NUKILAN.id | Opini – Pertama kali menginjak kaki di Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala sebagai dosen muda, agak terkejut mendengar beberapa mahasiswa yang ‘medok’ bahasa Aceh namun tetap menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa komunikasi mereka. Di beberapa fakultas di lingkungan Universitas Syiah Kuala juga demikian, karena saya kebetulan mengampu mata kuliah umum Kewarganegaraan sehingga setiap hari mendengar percakapan mahasiswa. Apa yang harus saya lakukan untuk melestarikan bahasa ibu sebagai bahasa pemersatu rakyat Aceh? Atau bahkan, bagaimana bahasa yang hidup di Aceh ke depannya dapat diadopsi sebagai bahasa qanun-qanun, termasuk sebagai bahasa qanun kabupaten/kota seluruh Aceh?
Kegalauan saya di atas menjadi dasar basis pemikiran untuk mengungkapkan sejauh mana bahasa ibu digunakan di Aceh. Dalam konteks bahasa ibu, contoh yang akan diuraikan adalah bahasa Aceh sebagai bahasa ibu dan pemersatu bangsa Aceh.
Data menunjukkan, Badan Pusat Statistik Aceh menyatakan bahwa berdasarkan laporan long form Sensus Penduduk tahun 2023, penggunaan bahasa daerah Aceh mulai ditinggalkan generasi muda. Di kalangan post-gen Z, yang lahir pada tahun 2013 ke atas, penggunaan bahasa daerah lebih rendah dibandingkan generasi pre-boomer tahun 1945. Penggunaan bahasa daerah oleh post-gen Z (2-9 tahun) sebesar 64,36 persen, angka ini jauh berkurang dibandingkan generasi pre-boomer di atas 75 tahun yang jumlahnya mencapai 89,93 persen.
Semakin parah, angkanya terus menurun pada generasi gen X (42-57 tahun) sebesar 82,27 persen, milenial (26-41 tahun) 79,76 persen, gen Z (10-25 tahun) sebesar 74,77 persen, dan generasi paling muda post-gen Z (2-9 tahun) turun lagi menjadi 64,36 persen.
Dari angka di atas, dijelaskan bahwa penggunaan bahasa Aceh harus direvitalisasi sebagai bahasa ibu yang mutlak. Bukan saja bahasa Aceh, tetapi juga bahasa-bahasa yang hidup di Aceh seperti bahasa Gayo, bahasa Alas, bahasa Aneuk Jamee, bahasa Kluet, bahasa Tamiang, bahasa Singkil, dan bahasa Haloban.
Apa yang harus dilakukan oleh para stakeholder di Aceh? Para stakeholder wajib melakukan internalisasi radikal bahasa agar menyentuh generasi muda, yang pengaruh budaya asing lebih tinggi dibanding generasi tua. Kemudian, perlu ada program penanaman kembali rasa bangga menggunakan bahasa ibu sebagai warisan indatu Aceh. Jika ini dilakukan secara masif, sistematis, dan terstruktur, maka Aceh akan tetap lestari dalam penggunaan bahasa ibu sehari-hari.
Program-program berbahasa ibu bukan hanya tanggung jawab Pemerintah Aceh, pemerintah kabupaten/kota, dan DPRA, tetapi juga pihak universitas harus ikut terlibat untuk menyemai bahasa-bahasa ibu yang ada di Aceh saat ini.
Urgensitas Penggunaan Bahasa Ibu dalam Sehari-Hari
Urgensi bahasa ibu, khususnya bahasa Aceh sebagai bahasa mayoritas, akan menguatkan identitas bangsa Aceh sebagai bagian dari negara induk, yakni Republik Indonesia. Bahasa Aceh juga sudah teruji sebagai sarana penyampaian ideologi ke-Aceh-an yang diejawantahkan dalam struktur perjuangan GAM.
Artinya, identitas bahasa ibu dan urgensi bahasa ibu menjadi penting karena dianggap sebagai jati diri suatu bangsa. Dua unsur tersebut menyangkut keberlanjutan eksistensi suatu bangsa dalam konteks global. Kepentingan identitas Aceh menjadi utama terkait konsep self-government dalam konteks NKRI.
Kepentingan bahasa ibu juga penting untuk memperkuat identitas anak sebagai generasi muda Aceh. Di balik itu, bahasa ibu dapat menjadi kepekaan dan keterhubungan dengan akar budayanya. Anak-anak muda Aceh semestinya memahami tradisi Aceh dengan bahasa ibu. Artinya, bahasa ibu dapat termanifestasi dalam nilai-nilai serta cara pandang hidup yang tetap tinggal dalam diri anak-anak Aceh.
Terobosan Bahasa Ibu Menjadi Bahasa Qanun
Apakah bahasa ibu dapat menjadi bahasa qanun di Aceh? Hemat penulis, semestinya iya, karena bahasa ibu, khususnya bahasa Aceh, dapat menjadi bahasa qanun.
Artinya, bahasa Aceh sama dengan bahasa Indonesia, sama dengan bahasa Belanda, sama dengan bahasa Prancis. Mengapa? Karena bahasa hukum adalah topik interdisiplin antara ilmu hukum dan ilmu bahasa (linguistik). Hal ini menjelaskan bahwa ilmu bahasa dan bahasa hukum adalah bagian dari objek studi linguistik terapan, terutama sosiolinguistik.
Qanun dalam konteks bahasa ibu akan menjadi terobosan baru bagi Aceh. Bagaimana tidak, sastra-sastra bahasa ibu di Aceh akan menjadi objek kajian interdisiplin ilmu hukum di Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala. Karakteristik qanun Aceh menjadi pembeda dengan perda daerah lain. Qanun punya historis sendiri dalam benak rakyat Aceh dan hampir sama kedudukannya dengan undang-undang.
Perspektif ini dilihat dari aspek historis, bagaimana dulu dalam sistem kerajaan Aceh, qanun digunakan sebagai norma hukum yang mengatur semua sektor di Aceh, baik itu tata kelola pemerintahan, luar negeri, fiskal dan keamanan, maupun pengaturan internal rakyat.
Dalam pandangan hukum positif, qanun disetarakan dengan peraturan pelaksana sebuah undang-undang. Pasal 1 angka 8 UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam menyatakan bahwa qanun adalah peraturan daerah sebagai pelaksanaan undang-undang di wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam penyelenggaraan otonomi khusus.
Status qanun dalam UU No. 18 Tahun 2001 setara dengan peraturan pelaksana, yakni peraturan pemerintah. Pasal 1 angka 21 UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh menyatakan bahwa qanun Aceh adalah peraturan perundang-undangan sejenis peraturan daerah provinsi yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat Aceh.
Qanun dalam UU No. 11 Tahun 2006 secara hierarki sama dengan peraturan daerah umum, namun qanun secara muatan hukum berbeda dengan peraturan daerah umum lainnya.
Bahasa Aceh juga bagian dari bahasa indatu yang harus dilaksanakan oleh stakeholder, termasuk para pejabat tinggi di Aceh seperti Wali Nanggroe, Gubernur selaku Kepala Pemerintah Aceh, dan Ketua DPRA selaku kepala legislatif Aceh. Jika proyek bahasa Aceh ini dapat diejawantahkan dalam kebijakan Pemerintah Aceh bersama DPRA, maka Aceh akan mengalami kodifikasi hukum yang luar biasa, setara dengan bangsa-bangsa lain.
Penulis: Zakyyah, M.H., (Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala)