NUKILAN.ID | OPINI – Dua puluh satu tahun lalu, tsunami Aceh mengguncang nurani dunia dan memaksa negara hadir secara besar-besaran. Triliunan rupiah digelontorkan, lembaga dibentuk, dan Aceh dijadikan simbol komitmen nasional terhadap penanganan bencana. Namun hari ini, pada peringatan 21 tahun tsunami, masyarakat Aceh justru kembali menghadapi bencana banjir yang berulang, meluas, dan berlangsung berminggu-minggu—dalam situasi di mana kehadiran negara terasa minim dan tidak memadai.
Banjir yang terjadi selama satu bulan terakhir tidak dapat lagi disebut sebagai musibah alam semata. Ia adalah bencana yang diproduksi oleh kebijakan, atau lebih tepatnya, oleh kelalaian kebijakan. Kerusakan daerah aliran sungai, alih fungsi lahan tanpa kendali, pembiaran terhadap eksploitasi lingkungan, serta lemahnya pengawasan tata ruang menunjukkan kegagalan sistemik dalam pengelolaan wilayah rawan bencana. Ironisnya, kegagalan ini terjadi di daerah yang seharusnya menjadi etalase nasional mitigasi bencana pasca tsunami.
Pemerintah Republik Indonesia patut dikritik secara terbuka karena pendekatan kebencanaan yang masih reaktif, seremonial, dan jangka pendek. Kehadiran negara baru terasa ketika korban sudah jatuh, rumah terendam, dan aktivitas ekonomi lumpuh. Bahkan itu pun sering kali terbatas pada bantuan darurat yang tidak menyentuh akar persoalan. Tidak ada langkah tegas, terukur, dan berkelanjutan untuk memulihkan ekosistem, membenahi tata ruang, dan melindungi masyarakat dari bencana yang berulang setiap tahun.
Lebih memprihatinkan, Aceh seolah kehilangan posisi strategisnya dalam prioritas pembangunan nasional. Wilayah yang pernah menjadi pusat perhatian dunia kini diperlakukan sebagai daerah pinggiran kebijakan. Janji penguatan mitigasi bencana, adaptasi perubahan iklim, dan pembangunan berkelanjutan terdengar lantang dalam dokumen nasional, tetapi nyaris tidak terasa dalam realitas lapangan di Aceh.
Peringatan 21 tahun tsunami seharusnya menjadi momen evaluasi keras, bukan nostalgia kosong. Negara tidak boleh terus berlindung di balik narasi ketangguhan masyarakat Aceh. Ketangguhan rakyat bukan legitimasi untuk abainya negara. Ketika bencana terus berulang dan korban kembali berjatuhan, yang dipertaruhkan bukan hanya infrastruktur, tetapi martabat negara dalam menjalankan amanat konstitusi: melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia.
Jika negara terus gagal belajar dari tsunami, maka banjir hari ini adalah bukti nyata bahwa tragedi 2004 belum benar-benar dipahami. Aceh tidak membutuhkan belas kasihan sesaat, tetapi kehadiran negara yang konsisten, adil, dan bertanggung jawab. Negara harus berhenti datang setelah air surut—dan mulai bekerja sebelum air kembali naik.
Penulis: Dr. H. Taufiq, S.Pi., M.Si (Akedimisi Fakukltas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Universitas Teuku Umar)

