangi dampak terhadap kehidupan burung dan satwa lainnya di alam,” jelasnya.
Sementara itu, selama pandemi virus Corona ini, masker yang bagi manusia bisa digunakan sebagai pelindung bakteri itu sampahnya justru menjadi ancaman nyata bagi satwa. Beberapa kasus memperlihatkan, seekor burung camar (Laridae) selama seminggu tidak bisa bergerak sebab kakinya terlilit tali masker sekali pakai, kondisi persendian kaki burung tersebut bengkak karena tali yang menjeratnya itu kencang.
Di Malaysia seorang fotografer berhasil mengabadikan seekor monyet kecil ekor panjang sedang mengunyah tali masker yang sudah menjadi sampah. Hal ini berpotensi membuat anakan satwa dengan nama latin Macaca fascicularis tersebut bisa tersedak.
Kemudian temuan lain di Brazil, seorang ahli konservasi menemukan satu masker bekas di dalam perut pinguin yang terdampar di pantai. Selain, itu sampah masker sekali pakai juga menjerat ikan buntal hingga berujung mati di lepas pantai Miami.
Peristiwa yang sama juga terjadi di Perancis, seorang aktivis lingkungan di negara tersebut menemukan seekor kepiting yang mati karena terjerat masker di laguna air asin dekat laut Mediterania. [Mongabay]