NUKILAN.ID | Jakarta – Kementerian Ketenagakerjaan berencana mencairkan Bantuan Subsidi Upah (BSU) sebesar total Rp600.000 kepada pekerja dengan upah di bawah Rp3,5 juta per bulan. Skema bantuan ini akan diberikan selama dua bulan, masing-masing Rp300.000 per bulan, dimulai pada Juni 2025.
Felia Primaresti, Manajer Riset dan Program di The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII), mengkritik kebijakan tersebut. Menurutnya, BSU tidak menyentuh akar persoalan struktural dalam ketenagakerjaan di Indonesia, dan justru menjadi anomali di tengah kebijakan efisiensi anggaran yang sedang dijalankan.
Belum lagi ditambah dengan polemik belanja pemerintah seputar rangkap jabatan, mobil dinas dan biaya perjalanan dinas yang masih hangat dikritisi publik hingga saat ini.
“Data Komite Hidup Layak per bulan Oktober 2024 menunjukkan bahwa 93% buruh mengaku upah mereka tidak mencukupi kebutuhan dasar, dan 76% harus berutang untuk bertahan hidup. Dalam konteks ini, bantuan Rp600 ribu jelas jauh dari cukup,” kata Felia dalam keterangan tertulis yang diterima Nukilan.id, Rabu (11/6/2025).
Lebih lanjut, Felia menyoroti nilai subsidi yang kecil dan tidak efektif untuk menutup kebutuhan hidup pekerja. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024, rata-rata upah pekerja di Indonesia hanya sekitar Rp3 juta per bulan.
“Dengan BSU menyasar pekerja bergaji di bawah Rp3,5 juta, negara secara tidak langsung mengakui bahwa mayoritas pekerja berada dalam kategori rentan dan membutuhkan bantuan. Ini juga persoalan serius mengingat angka kemiskinan di Indonesia hampir mencapai 70% berdasarkan data Bank Dunia yang diperbarui bulan Juni 2025,” jelasnya.
Felia juga mengkritisi pendekatan pemerintah yang cenderung “top-down”, di mana kebijakan disusun tanpa konsultasi publik atau dialog tripartit yang memadai.
“Pemerintah bersikap seolah paling tahu kebutuhan rakyat. Hal ini menunjukkan bahwa birokrasi belum responsif, sehingga potensi subsidi sebagai jembatan menuju kebijakan yang lebih adil menjadi kurang optimal. Ini pula yang The Indonesian Institute kritisi terkait masalah keterampilan komunikasi publik, minimnya partisipasi publik, dan inkonsistensi kebijakan pemerintah dalam evaluasi 200 hari Menteri Kabinet Merah Putih di awal bulan Mei lalu,” lanjutnya.
Masalah tata kelola anggaran juga patut menjadi perhatian. Berdasarkan laporan anggaran tahun 2025, anggaran Kementerian Ketenagakerjaan dipangkas dari Rp4,8 triliun menjadi Rp2,7 triliun.
“Pemangkasan ini menunjukkan bahwa prioritas kementerian belum benar-benar berpihak pada urusan terkait ketenagakerjaan. Jangan sampai subsidi ini hanya menjadi bungkus politik yang tampak pro-rakyat di permukaan, tapi sistem dasarnya tidak diperbaiki dan malah mengorbankan prioritas pembangunan SDM dan kebutuhan dasar lainnya,” tegas Felia.
Ia juga mengingatkan bahwa legitimasi sosial atas kebijakan ini akan lemah jika tidak disertai dengan reformasi kebijakan pengupahan.
“Serikat-serikat buruh sejak lama menolak kebijakan yang bertentangan dengan prinsip KHL dan putusan Mahkamah Konstitusi terkait UU Ciptaker yang inkonstitusional. Tanpa perubahan sistemik, subsidi ini hanya menjadi tambalan dari sistem upah yang sejak awal tidak adil dan bertentangan dengan amanat hukum serta keadilan sosial,” tambahnya.
Sebagai penutup, Felia menekankan bahwa pemerintah ke depan harus memperkuat regulasi pengupahan berbasis Kebutuhan Hidup Layak (KHL) dan melibatkan beragam pemangku kepentingan terkait, termasuk pemberi kerja dan serikat pekerja, secara bermakna dalam proses penetapan kebijakan ketenagakerjaan yang transparan dan akuntabel.
Hal ini penting untuk memastikan kebijakan terkait pengupahan juga realistis untuk diterapkan secara profesional, akuntabel, transparan, dan juga memenuhi KHL.
Editor: Akil