NUKILAN.id | Banda Aceh – “Bang kupi pancong saboh” (Bang, kopi pancung satu), begitu kalimat yang sering terdengar saat pengunjung memesan kopi di warung-warung kopi di Aceh. Tradisi minum kopi telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Aceh, dengan salah satu yang paling unik adalah kupi pancong.
Nama “kupi pancong” berasal dari penyajiannya yang hanya setengah cangkir, seolah-olah dipotong atau dipancung. Meskipun hanya setengah cangkir, bubuk kopi yang digunakan tetap satu porsi penuh kopi biasa, sehingga menghasilkan rasa yang sangat kuat, aroma yang tajam, dan tekstur yang pekat.
Kupi pancong tidak memiliki perbedaan rasa yang mencolok dibandingkan dengan kopi biasa. Perbedaannya hanya terletak pada volume penyajian yang lebih kecil dan harganya yang sedikit lebih ekonomis. Kopi ini sering disajikan dengan kue pancong, yang menambah kenikmatan saat menikmatinya.
Kupi pancong umumnya lebih disukai oleh kalangan yang lebih tua dan sering ditemukan di pedesaan. Sementara itu, generasi muda cenderung jarang menikmati kupi pancong. Kopi ini biasanya dinikmati dengan cara diseruput perlahan, sehingga menghabiskannya membutuhkan waktu yang cukup lama. Bagi masyarakat Aceh, meminum kopi bukan hanya soal menikmati cita rasanya, melainkan juga dimanfaatkan sebagai momen untuk berdiskusi dan mempererat interaksi sosial.
Salah seorang pengunjung warkop Rawa Sakti di Banda Aceh, Zulkifli, mengungkapkan pandangannya tentang tradisi ini. Ia mengatakan bahwa, minum kupi pancong sudah menjadi kebiasaannya sejak muda.
“Sejak muda saya sangat suka. Rasanya memang kuat, walau hanya setengah cangkir, aroma dan kepekatannya tetap terasa,” ujar Zulkifli kepada Nukilan.id, Jumat (2/8/2024).
Selain volumenya yang lebih kecil, nama kupi pancong juga diambil dari kebiasaan masyarakat Aceh yang menyajikan kopi ini bersama kue pancong, sebuah kue tradisional yang semakin menambah kenikmatan saat menyeruput kopi.
Meski demikian, kupi pancong lebih populer di kalangan orang tua dan sering ditemukan di pedesaan. Generasi muda Aceh cenderung kurang menikmati kopi jenis ini. Namun, bagi yang menyukai kupi pancong, mereka biasanya menikmatinya perlahan, sambil berbincang dan mempererat interaksi sosial.
“Kami bisa berbincang berjam-jam sambil menikmati kopi. Ini sudah menjadi bagian dari budaya kami,” tambah Zulkifli.
Untuk diketahui, tradisi minum kopi di Aceh memang tidak sekadar soal cita rasa. Bagi masyarakat Aceh, kopi adalah medium untuk berdiskusi dan membangun hubungan sosial yang akrab. Budaya ini telah berkembang turun-temurun seiring dengan kemajuan Aceh sebagai salah satu produsen kopi kelas dunia.
Dari berbagai literatur yang ada, budaya minum kopi ini sudah ada sejak zaman kolonial Belanda. Di Aceh, ada dua daerah sentra produksi kopi, yaitu Ulee Kareng dan Gayo. Kopi Ulee Kareng termasuk jenis Robusta, sementara kopi Gayo adalah kopi Arabika kelas premium.
Kopi Ulee Kareng terkenal di seluruh warung kopi di Banda Aceh. Proses pengolahan bubuk kopi di warung-warung kopi ini juga menyimpan keunikan tersendiri, menambah daya tarik bagi para pecinta kopi.
Tak heran jika kebiasaan minum kopi di Aceh melebihi rata-rata kebiasaan minum kopi di daerah lain. Ada ungkapan populer di Aceh, “Kupi sikhan glah, peh beureukah lua Nangroe,” yang berarti walaupun minum kopi hanya setengah gelas, tapi pembicaraannya sampai ke luar negeri.
Dengan tradisi ini, kopi tidak hanya menjadi minuman, tetapi juga bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari masyarakat Aceh, yang membuat mereka akrab satu sama lain dan terus menjaga warisan budaya yang kaya ini. (XRQ)
Reporter: Akil Rahmatillah