NUKILAN.ID | MEDAN – Penetapan empat pulau di Kabupaten Aceh Singkil ke wilayah Tapanuli Tengah, Sumatera Utara (Sumut), oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) memantik polemik. Di tengah sorotan publik, Gubernur Sumatera Utara, Bobby Nasution, angkat bicara dan menegaskan bahwa pihaknya tidak melakukan perebutan wilayah.
“Nggak merebut ya, pertama itu kan tentang batas wilayah,” ujar Bobby Nasution di Kantor Gubsu, Rabu (28/5/2025).
Proses Penetapan Melibatkan Tim Antar Daerah
Bobby menjelaskan bahwa setiap pembahasan batas wilayah, baik antar kabupaten/kota maupun antar provinsi, selalu melibatkan tim khusus. Tim ini terdiri atas perwakilan dari daerah yang bersengketa, serta unsur Kementerian Dalam Negeri.
“Batas wilayah ini baik antar kabupaten/kota, batas wilayah antar provinsi itu semua sebenarnya timnya ada pada saat pembahasan. Contoh dulu saat saya di Medan dengan Deli Serdang itu dua pihak dihadirkan, dari kementerian juga, begitu juga batas wilayah antar provinsi,” jelas Bobby.
Ia menegaskan, tidak ada proses sepihak dalam menentukan batas wilayah. Semuanya dibahas melalui prosedur teknis dan hukum.
“Di situ nggak bisa main rebut-rebut, saya mau ini saya mau ini, nggak bisa. Semua dibahas di situ secara teknis dan aturannya ada, kenapa ini dianggap bagian Sumatera Utara, kenapa ini dianggap bagian dari Aceh,” tambahnya.
Meski demikian, Bobby mengaku belum memastikan apakah warga di empat pulau itu memiliki KTP Aceh atau Sumut. Ia menyebutkan pihaknya akan melakukan pengecekan secara rinci.
“Nah kalau sekarang saya belum cek secara detail ya, misalnya di sana warganya ber-KTP Aceh atau ber-KTP Sumatera Utara nanti akan kami cek terlebih dahulu,” tutupnya.
Aceh Ajukan Bukti Dari Peta 1992 hingga Prasasti di Pulau
Di sisi lain, Pemerintah Aceh menolak keputusan tersebut. Mereka menyatakan akan memperjuangkan agar keempat pulau itu kembali ke Tanah Rencong. Pulau yang dimaksud meliputi Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek.
Status administratif tersebut tertuang dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 yang ditetapkan pada 25 April 2025. Namun, menurut Kepala Biro Pemerintahan dan Otonomi Daerah Setda Aceh, Syakir, proses ini telah dimulai jauh sebelum 2022.
“Proses perubahan status keempat pulau tersebut telah berlangsung sebelum tahun 2022, jauh sebelum Gubernur Muzakir Manaf dan Wakil Gubernur Fadhlullah menjabat,” ungkap Syakir, Senin (26/5).
Ia menambahkan bahwa sejak 2022 telah dilakukan beberapa kali rapat koordinasi dan survei lapangan yang difasilitasi Kemendagri. Dalam proses itu, Pemerintah Aceh turut serta dengan membawa bukti otentik yang menunjukkan bahwa keempat pulau adalah bagian dari Aceh.
Infrastruktur dan Dokumen Administratif Jadi Senjata Aceh
Dalam verifikasi lapangan, Pemerintah Aceh mempresentasikan sejumlah bukti penting. Di antaranya adalah infrastruktur yang dibangun oleh Pemerintah Aceh dan Pemkab Aceh Singkil. Bukti tersebut meliputi tugu selamat datang, rumah singgah, mushala, hingga dermaga di Pulau Panjang.
“Dokumen-dokumen pendukung juga telah kami serahkan, baik dari Pemerintah Aceh maupun dari Pemkab Aceh Singkil. Di antaranya terdapat peta kesepakatan antara Gubernur Aceh dan Gubernur Sumatera Utara yang disaksikan oleh Mendagri pada tahun 1992,” jelas Syakir.
Menurut Syakir, dalam peta tersebut jelas tergambar garis batas laut yang menunjukkan bahwa keempat pulau tersebut masuk dalam wilayah Aceh. Tak hanya itu, ia juga menyebutkan keberadaan dokumen kepemilikan tanah sejak 1965 dan administrasi pengelolaan dermaga.
Salah satu bukti paling menonjol ditemukan di Pulau Mangkir Ketek. Di sana, terdapat prasasti yang menyebut bahwa pulau tersebut adalah bagian dari Aceh. Prasasti itu dibangun pada Agustus 2018, berdampingan dengan tugu Pemkab Aceh Singkil dari tahun 2008.
“Berdasarkan dokumen dan hasil survei, keempat pulau tersebut masuk dalam cakupan wilayah Aceh. Hal ini dibuktikan melalui aspek hukum, administrasi, pemetaan, pengelolaan pulau, serta layanan publik yang telah dibangun oleh Pemerintah Aceh dan Pemkab Aceh Singkil,” tegasnya.
Perebutan atau Persoalan Batas?
Meski pernyataan dari dua belah pihak terdengar saling bertolak belakang, persoalan ini nyatanya bukan sekadar soal klaim sepihak. Ia menyangkut legitimasi dokumen, sejarah perbatasan, serta konsistensi pengelolaan layanan publik di pulau-pulau terluar.
Kini, bola panas berada di tangan pemerintah pusat. Apakah keputusan Kemendagri akan tetap bertahan atau justru akan ditinjau ulang? Jawabannya mungkin akan terungkap dalam proses administratif dan hukum selanjutnya.
Editor: Akil