Nukilan.id – Anggota Dewan Prwakilan Rakyat Aceh (DPRA) Saiful Bahri meminta kepada ketua DPRA untuk segera mengeksekusi Qanun Aceh no 3 Tahun 2013 yang mengatur tentang Bendera dan Lambang Aceh, karena Qanun itu lahir dari Mou helsingky dan juga lahir dari undang-undang Republik Indonesia (RI) no 11 tahun 2006.
“Jadi jelas Qanun ini bukan dilahirkan oleh Gerakan Aceh Merdeka (GAM) atau kelompok separatis yang ada di Aceh, dan itu jelas ada dalam undang-undang no 11 tahun 2006 yang ditanda tangani langsung oleh presiden Indonesia bapak Susilo Bamabang Yudiono dan Qanun itu sendiri masih utuh tertuang dalam Qanun Daerah, namun kenapa sampai sekarang belum dieksekusi,” kata Tiyong Dalam sidang Paripurna pemberhentian Gubernur Aceh, Jumat (03/06/2022) kemarin.
Tiyong menyampaikan itu karena beredar berita bahwa qanun tersebut sudah dibatalakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab, dan dirinya sepakat dengan PP No 77 tentang logo dan lambang tentang daerah.
“Pasal 6 ayat 4 jelas disebutkan bahwa Bendera separatis khususnya di Aceh itu bendera separatis Aceh,” katanya.
Menurut Tiyong, GAM dan Pemerintah Pusat sudah sepakat tidak ada lagi gerakan separatis di Aceh, kalaupun ada itu musuh bersama.
“Makanya Bendera Bulan Sabit tidak kita terima di Aceh karena itu adalah bendera separatis, namun kita sepakati yang lahir di Qanun Aceh No 3 tahun 2013 itu adalah bendera Bulan Bintang sebagai lambang kekhususan Aceh bukan lambang Kedaulatan Aceh, dan kita mengakui bendera kedaulatan aceh adalah Merah Putih,” ujar Tiyong
Untuk itu–kata Tiyong–kita harapakan kepada pimpinan DPRA agar Qanun No 3 tahun 2013 tersebut segera direalisasikan, jangan sampai lahir produk Qanun yang baru kedepan sebelum ini dieksekusi karena ini adalah perintah undang-undang No 11 tahun 2006.[]
Reporter: Hadiansyah