Nukilan.id – Akademisi Usman Lamreung mengatakan, polemik Majelis Adat Aceh (MAA) sepertinya tidak kunjung usai dan diselesaikan, sejak penolakan hasil Musyawarah Besar (Mubes) tahun 2018 oleh Plt Gubernur Aceh Nova Iriansyah (saat itu belum definitif Gubernur) yang dianggap cacat hukum, tidak sesuai dengan Qanun Aceh No. 3 Tahun 2004. Saat itu yang terpilih hasil mubes adalah Badruzzaman Ismail. Akhirnya ketua terpilih hasil mubes MAA Oktober 2018 Badruzzaman Ismail mengajukan gugatan terhadap Plt Gubernur, Nova Iriansyah ke PTUN Banda Aceh.
Akhirnya sesuai dengan putusan pengadilan mulai dari Pengadilan Tata Usaha Negera (PTUN) Banda Aceh, PT PTUN Medan (banding), hingga Mahkamah Agung (kasasi) semuanya telah dimenangkan gugatan Badruzzaman Ismail. Maka sudah sepatutnya Gubernur Aceh taat hukum dan seharusnya segera menetapkan Ketua Majelis Adat Aceh terpilih hasil Mubes MAA Oktober 2018, Badruzzaman Ismail, karena proses hukum sudah selesai, Gubernur harus mengembalikan posisi ketua MAA hasil Mubes tahun 2018.
Gubernur Aceh Nova Iriansyah bukannya menetapkan Badruzzaman Ismail sebagai ketua MAA, sesuai putusan Makamah Agung, malah menunjuk Plt Ketua MAA, untuk melaksanakan kembali Munyawarah Besar (Mubes), dan pada tanggal 25-26 November 2020 tahun lalu, kembali melaksanakan Mubes MAA, terpilih sebagai Ketua MAA saat itu adalah Prof. Dr. Farid Wajdi Ibrahim,. M.A. Jelasnya
Ia menjelaskan, pada tanggal 21 Mei 2021 Wali Nanggroe Aceh, Malik Mahmud Al Haytar melantik Profesor Farid Wajdi Ibrahim sebagai ketua Majelis Adat Aceh (MAA) periode 2021-2026. Sayang setelah pelantikan Ketua MAA, beberapa bulan kemudian Profesor Farid Wajdi Ibrahim meninggal dunia, sehingga terjadi kekosongan Ketua MAA hingga saat ini. Kekosongan Ketua MAA, rupanya ada yang bekeinginan mengisi kekosongan jabatan dalam struktur MAA seperti kepengurusan sekarang Wakil Ketua dan Ketua Pemangku Adat bukan pilihan Mubes, sangat tidak tepat dicalonkan menjadi Ketua MAA.
Maka untuk mengatasi kekosongan Ketua MAA saat ini, sudah barang pasti akan membuka konflik baru dalam merebut kekosongan ketua MAA, sudah seharusnya Gubernur Nova Iriansyah menetapkan Baddrulzaman Ismail hasil mubes 2018, sesuai putusan Makamah Agung beliau selayaknya menjadi Ketua MAA. Ungkapnya
Kata dia – Usman, Gubernur Aceh bertaggungjawab atas kisruh lembaga Majelis Adat Aceh, Gubernur tidak menjalankan amanah Qanun Aceh No.3 Tahun 2004 dan mengabaikan putusan makamah Agung, sehingga lembaga Adat Aceh salah satu keistimewaan Aceh sekarang terobok –obak, terpolitisasi, dan dipolitisasi akibat arogansi kekuasaan yang tak patuh aturan hukum yang sudah ditetapkan. Maka sudah selayaknya Gubernur mengembalikan MAA pada titahnya menjadi lembaga adat Aceh, tanpa dipolitisasi untuk kepentingan kekuasaan.
Hasil Mubes Majelis Adat Aceh Tahun 2020 yang dilaksanakan atas dasar Payung Hukum Qanun Aceh No. 8 Tahun 2019 tentang Majelis Adat Aceh, Gubernur Aceh juga mengangkanginya. Dimana sesuai perintah Qanun untuk penyusunan Pengurus Lengkap Majelis Adat Aceh harus melalui Mubes yang dipilih dan disusun oleh Formatur. Nyatanya hasil penetapan Formatur bahkan telah ditetapkan dengan Surat Keputusan Gubernur No. 821.29/1700/2020, tanggal 30 Desember 2020, bahkan sudah selesai pelaksanaan gladi untuk Pengukuhannya, secara mendadak dibatalkan lagi dan mengobok-obok hasil Mubes dengan mengantikan separuh pengurus di luar Mubes tanpa menghiraukan syarat yang ditentukan dalam Qanun Majelis Adat Aceh, bahkan ada yang masih rangkap jabatan di kab/kota dan malah ada yang masih di bawah umur dari ketentuan yang ada.
Menurutnya, Gubernur Aceh sudah 2 Qanun yang dilanggar dengan tidak melaksanakan hasil Mubes baik Mubes Majelis Adat Aceh Tahun 2018 dan Mubes Tahun 2020. Padahal sesungguhnya untuk pelaksanaan kedua Mubes dimaksud telah menghabiskan uang negara milyaran rupiah, tapi hasilnya tidak dimanfaatkan.
Terkait dengan wewenang Wali Nanggroe, seharusnya Wali Nanggroe tidak asal mengukuhkan Pengurus Majelis Adat Aceh, tapi harus benar-benar memperhatikan amanah Qanun Aceh No. 8 Thn 2019, karena Lembaga dan Pengurus Majelis Adat Aceh berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Wali Nanggroe, serta mulai berlakunya Kepengurusan Majelis Adat Aceh sejak dikukuhkan oleh Wali Nanggroe. Seharusnya sebelum pengurus dikukuhkan oleh Wali Nanggroe harus benar-benar menpedomani syarat menjadi pengurus Majelis Adat Aceh dan prosedur penetapan pengurusnya. Karena kalau syarat-syarat menjadi pengurus dan prosedur penetapan pengurus melanggar ketentuan hukum, maka pengurus dimaksud batal demi hukum
Kepada Dewan Perwakilan Rakyat Aceh, sebagai lembaga pengawasan sudah sepatutnya memanggil para pihak, agar kisruh Lembaga Majelis Adat Aceh terselesaikan, bilapun tidak selesai bintang dulu mata anggaran di lembaga Majelis Adat Aceh tersebut, selesaikan kisruh ini dulu dengan musyawarah sesuai dengan adat istiadat Aceh dan kisruh diselesaikan dengan baik,”Tuturnya.[]