Swasembada Gula dan Bayang-bayang Mafia

Share

Nukilan | Jakarta – Di tengah hamparan hijau Lahan Ketahanan Pangan Lanud Adisucipto, Sleman, Yogyakarta, Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka menyampaikan perintah yang terdengar ambisius namun bernada mendesak: Indonesia harus swasembada gula konsumsi pada tahun 2026 dan industri pada 2028. Dalam pernyataannya, Gibran menekankan pentingnya kemandirian pangan sebagai isu strategis nasional.

“Ini perintah langsung dari Presiden. Tahun depan, kita harus swasembada gula konsumsi. Tahun 2027, maksimal 2028, kita benar-benar harus mandiri. Semua masalah, air, pupuk, harga, kemitraan, harus segera diselesaikan. Dan saya apresiasi Pak Menteri (Pertanian) yang gerak cepat dan turun langsung ke lapangan,” kata Gibran, dikutip CNBC Indonesia, Selasa (8/7/2025).

Pernyataan itu disampaikan dalam forum bertajuk “Rembug Tani Bersama Wakil Presiden RI” yang dihadiri para pemangku kepentingan sektor pertanian, termasuk Menteri Pertanian, Andi Amran Sulaiman. Namun, di balik gema semangat swasembada, problem sistemik yang mengakar di sektor gula nasional tak bisa diabaikan begitu saja. Jalan menuju kemandirian ternyata dipenuhi tambang rente, distorsi kebijakan, dan bayang-bayang mafia.

Produksi Menurun, Impor Meningkat

Swasembada gula bukan hanya tentang menanam lebih banyak tebu. Ia adalah refleksi kemampuan negara dalam mengelola sistem pangan yang adil dan berkelanjutan. Sayangnya, data selama satu dekade terakhir menunjukkan anomali.

Menurut National Sugar Summit (NSS) pada Desember 2023, tren produksi gula Indonesia menunjukkan penurunan signifikan. Tahun 2022, produksi nasional hanya mencapai 2,4 juta ton, sementara konsumsi melonjak hingga 3,21 juta ton. Kekurangan tersebut harus ditutup melalui impor yang masif. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia mengimpor hingga 6 juta ton gula sepanjang 2022.

Ironisnya, impor tersebut terjadi di tengah peningkatan luas lahan tebu. Artinya, persoalan bukan pada semata kuantitas lahan, tetapi produktivitas dan efisiensi sistem pertanian. Kelemahan pada sisi hulu ini berdampak panjang ke hilir: harga gula eceran melonjak, distribusi terganggu, dan ketergantungan terhadap pasar luar negeri tetap tinggi.

Dominasi “Sebelas Samurai”

Peta industri gula nasional dikuasai oleh segelintir perusahaan besar yang tergabung dalam Asosiasi Gula Rafinasi Indonesia (AGRI). Dalam praktiknya, mereka dikenal sebagai “Sebelas Samurai”—sebutan bagi korporasi-korporasi raksasa yang menguasai gula rafinasi di Indonesia.

Perusahaan-perusahaan tersebut berada di bawah payung grup-grup besar seperti Grup Artha Graha milik Tomy Winata, Grup Wilmar, Grup Samora, Olam International, FKS Group, hingga Grup Berkah Manis Makmur. Keberadaan holding ini tidak hanya mengontrol pasokan, tapi juga memengaruhi arah kebijakan, mulai dari distribusi kuota impor hingga pengaturan harga.

Ekonom dari Narasi Institute, Achmad Nur Hidayat, mengkritik tajam struktur pasar gula yang menurutnya telah berubah menjadi oligopoli.

“Pasar gula nasional kecenderungan oligopolistik lantaran hanya dikuasai oleh segelintir kelompok perusahaan. Dalam perjalanannya pula, sejumlah korporasi itu berjejaring dengan pemerintahan yang tak pelak membuka potensi perburuan rente,” katanya kepada Law Justice, Minggu, (22/10/2023).

Menurut Achmad, salah satu bentuk perburuan rente terlihat dari alokasi impor yang lebih besar untuk industri dibandingkan konsumsi masyarakat. “Akhirnya impor gula itu hanya untungkan korporasi. Kenapa? Karena mungkin harga gula di level korporasi lebih rendah. Sementara gula eceran yang mengandung komponen inflasi itu naik harganya,” tambahnya.

Sarat Kepentingan

Menteri Koordinator Pangan, Zulkifli Hasan sebelumnya mengajak petani untuk memaksimalkan produksi sebagai solusi mengurangi impor. Namun, data pemerintah justru menunjukkan bahwa kuota impor gula rafinasi untuk industri lebih besar dari impor gula konsumsi. Pada 2022, impor gula rafinasi mencapai 3,27 juta ton—lebih tinggi dari impor gula konsumsi yang sebesar 3,21 juta ton.

Anggota Komisi IV DPR RI Hindun Anisah menyatakan keprihatinannya terhadap ketergantungan impor tersebut. Ia mendesak agar target swasembada dipercepat.

“Tingkat konsumsi gula di Indonesia cukup tinggi, tapi cadangan gula pemerintah (CGP) masih terbatas. Saya mendukung percepatan swasembada gula konsumsi sebagai langkah strategis untuk menstabilkan harga dan memperkuat cadangan nasional. Ini sejalan dengan arahan Presiden Prabowo,” kata Hindun, dilansir Warta Ekonomi, Kamis (10/7/2025).

Bayang-bayang Mafia

Lebih dari sekadar permainan kuota, industri gula di Indonesia juga dirundung oleh praktik ilegal dan manipulatif yang merugikan negara dan rakyat. Transparency International Indonesia melalui penelitinya, Lalu Hendri Bagus, mengungkapkan adanya indikasi kuat bahwa impor gula sejak awal memang dijadikan ladang bancakan.

“Modus dengan menunjuk pihak yang tidak seharusnya menjalankan proses impor adalah bukti permulaannya. Dari sana, pengawasan impor yang seharusnya ketat di atas kertas menjadi sekadar formalitas dalam implementasinya,” ujarnya, dilansir Law Justice, Minggu (22/10/2023).

Pengamat pangan dari APEGTI, Nur Jafar Marpaung, menyebut mafia gula sebagai aktor yang secara aktif merusak sistem pangan nasional. “Mafia gula masih menjadi masalah di Indonesia karena mereka melakukan impor gula ilegal untuk menghindari pajak dan bea masuk. Melakukan penyelundupan gula untuk menghindari pengawasan dan kontrol pemerintah. Melakukan monopoli pasar gula untuk mengendalikan harga dan menguasai pasar. Melakukan manipulasi harga gula untuk meraup keuntungan yang besar,” kata Nur Jafar, dikutip KedaiPena, Minggu (13/7/2025).

Fakta di lapangan menunjukkan bahwa praktik semacam ini bukan sekadar wacana. Tim Satuan Tugas (Satgas) Mafia Pangan Jawa Tengah menemukan 39 ton gula tanpa label Standar Nasional Indonesia (SNI) di sebuah gudang industri kayu lapis di Kendal.

“Ini pertama kali, selama ini belum ada kejadian seperti ini,” ujar Arif Hardiyono, Kepala Seksi Pengembangan Pasar dan Usaha Dagang Kecil Menengah Disperindag Jateng, dikutip Tempo, Selasa (23/6/2025).

Temuan itu memperlihatkan bagaimana jaringan distribusi ilegal bisa menyusup hingga ke rantai pasok dalam negeri. Gula tanpa standar kualitas tak hanya membahayakan konsumen, tetapi juga merusak harga pasar. Gula ilegal sering dijual lebih murah dari harga pasaran, menekan petani lokal dan pelaku usaha yang mematuhi aturan.

Jika pemerintah serius ingin mewujudkan swasembada, langkah-langkah struktural harus segera ditempuh. Tidak cukup dengan pembangunan lahan baru dan investasi teknologi. Negara harus membongkar dominasi kartel, menata ulang sistem kuota impor, serta merevitalisasi peran BUMN di sektor gula.

Swasembada bukan hanya proyek pertanian. Ia adalah panggung besar pertarungan kepentingan antara negara, rakyat, dan mafia. Selama dominasi kartel tidak dihancurkan dan kebijakan terus berubah mengikuti tekanan oligarki, swasembada hanya akan jadi mimpi.

Di sisi lain, pemerintah juga perlu memperkuat kelembagaan petani dan memperluas akses mereka terhadap pembiayaan, teknologi, dan pasar. Tanpa keadilan dalam distribusi insentif dan perlindungan harga jual, petani akan tetap menjadi pihak yang paling dirugikan dalam rantai produksi pangan nasional.

Upaya swasembada seharusnya dibarengi dengan reformasi tata niaga yang transparan dan berbasis data. Pemerintah harus membangun sistem logistik yang menjamin rantai distribusi gula berjalan efisien dari petani ke konsumen, tanpa dimonopoli tengkulak. Kolaborasi antara pemerintah pusat dan daerah, BUMN, serta koperasi tani harus diperkuat untuk menciptakan ekosistem yang adil, berkelanjutan, dan berdaulat. []

Reporter: Sammy

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

Read more

Local News