NUKILAN.ID | BANDA ACEH — Harga emas yang terus melambung dalam beberapa waktu terakhir menjadi beban tersendiri bagi pemuda Aceh yang ingin menikah. Di tengah budaya lokal yang mengharuskan mahar berupa emas, bahkan paling sedikit 3 hingga 5 mayam, banyak kalangan muda mulai merasa tertekan secara ekonomi.
Saat ini, harga emas per mayam di Banda Aceh bertahan di angka Rp 5.660.000, belum termasuk ongkos pembuatan. Dalam setahun terakhir, angka ini melonjak tajam hingga sekitar 43,66 persen dibandingkan Mei 2024.
Di tengah kondisi ini, muncul pertanyaan: adakah alternatif mahar yang lebih ringan namun tetap sah menurut Islam?
Menanggapi hal tersebut, pada Selasa (27/5/2025), Nukilan.id mewawancarai Ustaz Miswal Saragih. Ia menegaskan bahwa Islam sesungguhnya tidak membatasi mahar hanya pada bentuk emas atau materi yang mahal.
“Jadi Nabi kita Muhammad ﷺ, memberikan contoh bahwa mahar itu tidak harus mahal dan tidak mesti berupa emas,” kata Ustaz Miswal membuka penjelasannya.
Lebih lanjut, ia mencontohkan pernikahan agung antara Ali bin Abi Thalib dengan Fatimah binti Rasulullah ﷺ. Dalam kisah tersebut, Ali hanya memberikan mahar berupa barang sederhana yang ia miliki kala itu.
“Contohnya ketika Ali bin Abi Thalib ingin menikahi Fatimah binti Rasulullah, dengan mahar baju atau perisai besi miliknya,” sambungnya.
Tak hanya itu, Ustaz Miswal juga mengisahkan bagaimana Nabi Muhammad ﷺ pernah menikahkan seorang sahabatnya yang tidak memiliki harta sedikit pun untuk dijadikan mahar. Dalam kasus ini, mahar digantikan oleh sesuatu yang lebih bermakna dan bermanfaat.
“Begitu juga dulu ada seorang sahabat lainnya yang menikah dengan mahar berbentuk pengajaran Al-Quran kepada calon istrinya, karena dia tidak memiliki harta, sebagaimana dalam hadis riwayat Bukhari dan Muslim,” jelasnya.
Menurutnya, berbagai kisah tersebut menjadi bukti bahwa Islam sangat fleksibel dalam memandang mahar. Yang terpenting bukanlah nilai material yang besar, tetapi niat baik, keberkahan, dan kesepakatan yang dicapai antara kedua calon mempelai.
“Jadi kisah-kisah ini menunjukkan bahwa yang penting itu keberkahan dan kesepakatan, bukan dari nilai materi yang besar,” pungkasnya.
Dalam konteks Aceh yang menjunjung tinggi nilai-nilai adat sekaligus berlandaskan pada syariat Islam, pernyataan ini patut menjadi bahan renungan bersama. Budaya pemberian mahar dalam bentuk emas, meski memiliki nilai simbolik dan penghormatan, perlu dilihat ulang agar tidak menjadi beban yang justru menghalangi generasi muda untuk membina rumah tangga.
Dengan meneladani kesederhanaan Rasulullah ﷺ dan para sahabatnya, para pemuda Aceh dapat menemukan jalan keluar yang bijak dalam menghadapi tantangan ekonomi masa kini, tanpa mengurangi esensi dan kesakralan sebuah pernikahan. (xrq)
Reporter: Akil