Aryos Nivada
Dosen USK dan Peneliti Jaringan Survei Inisiatif
LOGIKA berpikir, bahwa Pilkada Aceh merupakan bagian dari Kekhususan Aceh yang dijamin konstitusi Pasal 18B ayat UUD 1945 tentang Negara Mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur undang-undang.
Argumentasi ini pada dasarnya hendak menyatakan, bahwa karena konstitusi mengakui daerah yang memiliki kekhususan. Maka negara disatu sisi harus menjamin dan menghormati sistem kepemiluan Aceh yang berlaku secara khusus dan berbeda dari daerah-daerah yang lain.
Undang-Undang Pilkada dinilai telah menghilangkan hak-hak khusus yang melekat bagi Provinsi Aceh.
Perlu dipahami, bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 3 ayat (2) UU UU No.44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh, Disebutkan penyelenggaraan keistimewaan tersebut meliputi:
(a) penyelengaraan kehidupan beragama;
(b) penyelenggaraan kehidupan adat;
(c) penyelenggaraan pendidikan; dan
(d) peran ulama dalam penetapan kebijakan daerah. Oleh karena lingkup keistimewaan atau kekhususan pemerintahan Aceh telah diatur secara jelas maka hal-hal yang di luar itu tidak dapat ditempatkan sebagai keistimewaan atau kekhususan Aceh (Pertimbangan PUTUSAN MK Nomor 61/PUU-XV/2017).
Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Pertimbangan PUTUSAN MK Nomor 61/PUU-XV/2017 disatu sisi mengakui UUPA mengatur pelaksanaan kekhususan atau keistimewaan Aceh sebagaimana diatur dalam UU Keistimewaan Aceh. Namun tidak semua hal yang diatur dalam UUPA berarti sekaligus merupakan kekhususan Aceh.
UUPA diterapkan dalam Undang-Undang yang berkenaan atau berkait dengan pemerintahan daerah yang secara umum juga berlaku di provinsi lain, atau sebaliknya. Misalnya, berkenaan dengan calon perseorangan dalam pemilihan kepala daerah yang mula-mula diterapkan dalam UUPA kemudian dijadikan rujukan dalam mengadopsi calo perseorangan dalam pencalonan kepala daerah di daerah lain, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Pemilihan Kepala Daerah, di mana hal itu sebelumnya telah diputus Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-V/2007 dalam pengujian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.
Selanjutnya jika memahami PUTUSAN NOMOR 31/PHP.GUB-XV/2017 mempertegas bahwa pemilihan gubernur, bupati, dan walikota tidak termasuk ke dalam kekhususan Aceh.
Dengan menggunakan dasar pertimbangan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-V/2007, bertanggal 23 Juli 2007 dan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-VIII/2010, bertanggal 30 Desember 2010 tersebut MK menegaskan:
1) Pemilihan kepala daerah tidak termasuk dalam keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh; 2) Hubungan antara UU 11/2006 (UU Pilkada) dengan UUPA tidak terdapat hubungan yang bersifat khusus dan hubungan yang bersifat umum.
Secara konsep jika dikorelasikan UUPA masuk ke dalam desain desentralisasi asimetris dalam Pasal 18B UUD NRI Tahun 1945. Memang isinya menjadi pijakan dalam mengeluarkan kebijakan nasional yang mengatur daerah provinsi yang oleh undang-undang diatur secara berbeda dan termasuk dalam asimetris.
Namun keberadaan UU Pilkada nasional (Perubahan Terakhir dengan UU 10 Tahun 2016) sendiri pada dasarnya sama sekali tidak bermaksud untuk menegasikan ataupun mengurangi keistimewaan Aceh. Justru kehadiran UU Pilkada sebagai konsekuensi logis dari penguatan tata kelola pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah serentak secara nasional, termasuk tata kelola Pilkada di wilayah khusus. Eksistensi UU Pilkada tersebut sama sekali tidak bertujuan mengurangi apalagi meniadakan keistimewaan Aceh. Justru memperkuat kewenangan daerah istimewa/khusus di wilayah Indonesia.
Hal ini terangkum dalam Pasal 199 UU Pilkada: “Ketentuan dalam Undang-Undang ini berlaku juga bagi penyelenggaraan Pemilihan di Provinsi Aceh, Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Provinsi Papua, dan Provinsi Papua Barat, Sepanjang tidak diatur lain dalan Undang-undang tersendiri.
Frasa Sepanjang tidak diatur lain dalan Undang-undang tersendiri.menunjukan bahwa UU Pilkada disatu sisi tetap menghormati kekhususan wilayah istimewa di Indonesia.
Namun disisi lain UU Pilkada mempertegas bahwa ketentuan yang tidak diatur dalam UU Khusus maka berlaku UU Pilkada.
Dengan menggunakan logika hukum yang digunakan MK dalam pertimbangan PUTUSAN NOMOR 31/PHP.GUB-XV/2017, dimana disebutkan karena UUPA tidak mengatur ketentuan ambang batas pengajuan perselisihan sengketa pilkada, sedang disisi lain UU Pilkada mengatur ambang batas tersebut dalam Pasal 158 UU 10/2016. MK menyatakan ketentuan UU Pilkada Pasal 158 UU 10/2016 tetap berlaku untuk pemilihan gubernur, bupati, dan walikota serentak Tahun 2017 di Provinsi Aceh.
Logika hukum tersebut juga dapat diterapkan dalam konteks jadwal pilkada Aceh. Dikarenakan UUPA tidak mengatur mengenai mekanisme penyesuaian jadwal pilkada dalam rangka pelaksanaan rezim Pilkada serentak namun hanya mengatur ketentuan umum dimana Pilkada Aceh dilaksanakan setiap lima tahun sekali (Pasal 65 ayat 1 UUPA). Sehingga Jadwal pilkada serentak secara nasional pada tahun 2024 sebagaimana diatur dalam Pasal 201 ayat 8 UU Pilkada juga berlaku bagi seluruh daerah khusus di Indonesia, termasuk Provinsi Aceh, Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Provinsi Papua, dan Provinsi Papua Barat.
Lebih lanjut, MK melalui Putusan nomor 31/PHP.GUB-XV/2017 menegaskan bahwa kekhususan Provinsi Aceh dan mengenai UU 11/2006 sebagai lex specialis serta UU 10/2016 sebagai lex generalis tidak beralasan menurut hukum. Andai kata pun benar demikian, maka jika terdapat ketentuan dalam lex generalis (in casu UU 10/2016) tetapi tidak terdapat dalam lex specialis (in casu UU 11/2006) maka ketentuan dalam lex generalis tersebut menjadi berlaku.
Hal yang sama juga berlaku untuk Putusan MK Nomor 20/PUU-XV/2017, dimana Pemohon dalam perkara tersebut meminta kepada persoalan sengketa hasil pemilu diselesaikan oleh Mahkamah Agung (MA), padahal provinsi-povinsi yang lain semua pada saat ini sesuai pengaturan di UU Pilkada yang saat ini berlaku sengketa hasilnya diselesaikan di MK.
Ketika pada akhirnya dalam Putusan MK Nomor 20/PUU-XV/2017, MK menolak permohonan Pemohon untuk menyelesaikan sengketa pilkada di MK. maka hal ini pula semakin menegaskan bahwa ada hal-hal yang sifatnya umum berlaku maka berlaku pula berlaku di Aceh, bukan merujuk pada pengaturan di UUPA Pasal 74 yang mengatakan bahwa penyelesaian sengketa hasil diselesaikan di Mahkamah Agung. Jadi tidak selamanya UUPA menjadi satu-satunya acuan, karena begitulah prinsip hukum yang selalu dinamis dan tidak statis.
Maka dari penjelasan diatas dapat disimpulkan duduk logika hukumnya, UUPA bukan merupakan lex specialis atau ketentuan khusus dari UU Pilkada, UUPA tidak mengatur mengenai penyesuaian jadwal pilkada serentak. Penyesuaian tersebut diatur dalam UU Pilkada.
Selain itu jadwal Pilkada bukan bagian dari keistimewaan Aceh sebagaimana diatur dalam UU Keistimewaan Aceh. Dengan demikian jadwal pilkada Aceh harus merujuk kepada ketentuan pilkada yang berlaku secara nasional (in casu UU Pilkada) sebagaimana pertimbangan putusan MK. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 199 UU Pilkada , dimana disebut ketentuan UU Pilkada tetap berlaku bagi wilayah khusus sepanjang tidak diatur lain dalam undang-undang tersendiri.
Putusan MK
UU Pilkada telah merubah ketentuan jadwal lima tahun sekali dalam UUPA. Padahal berdasarkan putusan MK Nomor 61/PUU-XV/2017 dan Putusan MK Nomor 66/PUU-XV/2017 setiap perubahan dalam UUPA harus melalui konsultasi dan pertimbangan DPRA.
Benar bahwa oleh karena UUPA adalah Undang-Undang yang berlaku khusus bagi daerah istimewa – dalam hal ini Aceh – maka apa yang diatur di dalamnya tidak serta-merta dapat diubah sebagaimana hal demikian dapat dilakukan dalam pembentukan atau perubahan Undang-Undang lainnya.
UUPA sendiri telah memuat pengaturan-pengaturan yang berlaku sebagai prosedur khusus untuk melakukan perubahan. pembentukan dan/atau perubahan undang-undang yang berkaitan langsung dengan Pemerintah Aceh wajib dilakukan dengan konsultasi dan meminta pertimbangan dengan DPRA.
Hal tersebut diatur dalam norma Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 yang mengatakan “Rencana pembentukan undang-undang oleh Dewan Perwakilan Rakyat yang berkaitan langsung dengan Pemerintah Aceh dilakukan dengan konsultasi dan pertimbangan DPRA”.
Lebih lanjut, Konsultasi dan permintaan pertimbangan dimintakan kepada Gubernur dalam hal Pemerintah (Pusat) berkeinginan untuk melakukan perubahan-perubahan administratif pemerintahan di Aceh sebagaimana diatur dalam norma Pasal 8 ayat (3) UUPA.
Proses pembentukan Undang-Undang yang berhubungan dengan pemerintahan Aceh maupun rencana perubahan UUPA haruslah melalui prosedur konsultasi dan pertimbangan dari DPRA. Jika prosedur demikian tidak ditempuh maka norma Undang-Undang yang substansinya berhubungan langsung dengan kekhususan atau keistimewaan yang diatur dalam UUPA maupun yang mengubah ketentuan UUP akan berdampak pada terjadinya ketidakpastian hukum bagi pemerintahan Aceh maupun rakyat Aceh secara keseluruhan – yang berarti dengan sendirinya bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Berbeda dengan kasus perubahan komposisi keanggotaan KIP dan Panwaslih dalam pengujian perkara Nomor 61/PUU-XV/2017 dan Nomor 66/PUU-XV/2017. Dimana ketika itu DPR RI mencabut dua pasal dalam UUPA yaitu Pasal 57 dan Pasal 60 ayat (1), ayat (2), serta ayat (4) UUPA melalui pasal 571 huruf d Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu.
Dalam konteks UU Pilkada, UU Pilkada tidak merubah ataupun mencabut satu pasalpun dalam UUPA terkait konteks penyelenggaraan Pilkada Aceh. Sehingga tidak tepat apabila dikatakan pengaturan jadwal Pilkada serentak nasional tahun 2024 sebagaimana diatur dalam Pasal 201 ayat 8 UU Pilkada merubah jadwal skema periodik jadwal pilkada Aceh setiap lima tahun sekali sebagaimana diatur dalam 65 ayat 1 UUPA.
Justru UU Pilkada mempertegas jadwal pilkada serentak secara nasional dengan melakukan penyesuaian jadwal seluruh wilayah indonesia, termasuk dalam hal ini adalah daerah berstatus istimewa atau khusus. Hal ini dimaksudkan agar Pilkada dilaksanakan secara serentak nasional tidak lagi terpisah dan sendiri sendiri seperti sebelumnya. UUPA sendiri tidak mengatur skema jadwal penyesuaian jadwal pilkada Aceh secara serentak.
Jadi jadwal penyesuaian keserentakan Pilkada Aceh mengacu kepada UU Pilkada. Hal ini sesuai dengan bunyi Pasal 199 UU Pilkada : “Ketentuan dalam Undang-Undang ini berlaku juga bagi penyelenggaraan Pemilihan di PROVINSI ACEH, Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Provinsi Papua, dan Provinsi Papua Barat, SEPANJANG TIDAK DIATUR LAIN DALAM UNDANG-UNDANG TERSENDIRI.”
Keserentakan dalam pemilu ini disisi lain merupakan amanat putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 55/PUU XVII/2019 tanggal 26 Februari 2020. Putusan ini berawal dari pengujian UU No. 7/2017 tentang Pemilu, UU No. 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas UU No. 1/2015 tentang Penetapan Perpu No. 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota Menjadi Undang-Undang, dan UU No. 10/2016 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 1/2015 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota Menjadi Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dalam amar putusannya terdapat sejumlah pilihan model keserentakan pemilihan umum yang tetap dapat dinilai konstitusional berdasarkan UUD NRI Tahun 1945.
Model pertama pemilihan umum serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden/wakil presiden, dan anggota DPRD, kemudian populer dengan istilah Pemilu 5 Kotak (Pemilu Presiden/Wakil Presiden RI, Pemilu Anggota DPR RI, Pemilu Anggota DPD RI, pemilu anggota DPRD provinsi, dan pemilu anggota DPRD kabupaten/kota).
1). Model kedua, pemilihan umum serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden/wakil presiden, gubernur, dan bupati/wali kota.
2). Model Ketiga, pemilihan umum serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden/wakil presiden, anggota DPRD, gubernur, dan bupati/wali kota.
3). Model Keempat, pemilihan umum serentak nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden/wakil presiden. Pelaksanaan pemilu serentak ini setelah beberapa waktu pemilihan umum serentak lokal untuk memilih anggota DPRD provinsi, anggota DPRD kabupaten/kota, pemilihan gubernur, dan bupati/wali kota.
4). Model Kelima, pemilihan umum serentak nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden/wakil presiden; dan beberapa waktu setelahnya dilaksanakan pemilihan umum serentak provinsi untuk memilih anggota DPRD provinsi dan memilih gubernur; dan kemudian beberapa waktu setelahnya dilaksanakan pemilihan umum serentak kabupaten/kota untuk memilih anggota DPRD kabupaten/kota dan memilih bupati/wali kota.
5). Model Keenam, pilihan-pilihan lainnya sepanjang tetap menjaga sifat keserentakan pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, DPD, dan presiden/wakil presiden.
Dalam hal ini bukanlah ranah MK menentukan model di atas, melainkan pembuat undang-undang (pemerintah dan DPR) yang akan memutuskannya. Pada prinsipnya, pelaksanaan pemilu secara serentak. Dengan demikian, jadwal penyelenggaraan Pilkada baru dilakukan pada 2024 mendatang. Pilkada akan dihelat serentak di seluruh provinsi, kabupaten dan kota seluruh Indonesia di tahun yang sama.
Kepala daerah yang habis masa jabatannya pada 2022 dan 2023 akan digantikan oleh penjabat kepala daerah. Mereka akan memimpin pemda hingga pilkada berikutnya di 2024. Pilkada seluruh Indonesia juga bakal dihelat di tahun yang sama dengan penyelenggaraan pemilu nasional atau pemilihan anggota DPR, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, DPD serta Pilpres.
Lantas bagaimana dengan argumentasi yang menyatakan bahwa sepanjang ketentuan UU Nomor 11 Tahun 2006 itu tidak dicabut, artinya dia tetap berlaku? Terlebih hingga kini tidak ada keputusan pencabutan ketentuan yang ada dalam UU Nomor 11 Tahun 2006.
Benar bahwa ketentuan pasal pasal dalam UUPA tetap berlaku sepanjang belum dicabut atau dirubah. Selain itu UUPA sudah mengatur prosedur yang harus ditempuh dalam merevisi/merubah atau mencabut pasal dalam UUPA, yaitu dengan prosedur pertimbangan dan konsultasi dengan DPRA.
Sekali lagi ditegaskan, bahwa UU Pilkada tidak merubah ataupun mencabut satu pasalpun dalam UUPA. Skema jadwal pilkada di Aceh, juga wilayah lain di Indonesia termasuk daerah khusus, tetap lima tahun sekali. Hanya saja UUPA tidak mengatur skema penyesuaian jadwal pilkada serentak. Hal inilah yang kemudian diatur dalam UU Pilkada.
Penyesuaian jadwal Pilkada wajib disesuaikan dan seragam dengan kesentakan secara nasional diakui oleh Qanun Pilkada Aceh. Dalam Pasal 101 ayat (5) Qanun Aceh Nomor 12 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur Dan Wakil Gubernur, Bupati Dan Wakil Bupati, Serta Walikota Dan Wakil Walikota, disebutkan : “ Pemungutan suara serentak nasional dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia selanjutnya berpedoman pada peraturan perundang-undangan”.
Kesimpulannya, bahwa UU Pilkada tidak merubah atau mencabut ketentuan dalam UUPA. UU Pilkada hanya menegaskan penyesuaian jadwal keserentakan pilkada Aceh agar selaras dengan mekanisme Pilkada serentak nasional sebagaimana amanat putusan MK. Pada tahun 2024, Pilkada berlangsung secara serentak nasional. Kemudian jadwal berikutnya adalah lima tahun sekali sehingga sama sekali tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 65 ayat 1 UUPA yang menyatakan Pilkada Aceh berlangsung setiap lima tahun sekali melalui pemilihan yang demokratis, bebas, rahasia serta dilaksanakan secara jujur dan adil.
Pada pasal 101 ayat (5) Qanun Aceh Nomor 12 Tahun 2016 mengakui bahwa mekanisme penyesuaian jadwal Pilkada Aceh harus selaras dengan Pilkada serentak nasional dengan berpedoman pada ketentuan peraturan perundang undangan.[]