NUKILAN.ID | INDEPTH – Isu penghapusan tiga nol dari rupiah kembali mengemuka. Wacana yang sudah berulang kali muncul sejak lebih dari satu dekade itu lagi-lagi diuji nyalinya: apakah akhirnya dieksekusi, atau sekadar menjadi cerita lama yang kembali diputar dalam siklus kebijakan ekonomi nasional.
Menjelang akhir 2025, pembahasan mengenai penyederhanaan rupiah muncul bersamaan dengan persiapan agenda besar tata kelola ekonomi pemerintah. Rencana redenominasi—yang bertujuan menanggalkan tiga nol dari nominal rupiah tanpa memengaruhi daya beli masyarakat—resmi kembali masuk dalam Rencana Strategis Kementerian Keuangan 2025–2029.
Bagi Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa, redenominasi bukan lagi sekadar kajian teknis. Pemerintah menilai sudah tiba waktunya merapikan sistem transaksi nasional sekaligus memperkuat citra rupiah di mata internasional. Penyederhanaan denominasi dianggap dapat meningkatkan efisiensi, memperjelas struktur harga, serta menempatkan rupiah sejajar dengan mata uang negara-negara dengan tata kelola ekonomi lebih mapan.
Namun tidak semua lembaga sepakat mengenai urgensi dan waktu pelaksanaannya. Bank Indonesia memilih menahan langkah. Dalam rapat bersama Komisi XI DPR pada 12 November 2025, Gubernur Perry Warjiyo menegaskan bahwa bank sentral memiliki prioritas lain.
“Yang berkaitan dengan redenominasi tentu saja kami pada saat ini lebih fokus menjaga stabilitas dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Redenominasi memerlukan timing dan persiapan yang lebih lama,” ujarnya.
Nada hati-hati Perry menjadi pengingat bahwa upaya menghilangkan tiga nol dari rupiah bukanlah langkah kosmetik belaka. Ia merupakan operasi struktural yang menyentuh sisi psikologis masyarakat, kesiapan infrastruktur keuangan, hingga perhitungan politik yang selalu menyertai kebijakan besar.
Di Senayan, Komisi XI DPR menyatakan bahwa RUU Redenominasi telah lama masuk dalam long list Prolegnas. Ketua Komisi XI, Mukhamad Misbhakun, menegaskan bahwa proses redenominasi harus dilihat sebagai kebijakan jangka panjang yang membutuhkan fondasi kokoh: stabilitas ekonomi, konsistensi politik, serta keamanan dan ketertiban sosial.
“Kalau diterapkan harus ada persiapan yang komprehensif. Sosialisasinya minimal tiga tahun, transisinya tiga tahun,” kata Misbhakun.
Ia juga menambahkan bahwa, kendati indikator makroekonomi Indonesia tampak lebih solid, keputusan final mengenai kapan redenominasi dijalankan tetap berada di tangan Presiden.
Dengan latar tersebut, menjadi relevan untuk menengok kembali sejarah panjang upaya redenominasi di Indonesia—sebuah perjalanan yang tak lepas dari kegagalan masa lalu, trauma kolektif, dan dinamika politik yang berubah-ubah.
Menghapus Kekayaan
Dalam ingatan kolektif masyarakat Indonesia, perubahan nilai uang hampir selalu menghadirkan kecemasan. Pengalaman masa lalu menanamkan persepsi bahwa setiap kebijakan moneter yang mengubah nilai uang berarti hilangnya harta. Trauma itu tidak muncul begitu saja. Ia tumbuh dari rangkaian kebijakan sanering pada masa Orde Lama—masa ketika stabilitas ekonomi masih jauh dari harapan.
Gunting Syafruddin 1950
Pada 19 Maret 1950, Menteri Keuangan Syafruddin Prawiranegara mengambil langkah darurat yang kemudian tercatat sebagai salah satu kebijakan paling drastis dalam sejarah ekonomi Indonesia. Uang kertas De Javasche Bank pecahan Rp5 ke atas dipotong secara fisik. Bagian kiri masih bisa digunakan sebagai alat pembayaran, tetapi nilainya menyusut menjadi setengah. Sementara bagian kanan wajib ditukarkan dengan obligasi pemerintah.
Syafruddin mengambil kebijakan ini dalam situasi ekonomi yang kacau-balau: utang luar negeri mencapai Rp1,5 triliun, defisit anggaran menembus Rp5,1 miliar, dan inflasi merangkak tanpa jeda. Pemerintah saat itu tidak memiliki banyak pilihan selain mengurangi uang beredar secara cepat.
Dampaknya langsung terasa di tengah masyarakat. Jumlah uang beredar memang menurun, tetapi inflasi tetap tidak dapat dikendalikan. Pada 1953, harga 19 komoditas pokok melesat hingga 250 persen. Dunia usaha goyah, para pedagang kecil semakin terhimpit. Kebijakan itu meninggalkan luka dalam ingatan publik: negara bisa memangkas kekayaan rakyat hanya dalam satu malam.
Sanering 1959 dan 1965: Puncak Bencana
Kebijakan pemotongan nilai uang bukan hal baru dalam sejarah Indonesia. Pada 25 Agustus 1959, pemerintah kembali menempuh langkah drastis dengan memangkas nilai rupiah. Pecahan Rp500 dipangkas menjadi Rp50, sementara Rp1.000 menjadi Rp100. Bank-bank bahkan diwajibkan membekukan 90 persen simpanan di atas Rp25 ribu.
Kebijakan yang semula dimaksudkan untuk meredam inflasi—yang ketika itu sudah mencapai 119 persen—justru membawa konsekuensi sebaliknya. Harga kebutuhan melonjak lebih cepat, memicu ketidakstabilan ekonomi dan keresahan di tengah masyarakat.
Situasi kembali memuncak pada 13 Desember 1965, ketika pemerintah, di tengah hiperinflasi yang melumpuhkan, memaksakan kebijakan redenominasi: “Rp1.000 lama menjadi Rp1 baru.” Alih-alih memulihkan kepercayaan publik, nilai tukar rupiah terhadap dolar merosot tajam.
Inflasi pun tak terbendung, meledak hingga 635,5 persen pada 1966. Para ekonom menyebut periode ini sebagai salah satu episode paling gelap dalam sejarah moneter Indonesia. Hingga kini, pengalaman pahit tersebut meninggalkan jejak panjang dalam memori kolektif. Tak heran jika “menghilangkan nol” masih menjadi istilah yang memancing kecemasan publik setiap kali wacana redenominasi kembali mencuat.
Mengapa Redenominasi Modern Bukan Sanering
Kebijakan redenominasi yang kembali mencuat dalam diskursus publik kerap disalahpahami sebagai bentuk sanering baru. Padahal, keduanya berbeda secara fundamental. Sanering pada era 1950–1960-an memotong nilai riil uang dan merampas daya beli masyarakat. Sebaliknya, redenominasi modern hanya menyederhanakan digit tanpa mengubah nilai aset, gaji, maupun tabungan.
Meski demikian, perbedaan konsep itu tidak serta-merta dimengerti masyarakat luas. DPR dan Bank Indonesia mengakui adanya tantangan besar dalam sosialisasi. Minimnya edukasi berpotensi menimbulkan “inflasi psikologis”—kondisi ketika pedagang menaikkan harga hanya karena khawatir “uang baru lebih sedikit”.
Tersandung Politik
Indonesia sebenarnya pernah berada di ambang pelaksanaan redenominasi pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pada 2010, Gubernur BI Darmin Nasution mengajukan rencana pengurangan nol rupiah dengan masa transisi sepuluh tahun. Alasannya kuat: akuntansi lebih sederhana, transaksi lebih efisien, dan citra rupiah tampak lebih berwibawa di tingkat global.
Pada 2013, Rancangan Undang-Undang Redenominasi bahkan masuk ke dalam Prolegnas. Namun memburuknya kondisi ekonomi global dan tahun politik 2014 membuat pembahasan tertunda. Ketua APINDO saat itu, Sofjan Wanandi, mengingatkan bahwa stabilitas politik merupakan syarat utama keberhasilan kebijakan semacam ini. Ketika situasi politik melemah, gagasan redenominasi pun menghilang dari agenda nasional.
Upaya serupa muncul kembali pada era Presiden Joko Widodo, terutama pada periode 2017 dan 2020–2024. RUU Redenominasi sempat tercantum dalam Renstra Kementerian Keuangan, tetapi pandemi COVID-19 membuat isu tersebut kembali tersisih.
Bagi banyak ekonom, redenominasi menjadi isu yang terus berputar. Ia selalu datang dan pergi, terutama ketika rupiah berada dalam tekanan. Seperti disampaikan ekonom Bright Institute, Yanuar Rizky: “Ide redenominasi selalu muncul saat rupiah dalam tekanan luar biasa.”
Tantangan Teknis yang Sering Diremehkan dalam Rencana Redenominasi Rupiah
Rencana pemerintah untuk melakukan redenominasi rupiah kembali mencuat. Bank Indonesia menegaskan bahwa kebijakan ini hanya bisa dijalankan jika sejumlah prasyarat ekonomi benar-benar terpenuhi, mulai dari inflasi inti yang rendah, pertumbuhan stabil, nilai tukar terjaga, hingga kepercayaan konsumen yang kuat. Namun para ekonom menilai bahwa keberhasilan redenominasi tidak hanya terkait kondisi makroekonomi, melainkan juga kesiapan teknis yang kerap diremehkan.
Industri Keuangan Harus Siap Direstrukturisasi
Implementasi redenominasi membutuhkan renovasi besar pada infrastruktur keuangan nasional. Tak kurang dari 90 ribu mesin ATM harus diprogram ulang, setengah juta mesin EDC diperbarui, hingga core banking bank-bank besar yang harus menyesuaikan sistem. Selain itu, perangkat kasir ritel, e-commerce, dan sistem pembayaran di tingkat daerah juga wajib diselaraskan. Perubahan ini bahkan harus terkoordinasi hingga level internasional, seperti pembaruan standar ISO 4217 dan sistem SWIFT.
Proses semacam ini diperkirakan memakan waktu dua hingga tiga tahun hanya untuk penyesuaian teknis di industri perbankan. Tanpa koordinasi yang solid, masa transisi akan berjalan timpang.
Ancaman Pembulatan Harga
Pengalaman negara-negara yang telah menjalankan redenominasi menunjukkan bahwa masa transisi rentan dimanfaatkan pedagang untuk membulatkan harga ke atas. Turki dan Rusia, misalnya, mencatat lonjakan inflasi 3–8 persen hanya karena perilaku pembulatan tersebut. Tanpa pengawasan harga yang ketat, Indonesia juga berisiko menghadapi masalah serupa.
UMKM Jadi Titik Rawan
Sektor UMKM, yang sebagian besar belum memiliki pembukuan formal, menjadi kelompok paling rentan. Sekitar 70 persen pelaku UMKM berpotensi kesulitan menyesuaikan harga lama dan baru jika sosialisasi kurang masif. Kebingungan di level ini dapat menimbulkan kekacauan pada fase transisi.
Belajar dari Turki dan Rusia
Turki kerap disebut sebagai contoh sukses redenominasi pada 2005 setelah memangkas enam nol dari mata uangnya. Kuncinya terletak pada stabilitas makro yang dicapai terlebih dahulu, sosialisasi yang masif, masa transisi yang jelas, serta pengawasan harga yang ketat. Hasilnya, inflasi tetap terkendali dan kepercayaan terhadap lira meningkat.
Rusia memilih melakukan redenominasi pada 1998 setelah restrukturisasi perbankan dan perbaikan fondasi fiskal. Stabilitas politik menjadi syarat utama keberhasilan kebijakan tersebut.
Dari kedua negara ini, pelajaran besarnya jelas: redenominasi bukan awal dari reformasi ekonomi, melainkan puncaknya—dilakukan ketika struktur ekonomi dan politik benar-benar siap.
Apakah Target 2029 Realistis?
Pemerintah menyusun skenario optimistis: RUU disahkan pada 2026, sosialisasi dilakukan pada 2027, masa transisi pada 2028, dan redenominasi penuh berlangsung pada 2029. Namun proyeksi ini dinilai terlalu cepat.
Analisis internal BI maupun Komisi XI DPR menyarankan masa sosialisasi minimal tiga tahun, disusul masa transisi tiga tahun. Sementara itu, industri keuangan membutuhkan dua hingga tiga tahun untuk penyesuaian teknis. Jika dijumlahkan, waktu realistis setelah UU disahkan mencapai lima hingga tujuh tahun.
Dengan demikian, memadatkan seluruh proses hanya menjadi tiga tahun berpotensi mengabaikan kompleksitas adaptasi sosial, teknis, dan kelembagaan.
Faktor politik juga menjadi pertimbangan. Seperti pengalaman 2013, pembahasan redenominasi mudah terseret arus kepentingan elektoral. Dengan padatnya agenda politik nasional pada 2026–2029, risiko ini semakin besar.
Menghapus Nol Bukan Sekadar Soal Angka
Redenominasi menyentuh dimensi yang jauh lebih luas dari sekadar memotong tiga nol. Ia berhubungan dengan memori traumatik inflasi masa lalu, kesiapan infrastruktur finansial, psikologi masyarakat, serta relasi kekuasaan antara pemerintah dan bank sentral.
Jika semua prasyarat ekonomi dan teknis yang ditetapkan Bank Indonesia terpenuhi, redenominasi dapat memperkuat kredibilitas rupiah. Namun jika dipaksakan demi efisiensi atau motif simbolik, Indonesia berisiko mengulang kegagalan sebelumnya—persis seperti yang ingin dihindari oleh kebijakan ini. (XRQ)
Reporter: AKIL





