Nukilan.id – Greendland diguyur hujan air dengan deras dan ini menjadi fenomena langka sejak peristiwa serupa terjadi pada tahun 1950.
Selain itu, suhu di kawasan itu naik di atas titik beku untuk ketiga kalinya dalam kurun waktu kurang dari satu dekade.
Fenomena hujan ekstrem di daerah beku itu disebabkan udara hangat menerjang Greenland dan mengakibatkan 7 miliar ton air terbuang ke lapisan es.
Jumlah air yang terbuang itu diyakini cukup mengisi air di Lincoln Memorial Reflecting Pool di Natinal Mall di Washngton DC, sekitar 250.000 kali.
National Snow and Ice Data Center menyebutkan bahwa curah hujan di Greenland itu disebut tertinggi sejak 1950.
Akibat hujan tersebut, jumlah massa es menghilang 7 kali lebih tinggi daripada rata-rata harian sepanjang tahun ini. Hilangnya jumlah massa es itu terjadi pada Minggu (15/8/2021) lalu.
Fenomena langka
Menurut ilmuwan dari National Snow and Ice Data Center pada University of Colorado, Ted Scambos, hujan ekstrem ini menunjukkan bukti bahwa pemanasan di Greenland berlangsung cepat.
“Ini belum pernah terjadi sebelumnya,” kata Scambos kepada CNN sebagaiana dilansir Kompas Global, Jumat (19/8/2021).
Stasiun Puncak National Science Foundation (NSF) terletak di titik tertinggi di lapisan es Greenland, di mana para ilmuwan dapat mengamati cuaca Arktik dan perubahan es.
Stasiun ini telah dikelola sepanjang tahun untuk mengamati perubahan ekstrem sejak 1989. Sebagian besar hujan ekstrem pada akhir pekan turun dari pantai tenggara Greenland hingga ke Stasiun Summit.
Pejabat program untuk Office of Polar Programs di NSF, Jennier Mercer, menyebutkan bahwa operasi d Stasiun Summit harus diubah pasca-hujan ekstrem di Greenland.
Peristiwa cuaca yang belum pernah terjadi sebelumnya harus dipertimbangkan dalam sejarah operasi di Stasiun Summit.
“Meningkatnya peristiwa cuaca termasuk pencairan, angin kencang, dan sekarang hujan, selama 10 tahun terakhir telah terjadi di luar jangkauan yang dianggap normal,” kata Mercer.
“Dan ini tampaknya terjadi lebih dan lebih,” imbuhnya.
Pemanasan Global
Hilangnya es meningkat dengan cepat akibat pemanasan global yang disebabkan oleh manusia.
Sebuah laporan iklim utama PBB yang diterbitkan pada Agustus ini menyimpulkan bahwa pencairan es di Greenland selama dua dekade terakhir diakibatkan oleh pembakaran bahan bakar fosil.
Sebuah studi baru-baru ini yang diterbitkan dalam jurnal Cryosphere menemukan bahwa Bumi telah kehilangan 28 triliun ton es secara mengejutkan sejak pertengahan 1990-an, sebagian besar berasal dari Kutub Utara, termasuk lapisan es Greenland.
Pada Juli, lapisan es Greenland mengalami salah satu peristiwa pencairan paling signifikan dalam dekade terakhir, lebih dari 8,5 miliar ton massa hilang permukaan dalam sehari, yang cukup untuk menenggelamkan Florida dalam 2 inci.
Itu adalah contoh ketiga dari pelelehan ekstrem dalam dekade terakhir, di mana pelelehan telah membentang lebih jauh ke pedalaman daripada seluruh era satelit, yang dimulai pada 1970-an.
Pada 2019, Greenland menumpahkan sekitar 532 miliar ton es ke laut. Selama tahun itu, mata air panas yang tidak terduga dan gelombang panas pada Juli menyebabkan hampir seluruh permukaan lapisan es mulai mencair. Akibatnya, permukaan air laut global naik secara permanen sebesar 1,5 milimeter.
“Kita melewati ambang batas yang tidak terlihat selama ribuan tahun, dan terus terang ini tidak akan berubah sampai kita menyesuaikan apa yang kita lakukan di udara,” kata Scambos.
Peristiwa tidak biasa lainnya juga menjadi lebih sering, kata Mercer. Pada 2 tahun lalu itu, beruang kutub berhasil mencapai Stasiun Puncak Greenland, yang tidak biasa karena beruang kutub tinggal di daerah pesisir di mana mereka dapat dengan mudah menemukan makanan.
Ancaman bagi manusia
Pada Maret 2019 lalu, BBC Indonesia melaporkan bahwa hujan pernah terjadi di Greenland saat musim dingin.
Jika hujan terus terjadi, maka es akan cepat mencair hingga menyebabkan tinggi permukaan laut meningkat. Kondisi itu bisa mengancam pusat-pusat populasi pesisir di seluruh dunia.
Perstiwa serupa terulang tahun ini dan menimbulkan kekhawatiran semakin naiknya tinggi permukaan laut dan berbahaya bagi manusia, terutama di daerah pesisir di dunia. [Sumber: Kompas Global/ Penulis: Shintaloka Pradita Sicca | Editor: Shintaloka Pradita Sicca]