Nukilan.id – Mengukur kinerja pembangunan ekonomi provinsi Aceh sangatlah mudah, cukup dengan melihat kinerja ekonomi makro daerah, pengelolaaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA), dan kinerja pengelolaan keuangan dan pembangunan berdasarkan Satuan Kerja Pemerintah Aceh (SKPA) / organisasi perangkat daerah serta kinerja berdasarkan penugasan.
Hal itu disampaikan Pengamat Ekonomi dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh, Dr Amri, SE, MSi dalam diskusi dengan tema “Refleksi Kinerja Pembangunan Ekonomi Masyarakat di Aceh tahun 2021” di Elpe Kupi, Banda Aceh, Jum’at (17/12/2021).
“Kinerja ekonomi makro daerah Aceh misalnya, cukup melihat dari tingkat kemiskinan, tingkat pengangguran, pemerataan ekonomi di 23 Kabupaten/Kota serta pertumbuhan ekonomi daerah,” kata Dr. Amri yang juga pemegang sertifikat Planning dan budgting baik pada level nasional maupun internasional, dari Graduate Research Institute for Policy Studies (GRIPS) Tokyo Jepang itu.
Kata dia, angka kinerja ekonomi makro bisa dilihat dari publikasi resmi Badan Pusat Statistik (BPS), publikasi Bank Indonesia atau data Sistem Informasi dan Manajemen Data Dasar Regional (SIMREG) Badan Perencanan Pembangunan Nasional (Bappenas) Republik Indonesia. Data yang dikeluarkan oleh ketiga Lembaga tersebut adalah data resmi.
“Hasilnya berdasarkan data BPS 2019 dan 2020, Aceh merupakan Provinsi dengan angka kemiskinan tertinggi di Pulau Sumatera serta urutan ke-6 termiskin di Indonesia,” jelas Dr. Amri.
Selanjutnya, kinerja pengeloaan APBA tahun 2020 juga ditandai dengan penolakan Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) APBA Gubernur Aceh oleh seluruh rakyat Aceh yang diwakili Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), sesuai hasil rapat paripurna DPRA pada Kamis, (19/8/2021) lalu.
“Hal ini dilakukan karena Badan Anggaran DPRA menilai pengelolaan keuangan Aceh Amburadul. Hal itu ditandai dengan Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) Aceh mencapai Rp.3,96 Triliun berdasarkan Audited BPK- RI,” ungkap Dr. Amri.
Kemudian, lanjutnya, begitu juga dengan kenerja untuk setiap organisasi perangkat daerah/SKPA yang ditandai dengan proyek Multiyears. Seperti Kapal Aceh Hebat 1, 2 dan 3, yang berujung dengan datangnya rombongan Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia (KPK-RI) ke Aceh untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan beberapa pejabat eselon 1, 2, dan 3.
“Semua data dan fakta ini sudah menjadi pelajaran bagi pengelolaan Pemerintah Aceh kedepan,” jelas mantan Sekretaris Magister Management/MM , Program PascaSarjana Universitas Syiah Kuala (USK) itu.
Kemudian, Dr. Amri menyebutkan dua indikator keberhasilan pembangunan ekonomi di Aceh yaitu:
- Indikator Ekonomi:
a. Laju Pertumbuhan Ekonomi
b. Gross Nasional Product (GNP)
c. Purchasing Power Parity - Indikator Sosial:
a. Indeks Pembangunan Manusia.
b. Kualitas Hidup Masyarakat.
Oleh karena itu, Dr Amri berharap, Pemerintah Aceh dapat mengedepankan mindset ekonomi, dengan menjadikan Aceh sebagai Pusat Perekonomian. Begitupun dengan Sumber Daya Alam (SDA) yang berhasil dikelola tidak hanya dijual dilokal, namun juga dijual secara nasional dan juga diekspor untuk menambah nilai jual.
“Aceh Creative Hub bagi Generasi Muda juga perlu diciptakan, serta menghidupkan pelabuhan ekspor yang ada di pesisir Aceh,” harap pakar ekonomi FEB USK itu.
Reporter: Hadiansyah