Nukilan.id – Ketua Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA), Safaruddin, melaporkan Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian ke Ombudsman Republik Indonesia di Jakarta, pengaduan tersebut, terkait dengan sikap Menteri Dalam Negeri (Mendagri) yang tidak mengindahkan somasi yang di layangkan oleh YARA pada Oktober lalu.
Dengan meminta agar Mendagri mencabut Keputusan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 188.34-4791 tahun 2016 tentang Pembatalan beberapa ketentuan dari Qanun Aceh Nomor 3 tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh, namun somasi tersebut tidak di jalankan sehingga YARA mengadukan ini kepada Ombudsman RI di Jakarta,” kata Safaruddin dalam keterangan tertulis kepada Nukilan.id, Rabu (22/12/2021).
“Kami telah menyampaikan kepada Mendagri melalui surat somasi pada tanggal 11 Oktober 2021, yang meminta Mendagri untuk mencabut Keputusan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 188.34-4791 tahun 2016 tentang Pembatalan beberapa ketentuan dari Qanun Aceh Nomor 3 tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh karena surat tersebut yang dalam konsiderannya menyandarkan payung hukum pada pasal 251 ayat (1) UU Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah sudah tidak punya legal standingnya karena pasal 251 ayat (1) tersebut telah di nyatakan tidak berkekuatan hukum (inkonstitusional) melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XIV/2016, namun Mendagri tidak mengindahkannya,” Jelas Safar.
Selain itu, Safar juga mempersoalkan isi Kepmendagri yang pada laporan Kepmen tersebut dalam mempermasalahkan pencantuman Kaliman MoU Helsinki.
“Mendagri mengeluarkan Kepmen tersebut adalah karena dalam Qanun Nomor 3 tahun 2013 mencantumkan kalimat “Konsideran menimbang huruf a, huruf dan huruf d yang terkait dengan Memorandum of understanding between The Government of Republik Indonesia and the Free Aceh Movement Helsinki 15 Agustus 2005 tidak perlu dimuat karena subtansi MoU telah diwujudkan dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh” jelasnya.
Menurutnya, Menteri Dalam Negeri tidak membaca UU Nomor 11 tahun 2006 yang di dalam paragraf 9 penjelasan menyebutkan “Nota kesepakatan (Memorandun of Understanding) antara Pemerintah Aceh dengan Gerakan Aceh Merdeka yang di tandatangani pada (15/8/2005) menandakan kilas baru sejarah perjalanan Provinsi Aceh dan kehidupan masyarakatnya menuju keadaan yang damai, adil, makmur, sejahtera, dan bermartabat.
Hal ini, kata safar, patut di pahami bahwa Nota Kesepahaman adalah bentuk rekonsiliasi secara bermartabat menuju pembangunan sosial, ekonomi, dan politikdi Aceh secara berkelanjutan, dalam Peraturan Perundang-undangan saja setingkat Undang-Undang kalimat ”Memorandum of understanding between The Government of Republik Indonesia and the Free Aceh Movement Helsinki 15 Agustus 2005 atau Nota kesepakatan ( Memorandun of Understanding) antara Pemerintah Aceh dengan Gerakan Aceh Merdeka yang di tandatangani pada tanggal 15 Agustus 2005” di sebut dengan jelas.
Lantas mengapa Mendagri kemudian melarang penggunaan kalimat tersebut dalam Qanun Aceh?,” ungkap Safar.
Dalam laporan aduan yang di sampaikan kepada Ombudsman tersebut Safar juga menyertakan Keputusan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 188.34-4791 tahun 2016 tentang Pembatalan beberapa ketentuan dari Qanun Aceh Nomor 3 tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh, dan surat balasan dari Mendagri yang di layangkan YARA beberapa waktu lalu.
“Kami menilai, Mendagri telah melakukan maladministrasi, oleh karena itu, kami melaporkan ini ke Ombudsman RI agar di periksa sesuai dengan peraturan perundang-undangan,” tutup Safar di usai menyerahkan laporan di Kantor Ombudsman di Jakarta.[]