14 Tahun Wafatnya Hasan Tiro, Sejarah Perjuangan Hingga ‘Dekrit Keramat’ di Camp Batee Iliek

Share

NUKILAN.id | Banda Aceh – Hari ini, 3 Juni 2024, tepat 14 tahun sejak wafatnya deklarator Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Tgk Muhammad Hasan di Tiro. Pada Kamis, 3 Juni 2010 silam, Hasan Tiro mengembuskan napas terakhir di Rumah Sakit Umum Daerah dr Zainoel Abidin (RSUDZA) Banda Aceh.

Dari penelusuran digital Nukilan.id, diketahui Hasan Tiro meninggal dunia setelah menjalani perawatan intensif selama 12 hari di RSUDZA. Meskipun telah puluhan tahun menetap di luar negeri, Hasan Tiro kembali ke tanah kelahirannya, meninggal, dan dimakamkan di Aceh.

Ketua tim dokter yang menangani Hasan Tiro saat itu, (alm) dr Andalas SPOG, menyatakan bahwa Wali Neugara Aceh ini meninggal akibat komplikasi penyakit yang dideritanya, terutama infeksi saluran pernapasan dan paru-paru yang menyebabkan jantungnya drop.

Hasan Tiro meninggal dunia dikelilingi oleh keluarga dekat dan mantan petinggi GAM, seperti Malik Mahmud dan Zaini Abdullah. Sebagai deklarator GAM, Hasan Tiro dikenal sebagai figur yang mengukir sejarah konflik Aceh dengan tinta emas.

Hasan Tiro dikenal meninggalkan kehidupan mewah dan keluarga yang dicintainya untuk mengobarkan semangat perjuangan. Dia merekrut banyak pemuda, tokoh, dan masyarakat untuk ikut berjuang bersamanya di dalam hutan.

Setelah mendeklarasikan GAM di Gunung Halimon, Pidie, pada 4 Desember 1976, Hasan Tiro menjadi orang yang paling diburu oleh tentara pemerintah saat itu. Ia bergerilya, keluar-masuk hutan untuk memperkuat gerakan, merekrut anggota, dan merancang strategi perlawanan terhadap Indonesia.

Pada akhirnya, Hasan Tiro mengasingkan diri ke luar negeri dan menetap di Stockholm, Swedia bersama elite-elite pendiri GAM di masanya. Hasan Tiro kembali ke Aceh pada 11 Oktober 2008 setelah 30 tahun berada di luar Indonesia, terus menyemarakkan semangat ideologi GAM dari luar negeri.

Hasan Tiro, putra kelahiran Tiro, Pidie, Aceh, pada 25 September 1925 ini, tutup usia pada 3 Juni 2010 dan dimakamkan di Meureu, Indrapuri, Aceh Besar. Kepergiannya meninggalkan jejak yang tak terlupakan dalam sejarah panjang perjuangan dan perdamaian di Aceh.

Dalam sejarah perjuangannya, sosok Hasan Tiro memiliki sejumlah kolega dan menteri kabinet yang dibentuknya untuk memperjuangkan Aceh menjadi sebuah negara. Di antara para kabinet tersebut seperti dr Teungku Mochtar Hasbi yang menjabat sebagai Majelis Mentroe dan juga Mendagri saat itu. Ada juga nama dr Zubir Mahmud yang menjabat sebagai Menteri Sosial.

Kemudian Tengku Ilyas Leubee sebagai Menteri Keadilan Negara, dan juga Amir Mahmud, abang dari Malik Mahmud. Lalu ada nama dr Zaini Abdullah dan juga dr Husaini Hasan sebagai Sekretaris Negara dan disebut-sebut orang paling dekat dengan Hasan Tiro.

Pada suatu ketika, menurut Dr Husaini Hasan, Hasan Tiro pernah menitipkan pesan atau amanah tentang siapa yang akan memimpin perjuangan jika dirinya meninggal dunia.

Dikutip dari Serambinews.com, Dr Husaini Hasan pada Selasa (11/12/2018) silam mengakui adanya pesan tersebut.

“Iya. Bahwa dulu kami membuat siapa yang akan memimpin perjuangan jika wali tak ada. Hierarkinya menurut kepemimpinan, pertama ada nama dr Mukhtar Hasbi, kemudian Tgk Ilyas Leubee, lepas itu saya, sesudah giliran saya ada dr Zaini Abdullah, lalu ada nama Zubir Mahmud. Sampai itu saja,” kata Dr Husaini dikutip Nukilan.id, Senin (3/6/2024).

Sementara itu, peneliti Hasan Tiro, Haekal Afifa menyebutkan, pesan Hasan Tiro terkait kelanjutan kepemimpinan itu adalah “Dekrit Keramat” Wali Negara Aceh, Tengku Hasan di Tiro. Haekal Afifa sempat menuliskan hal itu di halaman Facebooknya pada Rabu (12/12/2018) silam.

Menurutnya, banyak pihak bertanya-tanya, siapa sebenarnya yang akan menggantikan tugas Wali Negara Aceh Tengku Hasan Muhammad di Tiro baik saat beliau berhalangan maupun ketika beliau tiada.

“Secara resmi, kala kabinet Aceh Merdeka sudah terbentuk, Wali Neugara mengeluarkan surat keputusan penting terkait hal ini. Surat Keputusan atau ‘Dekrit Wali Negara Aceh’ ini setau saya belum pernah dibatalkan, baik dalam rapat-rapat penting GAM maupun dalam Deklarasi Stavanger di Norwegia pada 21 Juli 2002.” tulis Haekal, dikutip Nukilan.id pada Senin (3/6/2024).

Sehingga, banyak pihak terjebak menempatkan narasi sejarah penting Aceh khususnya tugas dan fungsi yang akan menggantikan sang Wali. Haekal menuliskan, keputusan ini dikeluarkan oleh Tengku Hasan pada Tanggal 15 Maret 1979 di Camp Bateë Iliëk II. Camp terakhir (Camp ke-41) sejak kepulangan Tengku Hasan di Tiro ke Aceh pada tahun 1976.

“Dari Camp inilah, beliau memimpin rapat dan upacara terakhir Aceh Merdeka sejak kepulangannya ke Aceh. Karena, 13 hari sesudah itu (28 Maret 1979) beliau berangkat ke luar negeri melalui perairan Batëe Iliëk,” tulis Haekal lagi.

Di camp ini juga, semua anggota staf Aceh Merdeka menerima seragam militer yang diberikan oleh beberapa orang di Keude Djeunib. Menurut Haekal, dalam catatan Aceh Merdeka, Batée Iliëk memiliki sejarah penting.

Karena, di sana adalah tempat bersejarah perang dahsyat antara Aceh dan Belanda pada tahun 1905. Belanda kala itu di bawah kepemimpinan Van Heutz.

Haekal menjelaskan, Dalam versi asli buku The Price of Freedom: the unfinished Diary of Tengku Hasan di Tiro (Koleksi Leiden) terbitan 1982, Wali Negara menulis Dekrit ini dalam Bahasa Inggris sebagai berikut:

“I signed a Decree stipulating that in my absence the State of Acheh Sumatra shall be governed by the Council of Ministes headed by a Prime Minister and with several Deputy Prime Ministers who, in case of death will replace one another in succession. The Prime Minister is Dr. Muchtar Hasbi with Tengku Ilyas Leubè as First Deputy, Dr. Husaini Hasan the Second Deputy, Dr. Zaini Abdullah the Third Deputy, and Dr. Zubir Mahmud, the Fourth Deputy. That precedent is established by their order of seniority in the leadership of the NLF. The Central Committee of the NLF shall act the emergency legislature to ratify the acts of the Cabinet,”.

Haekal menerjemahkan bunyi pesan Tgk Hasan Tiro sebagai berikut;

“Saya menandatangani keputusan yang menetapkan kondisi Negara Aceh Sumatra apabila saya tidak ada. Maka, Aceh Sumatra Merdeka akan diatur oleh Dewan Menteri yang dipimpin oleh Perdana Menteri bersama beberapa Wakil Perdana Menteri. Jika mereka meninggal akan mengantikan satu sama lain secara berurutan. Perdana Menteri adalah Dr. Muchtar Hasbi dengan Teungku Ilyas Leubée sebagai Wakil Pertama; Dr. Husaini Hasan Wakil Perdana Menteri Kedua; Dr. Zaini Abdullah Wakil Perdana Menteri Ketiga; Dr. Zubir Mahmud Wakil Perdana Menteri Keempat. Urutan ini ditetapkan berdasarkan senioritas mereka dalam kepemimpinan NLF – National Liberation Front. Komite Sentral Aceh Merdeka akan bertidak sebagai Legislatif darurat untuk meratifikasi setiap tindakan Kabinet,”

Menurut Haekal, “dekrit Keramat” ini mendeskripsikan urutan kepemimpinan resmi dalam perjuangan Aceh Merdeka kala gerakan ini didirikan oleh Tengku Hasan Muhammad di Tiro. Bahkan, dekrit ini menjelaskan kepada generasi Aceh selanjutnya siapa sebenarnya yang lebih senior dalam perjuangan kala itu.

“Dengan sengaja, Tengku Hasan di Tiro mengeluarkan dekrit bersejarah ini di tempat yang penuh dengan darah dan air mata pahlawan Aceh sebagai pesan bahwa sejarah tidak boleh dan tidak bisa dikhianati oleh siapapun.

Terlepas dari apapun, sejarah adalah harga yang harus kita bayar dengan sangat mahal,” demikian Haekal dalam tulisannya.

Reporter: Akil Rahmatillah

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

Read more

Local News