NUKILAN.ID | BANDA ACEH – Ribuan umat Islam memadati halaman Masjid Oman Al-Makmur, Banda Aceh, Jumat (6/6/2025) pagi, untuk menunaikan Salat Idul Adha 1446 Hijriah. Di bawah langit Banda Aceh yang cerah, gema takbir dan lantunan tahmid berkumandang mengiringi pelaksanaan ibadah yang berlangsung khidmat.
Ustaz Muhammad Muhajir Syarifuddin, Lc., MA. bertindak sebagai khatib dalam salat ied kali ini. Amatan Nukilan.id, dalam khutbahnya, ia mengingatkan makna terdalam dari pengorbanan Nabi Ibrahim AS dan pentingnya menumbuhkan kembali ketaatan tanpa syarat dalam kehidupan umat Islam hari ini.
“Inilah yang hilang dari kita hari ini, jemaah. Meja kerja kita, rumah tangga kita, bahkan fasilitas pendidikan dan olahraga kita—semuanya berjalan tanpa kehadiran Allah,” seru Ustaz Muhajir di hadapan ribuan jamaah yang memadati seluruh area masjid, termasuk hingga ke halaman dan badan jalan.
Nikmat Pilihan dan Kemuliaan Zulhijah
Di awal khutbahnya, Ustaz Muhajir menekankan pentingnya bersyukur atas nikmat pilihan, yakni ketika seseorang dipilih oleh Allah untuk berada di waktu, tempat, dan keadaan yang mulia. Ia menyebutkan keistimewaan 10 hari pertama Zulhijah, sebagaimana Rasulullah menyatakan bahwa tidak ada amal saleh yang lebih dicintai Allah selain yang dilakukan di hari-hari tersebut.
“Kalau kalian tahu bagaimana cinta Rabb kalian kepada kalian, sungguh kalian akan meleleh dengan cinta,” ujar sang khatib, mengutip pandangan Imam Ibnul Qayyim.
Ia juga menyinggung Hari Arafah, yang disebut Rasulullah sebagai hari paling banyak Allah memerdekakan hamba-Nya dari api neraka. Hari itu, kata dia, merupakan momentum doa dan ampunan luar biasa bagi umat Islam yang memahami nilainya.
Ibrahim: Simbol Ketaatan dan Pengorbanan
Pesan utama dalam khutbah Idul Adha ini berpusat pada keteladanan Nabi Ibrahim AS. Ustaz Muhajir menekankan bahwa ketaatan Ibrahim merupakan simbol pengabdian tanpa syarat kepada perintah Allah, bahkan ketika perintah itu melampaui logika manusia.
Ia mengingatkan, perintah Allah kepada Ibrahim untuk meninggalkan Hajar dan Ismail di tanah tandus, atau menyembelih anaknya sendiri, menjadi teladan tak terbantahkan tentang bagaimana seorang hamba sepenuhnya tunduk kepada kehendak Tuhannya.
“Ini yang hilang dari kita. Kita main hitung-hitungan sama Allah. Kita jadikan panggilan sederhana seperti azan menjadi berat,” kata Ustaz Muhajir dengan nada mengkritik diri.
Khutbah itu pun membawa jamaah menengok kembali sejarah Perang Uhud, saat para sahabat Nabi Muhammad SAW bangkit kembali meski tubuh mereka terluka parah, demi menjawab panggilan jihad. Ia mengaitkan kisah tersebut dengan realitas umat Islam masa kini yang mudah beralasan untuk menjauhi salat dan ibadah lain.
Ketergantungan kepada Allah
Khutbah kemudian ditutup dengan seruan untuk menumbuhkan kembali sifat tawakal dan ketergantungan mutlak kepada Allah, seperti yang dicontohkan Nabi Ibrahim dalam berbagai ujian berat yang ia hadapi.
Ia menyinggung dialog antara Siti Hajar dan Nabi Ibrahim ketika ditinggalkan di lembah tandus tanpa bekal.
“Kalau Allah yang memerintahkan, tidak mungkin Allah membiarkan kami sia-sia,” ujar sang khatib mengutip kalimat penuh keyakinan dari Siti Hajar, yang menjadi simbol kepercayaan mutlak terhadap janji Allah.
Khutbah yang disampaikan selama lebih dari 30 menit itu ditutup dengan takbir dan doa, yang diikuti penuh haru oleh para jamaah. Usai salat, banyak warga melanjutkan hari raya dengan menyembelih hewan kurban dan bersilaturahmi ke rumah-rumah keluarga. (xrq)
Reporter: Akil