Nukilan.id – Badan Pusat Statistik mencatat Daerah Istimewa Aceh sudah menjadi daerah termiskin dengan daerah lain di tanah Sumatera sejak 2002.
Pada 2002, jumlah penduduk miskin di Aceh berjumlah 1,19 juta jiwa atau secara persentase sebesar 29,83%. Tertinggi dibandingkan daerah lain seperti Sumatera Selatan yang saat itu jumlah penduduknya secara persentase 22,32%, Bengkulu 22,7%, dan yang paling sedikit angka kemiskinannya saat itu adalah Bangka Belitung dengan persentase 11,62%.
Berbeda dengan BPS, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) justru mencatat tingginya kemiskinan di Aceh sudah terjadi sejak tahun 2000.
“Jadi so far, Provinsi Aceh tingkat kemiskinan sudah tinggi sejak tahun 2000,” jelas Direktur Penanggulangan Kemiskinan dan Kesejahteraan Sosial Bappenas Maliki sebagaimana dilansir CNBC Indonesia pada Kamis (18/2).
Menurut Maliki ini disebabkan oleh jumlah penduduk Aceh yang lebih sedikit dibandingkan dengan daerah lain di Sumatera. Di samping itu, optimalisasi dari sumber daya masih rendah. Seperti kopi, yang sebenarnya sangat digemari oleh masyarakat dunia.
Dari tahun ke tahun, jumlah penduduk miskin di Aceh memang menunjukkan adanya angka penurunan, namun tidak signifikan. Sehingga tidak menggeserkan Aceh sebagai daerah dengan jumlah penduduk miskin terbanyak di Sumatera.
Dilihat dari data tahunan, selama 5 tahun ini jumlah penduduk miskin di Aceh masih tinggi. Pada September 2015 misalnya, jumlah penduduk miskinnya 859,41 ribu atau 17,11%.
Persentase itu turun jadi 16,43% pada September 2016 dan berlanjut lagi menjadi 15,92% pada September 2017 dan 15,68% pada September 2018.
Pada September 2019, angka kemiskinan berhasil turun lagi menjadi 15,01% dan turun lagi menjadi 14,99% pada Maret 2020.
Kemudian naik lagi menjadi 15,43% atau sebanyak 833,91 ribu orang pada September 2020 seperti yang dilaporkan oleh Kepala BPS Suhariyanto belum lama ini. Jumlah itu bertambah 19.000 orang dibandingkan dengan Maret 2020 yakni 814,91 ribu orang.
Disamping itu, optimalisasi dari sumber daya alamnya masih rendah. Seperti kopi, yang sebenarnya sangat digemari oleh masyarakat dunia.
“Produk-produk masyarakat miskin rentan masih belum diolah sehingga (tidak) mempunyai daya jual yang lebih tinggi. Mungkin karena Medan masih menjadi pusat ekonomi di daerah itu,” ujarnya.
“Hasil olahan rakyat, terutama kopi masih banyak didominasi oleh pasaran melalui Medan, Jadi kontrol harga masih belum optimal,” kata Maliki melanjutkan.
Menurut Maliki, kebanyakan masyarakat penduduk Aceh juga lebih banyak memperhatikan investasi daripada untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-harinya.
“Orang Aceh lebih banyak memperhatikan investasi daripada pengeluaran untuk makanan dan sehari-hari. Inipun pasti akan mempengaruhi profil pengeluaran. Di mana kemiskinan sangat dipengaruhi oleh pola makan dan kalori,” tuturnya.
Dana otonomi khusus (Otsus) Aceh yang sudah digelontorkan oleh pemerintah sejak 2015-2020 Rp 47,6 triliun juga menurut Maliki belum dimanfaatkan secara baik.
“Mungkin nanti ke depan (dana otsus) bisa digunakan untuk meningkatkan akses pasar yang lebih independen. Daripada harus lewat Medan, Sumatera Utara,” tuturnya.
Untuk menanggulangi dan mengurangi angka kemiskinan di Aceh, Bappenas berencana untuk membuat beberapa uji coba yang akan segera diperluas di Aceh. Bappenas akan memulainya dengan merapikan data dengan melakukan uji coba registrasi sosial mendata seluruh penduduk di beberapa desa di Aceh.
Dalam menanggulangi kemiskinan di Aceh, Bappenas juga akan memperluas cakupan administrasi kependudukan, terutama cakupan akta lahir. Pasalnya masyarakat miskin rentan tidak memiliki memiliki akta lahir.
“Sistem pelayanan dasar, baik pendidikan, kesehatan, maupun sanitasi air minum. Tata kelolanya sedang kami merapikan. Kami juga akan melakukan pemberdayaan ekonomi dengan memberdayakan rakyat miskin melalui pemberdayaan sumber daya lokal, namanya keperantaraan,” jelas Maliki.