Kelekak, Rumah Terakhir Kukang Bangka yang Terancam Punah

Share

Nukilan.id – Masyarakat di Bangka Belitung mengenal istilah kelekak, area hutan atau sebidang tanah yang ditanami pohon khas daerah (umumnya durian, binjai, manggis). Pemiliknya pribadi maupun bersama, sebagai warisan leluhur untuk anak cucu di kemudian hari.

Menurut Randi Syafutra, peneliti satwa dari Universitas Muhammadiyah Bangka Belitung, kelekak tidak hanya bermanfaat bagi keberlanjutan manusia, tapi juga habitat terakhir kukang bangka (Nycticebus bancanus).

“Dalam sistem kelekak, masyarakat mempertahakan sejumlah pohon hutan seperti nyatoh, ulin, dan ara,” terangnya, Minggu (20/02/2022).

Berdasarkan penelitian Randi Syafutra yang didukung The Mohamed bin Zayed Conservation Fund (MBZCF) September 2017 hingga November 2018, kukang bangka sering ditemukan di sejumlah pohon. Sebut saja karet (H. brasiliensis), petai (Parkia speciosa), nangka (Artocarpus heterophyllus), cempedak (A. integer ), pisang (Musa spp), durian (Durio sp), duku (Lansium domesticum), rambutan (Nephelium lappaceum), dan pelawan (Tristaniopsis merguensis).

“Semua pohon tersebut terdapat di kelekak,” jelas Randi yang melakukan penelitian di Desa Zed, Kemuja, Paya Benua, Mendo (Kabupaten Bangka) dan Desa Namang (Kabupaten Bangka).

Kukang memiliki peran penting sebagai penyeimbang ekosistem alam, membantu penyerbukan dan penyebaran tumbuhan di alam. “Serta mengendalikan hama serangga yang berpotensi menyerang tanaman produktif masyarakat atau tumbuhan hutan itu sendiri,” ujarnya.

Berdasarkan IUCN Red List, kukang bangka berstatus Kritis (Critically Endangered). Sementara CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora), telah menjadikan seluruh genus Nycticebus berstatus Apendiks I, yang artinya dilarang dalam segala bentuk perdagangan internasional.

“Kemungkinan besar, spesies ini akan menurun karena hilangnya habitat akibat deforestasi yang sebagian besar disebabkan perkebunan sawit, sehingga Bangka hanya memiliki kurang dari 20 persen tutupan hutan,” jelas IUCN.

Ancaman dan Populasi

Dikutip dari artikel neprimateconservancy.org, meskipun mempunyai pergerakan lamban, kukang memiliki bisa. Kelenjar yang tersembunyi di ketiaknya mengeluarkan cairan khusus, berfungsi sebagai racun ketika bercampur dengan air liurnya.

Efek gigitan kukang cukup kuat untuk membuat manusia dewasa mengalami shok anafilaksis, reaksi alergi yang parah dan berpotensi mengancam nyawa.

Namun, fakta kukang mempunyai bisa, sama sekali tidak menolongnya dari ancaman penurunan populasi. Khusus di Pulau Bangka, belum ada data pasti terkait jumlahnya.

“Secara umum, populasinya menurun dan terancam, akibat perubahan habitat menjadi perkebunan sawit, daerah tambang, dan perumahan,” lanjut Randi.

Ancaman lain, sering dimanfaatkannya kukang sebagai sarana ilmu hitam seperti di Pulau Jawa. “Kalau di Pulau Bangka, minyak kukang digunakan sebagai media sihir seperti pelet dan santet,” paparnya.

Langka Sani, Ketua PPS [Pusat Penangkaran Satwa] Alobi Foundation, menyatakan selain perubahan habitat, aktivitas perburuan serta jual beli kukang bangka di media sosial masih ada.

“Hal terpenting perlindungan habitat itu sendiri. Kelekak harus dipertahankan dan dilestarikan,” katanya.

Pada peringatan Hari Primata Indonesia, 11 Februari 2022, Alobi bersama BKSDA (Balai Konservasi Sumber Daya Alam) Sumatera Selatan dan PT. Timah Tbk, melepasliarkan empat ekor kukang bangka di kawasan Hutan Lindung Bangka Island Outdoor (BIO), Kecamatan Sungai Liat, Kabupaten Bangka, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.

“Tiga tahun terakhir, sekitar 50 kukang bangka diterima PPS Alobi, sehat maupun sakit. Mayoritas dari serahan masyarakat,” tegasnya.

Endemisitas Kukang Bangka

Pada 1906, Marcus Ward Lyon Jr yang merupakan ahli mamalia asal Amerika, pertama kali mendeskripsikan kukang bangka.

Dikutip dari artikel ilmiahnya berjudul “Notes of The Slow Lemurs”, dalam Proceedings of the United States National Museum, dasar deskripsi beranjak dari satu-satunya spesimen kulit dan tengkorak kukang bangka yang dikoleksi W.L. Abbott pada Juni 1904, dari Teluk Kelabat, Bangka. Spesimen tersebut kini menjadi koleksi Museum Nasional Amerika (USNM), Nomor 124907.

Menurut Randi Syafutra, jika ditinjau dari segi lokalitas, Nycticebus bancanus tetaplah kukang khas Pulau Bangka. Meskipun berdasarkan penelitian Ross dan kawan-kawan, Nycticebus bancanus juga terdapat di wilayah Borneo yaitu N. menagensis, N. bancanus, N. borneanus, dan N. kayan.

“Beberapa ciri kukang bangka adalah pola pewarnaan wajah yang terang, dengan ujung atas cincin gelap sekeliling mata yang baur di pinggiran atasnya. Variasi warna bulu, ukuran tubuh, pola sungkup muka dan garis punggung, serta wilayah geografis menjadi penyebab pemisahannya dari N. menagensis. Yang mengherankan, kukang bangka tidak tercatat di Pulau Belitung, ini perlu penelitian lebih lanjut, ” kata Randi.

Berdasarkan penelitian Cristian Ross dkk, berjudul “An updated taxonomy and conservation status review of Asian” di Asian Primates Journal 2014, dijelaskan ada delapan genus Nycticebus.

Diantaranya, kukang bengal (Nycticebus bengalensis), kukang sunda (Nycticebus coucang), kukang jawa (Nycticebus javanicus), kukang timur borneo (Nycticebus menagensis), kukang bangka (Nycticebus bancanus), kukang gunung schwaner (Nycticebus borneanus), kukang sungai kayan (Nycticebus kayan), dan kukang pygmy (Nycticebus pygmaeus).

“Dalam penelitian tersebut, hampir semua genus Nycticebus berstatus Rentan hingga Kritis,” tulis penelitian tersebut. [mongabay]

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

Read more

Local News