Tiga Tantangan Serius KKR Aceh dalam Melindungi Saksi dan Korban

Share

NUKILAN.id | Banda Aceh — Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh menghadapi berbagai tantangan dalam menjalankan mandatnya untuk mengungkap kebenaran dan memberikan perlindungan kepada saksi serta korban pelanggaran HAM masa lalu. Hal ini disampaikan oleh Ketua Kelompok Kerja (Pokja) Perlindungan Saksi dan Korban KKR Aceh, Tasrizal, dalam podcast SagoeTv yang disiarkan baru-baru ini.

Dikutip Nukilan.id pada Senin (5/5/2025), dalam kesempatan itu Tasrizal mengungkapkan bahwa terdapat tiga hambatan utama yang menjadi ganjalan serius dalam upaya pengungkapan kebenaran.

Hambatan pertama, menurutnya, terletak pada belum adanya regulasi di tingkat nasional yang memberikan perlindungan hukum secara menyeluruh kepada para saksi, korban, maupun pelaku yang bersedia memberikan keterangan.

“Pertama, belum adanya regulasi nasional yang memberikan payung hukum kepada korban, saksi dan para pelaku yang terlibat pada proses pengungkapan kebendaraan,” ujarnya.

Tasrizal mengungkapkan bahwa ketiadaan regulasi tersebut berdampak langsung pada keengganan sebagian korban untuk membuka suara. Mereka khawatir akan menghadapi tekanan atau bahkan stigma dari masyarakat.

“Mungkin karena takut nanti ada intimidasi, ada stigma sosial, sehingga ada hal penting yang tidak tersampaikan kepada KKR Aceh,” lanjut Tasrizal.

Selain hambatan eksternal, KKR Aceh juga dihadapkan pada kendala internal yang tak kalah kompleks. Salah satunya adalah keterbatasan kewenangan lembaga dalam menindaklanjuti hasil pengungkapan kebenaran secara hukum.

“Yang kedua, kelemahan di internal KKR Aceh itu adalah kita tidak ada kewenangan yudisial. Artinya, KKR Aceh hari ini adalah hanya sebatas melakukan pengungkapan kebenaran, kemudian konsekuensi setelahnya itu tidak ada,” jelasnya.

Tasrizal mengatakan, akibatnya para pelaku pelanggaran HAM tidak bisa dijerat secara hukum, sehingga proses keadilan bagi para korban menjadi terhambat.

“Jadi terhadap pelaku itu tidak ada konsekuensi hukum. Jadi, seharusnya perlu ada satu regulasi sehingga ini memberikan keadilan bagi korban,” tegas Tasrizal.

Hambatan ketiga yang disebutkan Tasrizal menyangkut perlindungan terhadap anggota KKR Aceh sendiri. Ia menilai belum adanya jaminan hukum membuat kerja-kerja lembaga rentan terhadap tekanan, terutama saat menyentuh pihak-pihak berpengaruh.

“Kemudian yang ketiga, belum adanya perlindungan hukum bagi anggota KKR Aceh. Jadi ketika dalam kerja-kerjanya itu menyentuh orang-orang yang berpengaruh ini, nanti akibatnya KKR Aceh tidak bisa independen,” ungkapnya.

Tasrizal berharap ke depan ada perhatian serius dari pemerintah pusat untuk memberikan payung hukum yang kuat, agar KKR Aceh dapat menjalankan tugasnya secara maksimal dan independen.

“Jadi harapan kita bahwa ke depan itu ada payung hukum yang jelas,” pungkasnya. (XRQ)

Reporter: Akil

spot_img

Read more

Local News