Tarif Trump Picu Ancaman Deglobalisasi, Indonesia Harus Waspada

Share

NUKILAN.id | Jakarta – Ketua Dewan Pakar DPP Asosiasi Pengusaha Bumiputera Nusantara Indonesia (ASPRINDO), Prof. Dr. Didin S. Damanhuri, mengungkapkan bahwa kebijakan tarif tinggi yang diberlakukan mantan Presiden Amerika Serikat Donald Trump menjadi sinyal ancaman serius terhadap arah perekonomian global, termasuk Indonesia. Menurutnya, kebijakan tersebut berpotensi memicu perang dagang dan deglobalisasi yang mengancam stabilitas ekonomi negara-negara berkembang.

“Dunia sedang menghadapi situasi krusial pasca-tarif Trump. Globalisasi yang sebelumnya dianggap sebagai berkah, kini bisa menjadi bencana bagi negara-negara berkembang,” ujar Prof. Didin dalam pernyataannya di Jakarta, Senin (7/4/2025).

Guru Besar Ekonomi Politik IPB dan Universitas Paramadina itu menjelaskan bahwa sejak keruntuhan komunisme dan berakhirnya Perang Dingin pada awal 1980-an, dunia memasuki era dominasi Amerika Serikat yang disebutnya sebagai Pax-Americana. Hal ini melahirkan sistem ekonomi neoliberal yang dilembagakan melalui berbagai perjanjian internasional, termasuk dalam kerangka World Trade Organization (WTO).

Menurut Prof. Didin, WTO selama ini telah menjadi instrumen utama dalam menyebarkan prinsip neoliberalisme, yang pada praktiknya mengabaikan keragaman kemampuan antarnegara. Semua negara, kata dia, diwajibkan menghapus berbagai bentuk proteksi perdagangan dan bersaing dalam pasar bebas dengan syarat yang tidak selalu adil.

“Tidak semua negara memiliki kesiapan dan kapasitas yang setara. Persaingan bebas tanpa perlindungan justru menciptakan ketimpangan,” ujarnya.

Ia juga menyoroti fenomena decoupling atau keterputusan antara sektor finansial dan sektor riil sejak 1980-an, yang menciptakan apa yang disebutnya sebagai bubble economy—ekonomi semu yang besar secara moneter tetapi lemah secara produksi barang dan jasa.

“Arus uang di pasar modal dan valas jauh melampaui arus barang dan jasa. Sebelum krisis Asia saja, perputaran dana harian mencapai 2-3 triliun dolar AS, sedangkan perdagangan barang tahunan hanya 7 triliun dolar AS,” ungkapnya.

Dalam kondisi ini, lanjut Prof. Didin, fungsi uang bergeser dari alat tukar menjadi komoditas yang diperjualbelikan demi keuntungan spekulatif. Hal itu memperparah ketimpangan dan ketidakstabilan ekonomi global.

Terkait dengan utang luar negeri, Prof. Didin mengingatkan agar Indonesia berhati-hati. Menurutnya, meskipun utang sempat dipandang sebagai alat pembangunan, krisis Asia 1997 membuktikan bahwa manajemen utang yang buruk dan spekulasi finansial bisa menghancurkan ekonomi nasional.

“Sejak krisis Asia dan dominasi aktor-aktor seperti Soros, persepsi terhadap utang berubah. Kini banyak yang melihatnya sebagai bentuk baru kolonialisme, terutama utang jangka pendek dan investasi portofolio,” jelasnya.

Meski begitu, ia menilai investasi asing langsung (foreign direct investment/FDI) masih memiliki nilai positif karena berkontribusi terhadap penciptaan lapangan kerja, alih teknologi, dan penguatan manajerial tanpa campur tangan berlebihan terhadap urusan domestik.

Ia mencontohkan Iran yang sejak revolusi pasca-Syah memilih tidak memiliki utang pemerintah sama sekali dan hanya mengandalkan FDI.

“Indonesia harus waspada, apalagi kini dunia tengah berada di persimpangan jalan. Jika tren deglobalisasi benar terjadi, negara-negara berkembang bisa semakin terpinggirkan jika tak cepat melakukan penyesuaian kebijakan,” tegasnya.

Prof. Didin menambahkan, Indonesia perlu merumuskan strategi jangka panjang yang mempertimbangkan dinamika global dan memperkuat kemandirian ekonomi nasional.

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

Read more

Local News