NUKILAN.id | Banda Aceh – Muhammad Saleh, Juru Bicara Pasangan Calon (Paslon) Gubernur-Wakil Gubernur Aceh Nomor Urut 2, H. Muzakir Manaf (Mualem)-Fadhullah (Dek Fadh), menyayangkan pernyataan Syakya Meirizal, Juru Bicara Paslon 1, yang meminta Mualem mundur dari posisinya sebagai Wakil Wali Nanggroe dan anggota Dewan Pengawas BPMA. Menurutnya, Syakya perlu memahami aturan dengan baik agar pernyataannya tidak membingungkan publik atau “cacat nalar.”
Pernyataan tersebut disampaikan oleh Muhammad Saleh, atau yang akrab disapa Shaleh, pada Kamis (31/10/2024), setelah Syakya dalam sebuah media lokal menilai bahwa posisi Mualem di lembaga nonpolitik seperti Wali Nanggroe dan BPMA seharusnya dilepaskan demi menghindari potensi penyalahgunaan kekuasaan.
Syakya berpendapat bahwa jabatan tersebut dapat dimanfaatkan untuk keuntungan politik. Menurutnya, sebagai calon gubernur, Mualem seharusnya segera mundur dari jabatan tersebut untuk menunjukkan netralitas. Syakya juga menyoroti bahwa Mualem masih menduduki posisi strategis sebagai anggota Komisi Pengawas BPMA.
Menanggapi pendapat tersebut, Shaleh mengkritik Syakya yang dinilainya asal berbicara tanpa mendalami aturan yang berlaku.
“Jika memang mengaku sebagai aktivis, sebaiknya memahami aturan dengan baik sebelum menyampaikan pendapat ke publik. Ini bukan ruang media sosial yang bisa seenaknya, tetapi ruang politik yang menuntut argumentasi berbasis data dan regulasi,” tegas Shaleh.
Menurut Shaleh, dalam regulasi Pilkada yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, Qanun Aceh Nomor 12 Tahun 2016, dan Peraturan KPU Nomor 8 Tahun 2024, tidak ada larangan bagi pejabat dalam Lembaga Wali Nanggroe, khususnya Waliyul ‘Ahdi, untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah.
“Buka kembali Pasal 11 ayat 1 Qanun Nomor 2 Tahun 2023 tentang perubahan Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2019 dan Qanun Aceh Nomor 8 Tahun 2012,” ujar Shaleh.
Menurut Shaleh, kedudukan Waliyul ‘Ahdi di bawah Wali Nanggroe bukanlah jabatan politik, melainkan jabatan kehormatan yang tidak bertentangan dengan aturan Pilkada.
Terkait posisi Mualem di Komisi Pengawas BPMA, Shaleh meminta Syakya untuk mempelajari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Bersama Sumber Daya Alam Minyak dan Gas Bumi di Aceh.
Shaleh menjelaskan bahwa anggota Komisi Pengawas BPMA terdiri dari perwakilan pemerintah pusat, pemerintah Aceh, dan masyarakat Aceh. Mualem sendiri diusulkan oleh Gubernur Aceh sebagai tokoh masyarakat, dan pemberhentiannya berada di bawah wewenang Menteri ESDM, bukan terkait dengan Pilkada.
“Dalam PP tersebut, jelas tidak ada satu pun pasal yang melarang anggota Komisi Pengawas BPMA untuk maju dalam Pilkada,” ungkap Shaleh.
Shaleh menegaskan bahwa meski setiap orang berhak menyampaikan pendapat, terutama dalam suasana demokrasi seperti Pilkada, ia berharap pendapat tersebut berdasar pada aturan, prosedur, dan data yang akurat.
“Jangan menyampaikan narasi yang provokatif dan sekadar memancing reaksi publik tanpa dasar yang jelas. Ini bukan mencerdaskan, malah mengaburkan pemahaman masyarakat,” pungkas Shaleh.
Editor: Akil