TNGL Tergerus Deforestasi, P2LH: Pengawasan dan Penegakan Hukum Masih Lemah

Share

NUKILAN.ID | BANDA ACEH — Sepanjang tahun 2024, Indonesia kehilangan hutan alam seluas 261.575 hektare. Fakta ini terungkap dari pemantauan yang dilakukan oleh Auriga Nusantara melalui tiga tahap verifikasi, yakni deteksi dugaan deforestasi, inspeksi visual, serta pemantauan langsung di lapangan.

Salah satu kawasan konservasi yang mengalami kerusakan cukup signifikan adalah Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) yang terletak di Provinsi Aceh dan Sumatra Utara. TNGL tercatat menempati posisi keenam dalam daftar wilayah yang mengalami deforestasi terbesar dengan luasan mencapai 335 hektare.

Menanggapi kondisi ini, Nukilan.id menghubungi Afrizal, peneliti Bidang Hutan dan Pertambangan dari Perkumpulan Pembela Lingkungan Hidup (P2LH) untuk menanyakan sejauh mana efektivitas pengawasan dan penegakan hukum terhadap pelaku perusakan hutan di kawasan TNGL.

Dalam keterangannya, Afrizal menilai bahwa hingga saat ini belum ada upaya yang sungguh-sungguh dari pemerintah maupun otoritas terkait untuk menghentikan laju perusakan kawasan hutan lindung tersebut.

“Sampai hari ini kami belum melihat ada upaya yang serius dan cepat dalam hal pengawasan dan penegakan hukum di TNGL. Semacam ada upaya pembiaran yang disengaja oleh pihak berwenang,” ujarnya tegas.

Ia menambahkan, situasi ini tidak bisa terus dibiarkan tanpa respons yang konkret. Menurutnya, pemerintah perlu segera mengambil langkah nyata dan terukur untuk memutus rantai deforestasi, khususnya di kawasan konservasi yang seharusnya menjadi benteng terakhir bagi keanekaragaman hayati.

“Kami berharap pemerintah dan pemangku kebijakan bisa dengan cepat dan dengan langkah yang tepat untuk mencegah terjadinya perusakan yang lebih besar,” katanya.

Lebih jauh, Afrizal menekankan pentingnya pendekatan penegakan hukum yang adil dan tidak tebang pilih. Ia menyoroti bahwa jika penindakan hanya menyasar pelaku kecil dan mengabaikan aktor besar di balik perusakan hutan, maka upaya penyelamatan hutan tidak akan pernah efektif.

“Orientasi penindakan harus merata tanpa pandang bulu. Sehingga, dengan adanya simetris oriental ini, pemerintah sebagai pemegang kendali dari arus kebijakan memiliki pengaruh dan posisi tawar yang begitu besar,” jelasnya.

TNGL sendiri merupakan salah satu kawasan konservasi terpenting di Indonesia dan menjadi rumah bagi spesies langka seperti orangutan Sumatra, harimau Sumatra, gajah, dan badak Sumatra. Kerusakan hutan di kawasan ini tidak hanya mengancam kelestarian satwa liar, tetapi juga mengganggu keseimbangan ekologis yang berdampak luas bagi masyarakat di sekitarnya.

Sayangnya, lemahnya pengawasan dan minimnya penindakan hukum menjadi celah bagi praktik pembalakan liar, perambahan, dan alih fungsi hutan secara ilegal yang terus berulang dari tahun ke tahun.

Pemerintah dan otoritas penegak hukum kini dihadapkan pada pilihan penting: membiarkan kerusakan ini berlanjut atau segera bertindak menyelamatkan salah satu paru-paru terakhir di Sumatra. (XRQ)

Reporter: Akil

spot_img
spot_img

Read more

Local News