NUKILAN.id | Banda Aceh – Kasus pelecehan seksual terhadap anak dan remaja di Aceh kian mengkhawatirkan. Yang membuat publik terkejut, sejumlah kasus justru mencuat dari institusi pendidikan, termasuk lembaga pendidikan berbasis agama seperti dayah atau pesantren. Kondisi ini memunculkan polemik di tengah masyarakat Aceh, benarkah dayah yang harus disalahkan, ataukah ini hanya efek bias dari pemberitaan media?
Menanggapi hal ini, Tgk. Haekal Afifa dari Institut Peradaban Aceh menyampaikan pandangannya dalam sebuah forum diskusi grup (FGD) yang ditayangkan oleh SagoeTV.
Dikutip Nukilan.id pada Selasa (29/4/2025), ia mengungkapkan bahwa sorotan publik terhadap dayah belum tentu mencerminkan kondisi sebenarnya di lapangan.
“Ketika ini menjadi satu fenomena, kawan-kawan di publik itu kan menyorot dayah. Padahal di kampus juga lebih parah. Dan lebih parahnya lagi dari beberapa catatan dan riset dari dulu itu, saya coba masuk di institusi yang sifatnya boarding,” ungkap Tgk. Haekal.
Ia menekankan bahwa kecenderungan terjadinya pelecehan seksual bukan semata terjadi di dayah, melainkan pada semua institusi pendidikan yang menerapkan sistem berasrama atau boarding school.
“Jadi harus kita pahami penyakit ini, predator ini dia tetap bermain di ruang boarding yang sifatnya berasrama. Tidak mesti dayah,” tegasnya.
Namun demikian, menurut Haekal, stigma terhadap dayah muncul karena posisi dayah sebagai lembaga penjaga moral di masyarakat. Ketika lembaga yang seharusnya menjadi benteng akhlak justru terlibat kasus amoral, reaksi publik menjadi berlipat ganda.
“Masalahnya kenapa dayah yang diangkat? Karena dayah sebagai penjaga moral. Sama seperti polisi ketika dia melanggar aturan atau ada polisi yang melakukan tindak pidana, tetapi respon dari pihak kepolisiannya lambat, itu akan menjadi satu hal yang wah,” tuturnya.
Sorotan ini, tambahnya, bisa menciptakan persepsi keliru bahwa dayah adalah episentrum dari persoalan pelecehan seksual. Padahal, menurut pengalamannya sebagai Ketua Majelis Akreditasi Dayah, jumlah kasus memang ada, tetapi tidak mendominasi jika dibandingkan dengan lembaga lainnya.
“Ini sebenarnya yang menjadi titik masalah yang seakan-akan ya secara asumsi mungkin di dayah lebih banyak,” katanya.
Secara terbuka, Haekal juga mengakui bahwa lembaganya pernah menangani dan memproteksi beberapa dayah yang terlibat kasus pelecehan seksual terhadap santri. Ia tidak menutup-nutupi adanya pelanggaran yang dilakukan oleh oknum pimpinan maupun dewan guru.
“Maaf cakap ya. Selama saya menjadi ketua majelis akreditasi dayah, kami itu memproteksi sekitar tujuh atau delapan dayah yang memiliki kasus pelecehan seksual terhadap santri. Baik dilakukan oleh oknum pimpinan atau dilakukan oleh oknum dewan guru,” ujarnya.
Pernyataan Tgk. Haekal ini membuka ruang refleksi bagi semua pihak, bahwa persoalan kekerasan seksual di dunia pendidikan tidak boleh dilihat dari kacamata sempit. Diperlukan langkah serius untuk membenahi sistem pengawasan, khususnya di lembaga berasrama, agar anak-anak terlindungi dari para predator yang bersembunyi di balik jubah moral. (XRQ)
Reporter: AKil