Wali Nanggroe: Generasi Muda Harus Menjaga Damai, Bukan Pewaris Luka

Share

NUKILAN.ID | JAKARTA – Wali Nanggroe Aceh, Tgk Malik Mahmud Al Haythar, mengingatkan generasi muda Aceh dan Indonesia agar menjadi penjaga perdamaian, bukan pewaris luka konflik masa lalu.

“Kepada generasi muda Aceh dan Indonesia, agar menjadi penjaga damai, bukan pewaris luka,” ujar Tgk Malik Mahmud.

Pesan itu ia sampaikan saat menjadi pembicara pada kegiatan Commemoration of the 20th Anniversary of the Aceh Peace Agreement di Jakarta, Rabu (13/8).

Acara tersebut mengangkat tema refleksi dari kepemimpinan Aceh dalam proses perundingan dan turut dihadiri Wakil Presiden RI ke-10-12 Jusuf Kalla, mantan Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaluddin, serta inisiator perdamaian Aceh asal Finlandia, Juha Christensen.

Selain menitipkan pesan damai, Malik juga mengajak generasi muda Aceh untuk mengenang sejarah dan menghormati pengorbanan para syuhada.

“Tetapi, tetap maju dengan visi baru untuk Aceh yang damai, bermartabat dalam bingkai keindonesiaan yang adil dan demokratis,” kata mantan Perdana Menteri GAM itu.

Dalam kesempatan tersebut, Malik juga menyampaikan terima kasih kepada seluruh pihak yang berperan menjaga perdamaian hingga kini, khususnya Crisis Management Initiative (CMI) dan Pemerintah Finlandia yang menjadi mediator dalam proses perdamaian 2005 silam.

Ia menegaskan, peringatan dua dekade MoU Helsinki harus menjadi momentum evaluasi sekaligus revitalisasi semangat perdamaian.

“Proses perundingan di Helsinki bukan semata-mata proses politik, tetapi juga sebuah langkah batin, dan penyembuhan kolektif,” ujarnya.

Menurutnya, perdamaian tidak pernah lahir dari rasa menang atau kalah, melainkan dari keberanian untuk saling memahami.

“Karena itu, perjanjian Helsinki bukan hanya hasil dari negosiasi dua pihak, melainkan warisan bersama antara Aceh dan Indonesia, yang menandai kemenangan akal sehat, kebijaksanaan, dan cinta kepada rakyat,” kata Malik.

Ia menambahkan, perdamaian bukan akhir, tetapi awal perjuangan baru untuk keadilan, pembangunan, dan penghormatan hak-hak dasar rakyat Aceh sebagaimana tertuang dalam MoU Helsinki dan Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA).

Meski demikian, Malik mengakui masih banyak pekerjaan rumah yang harus dituntaskan. Mulai dari implementasi butir-butir perjanjian damai, pemenuhan hak-hak korban konflik, hingga penguatan lembaga lokal agar mampu berdiri tegak dalam sistem otonomi bermartabat.

“Perdamaian tidak boleh dianggap sebagai sesuatu yang telah selesai, tetapi harus terus dipelihara, ditumbuhkan, dan diperjuangkan pada ruang-ruang kebijakan, di ruang publik, terutama di hati setiap anak bangsa,” tegasnya.

Kepada Pemerintah Indonesia, ia kembali menyerukan agar menjaga komitmen yang telah dibangun bersama.

“Implementasi perjanjian damai bukan semata-mata soal administrasi atau politik, tetapi soal menjaga kepercayaan, membangun masa depan yang damai dan setara. Semoga Allah SWT meridhai setiap ikhtiar kita untuk menjaga dan memperkuat perdamaian untuk Aceh, Indonesia, dan dunia,” tutup Malik.

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

Read more

Local News