Nukilan.id – Pemilu legislatif (Pileg) akan berlangsung masih lama yaitu sekitar 2,5 tahun lagi jika tak ada perubahan dalam UU Pemilu dan juga dalam penentuan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pusat. Namun, sejumlah orang sudah mulai mempersiapkan diri, yang antara lain dengan membentuk partai politik yang baru, agar bisa ikut dalam pileg tahun 2024 mendatang. Pembentukan ini terjadi di tingkat pusat dan khusus di Aceh pileg 2024 itu disambut dengan pembentukan partai politik lokal (lokal).
Saifuddin Bantasyam SH MA, dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala (USK), saat dihubungi oleh media ini mengatakan bahwa kemunculan parpol baru menjelang pemilu, termasuk partai lokal di Aceh, adalah suatu keniscayaan atau sesuatu yang lumrah.
“Hasrat untuk terjun ke dunia politik praktis memang harus memiliki momentum dan momentum itu adalah pileg 2024 mendatang. Saya kira, beberapa parlok baru atau yang bersalin nama dan berganti pengurus di Aceh seperti Partai Islam Aceh, Partai Gabthat Aceh, Partai Aceh Sejahtra, tentu sudah berpikir matang untuk tidak kehilangan momentum demokrasi tersebut” kata Saifuddin.
Di luar tentang momentum, maka kehadiran partai lokal (Parlok) memang memiliki landasan kuat di dalam UU No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh dalam dalam Qanun No. 3 Tahun 2008 tentang Partai Politik Lokal.
“Artinya, masyarakat itu sedang menggunakan hak politik mereka untuk membentuk satu parpol berdasarkan pada dua landasan normatif tadi,” tambah Saifuddin yang dikenal juga sebagai pengamat masalah-masalah sosial, politik, hukum, dan demokrasi di Aceh.
Diakuinya bahwa pendirian parlok itu memang bukan semata hak politik melainkan juga diiringi dengan kesiapan dalam berbagai bentuk.
“Parlok-parlok baru kan harus lulus verifikasi administrasi dan faktual di lapangan, baru kemudian bisa ikut dalam pileg di Aceh,” kata Saifuddin sambil menambahkan bahwa untuk lulus verifikasi bukanlah hal yang mudah.
Saat ditanya tentang para ulama dan teungku-teungku atau alumni dayah adalah orang-orang yang turut membidani parlok baru di Aceh, Saifuddin mengatakan bahwa hal tersebut bukan sesuatu yang luar biasa. Menurutnya, setiap partai pasti memiliki warna khas tertentu dan para pengurusnya juga memiliki visi dan misi yang disesuaikan dengan karakter lokalitas kewilayahan.
“Namun, hal terpenting kemudian adalah bagaimana parlok-parlok baru mendapat dukungan dari konstituen. Saya kira pertarungannya ada di sini, tak sebatas lulus verifikasi, melainkan juga mendapat kepercayaan masyarakat” kata Saifuddin sambil mengingatkan kegagalan sejumlah parlok pada 2009, 2014, dan 2019 dalam mendulang suara yang cukup sehingga ada yang harus bubar atau ganti nama dan pengurus.
Karena itu, Saifuddin yang juga mengajar di FISIP UKS itu berharap siapa pun yang menggunakan hak politiknya semisal mendirikan parlok, hendaknya menyadari bahwa mengelola parpol itu tidak mudah, tak sebatas lulus verifikasi, lalu kemudian mati.
“Para pengurus harus memiliki visi dan misi yang jelas, memliki sumber daya manusia dan finansial yang memadai, dan juga secara kongkrit dapat menunjukkan kepada konstituen bahwa parlok yang mereka dirikan itu akan membawa perubahan-perubahan nyata di dalam masyarakat,” kata Saifuddin. []