Nukilan.id – Hasil jejak pendapat Litbang Kompas memperlihatkan, pamor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berada di posisi terendah dalam lima tahun terakhir.
Adapun pengumpulan pendapat ini dilakukan melalui telepon pada 19-21 Juli 2022 dengan mewawancarai 502 responden yang berusia minimal 17 tahun dari 34 provinsi.
“Kecenderungan turunnya pamor KPK ini tergambar dari hasil survei tatap muka Litbang Kompas pada Juni 2022,” papar peneliti Litbang Kompas Rangga Eka Sakti, dikutip dari Harian Kompas, Senin (8/8/2022).
“Citra KPK terekam berada di angka 57 persen, paling rendah dalam lima tahun terakhir,” kata dia.
Pada survei Januari 2015, citra KPK masih terjaga di angka 88,5 persen, kemudian turun ke angka 68,8 persen pada Oktober 2015. Angka itu kembali naik ke angka 78.0 pada April 2016, meskipun sempat turun ke angka 76,6 pada bulan Oktober.
Citra KPK kembali naik ke angka 84,8 persen pada April 2017 dan meningkat ke angka 87,3 persen di bulan ke-10.
Kemudian pamor komisi antirasuah itu terus turun hingga angka 65,8 persen pada Agustus 2020 hingga akhirnya kembali meningkat pada April 2021 dengan angka 76,9 persen.
Posisi itu lagi-lagi turun pada Oktober 2021 di angka 68,6 persen, meskipun pada Januari 2022 sempat naik ke angka 76,9 persen.
“Dalam perjalanannya, citra lembaga ini cenderung menurun, terutama setelah Undang-Undang KPK direvisi pada September 2019,” kata Rangga.
Adapun pengesahan Revisi Undang-Undang (RUU) lembaga antikorupsi itu memang sempat mendapat penolakan keras dari publik tiga tahun silam.
Publik menilai, RUU KPK saat itu mengandung beberapa pasal yang justru akan mengerdilkan peran KPK dalam upaya pemberantasan korupsi.
Tak heran, kata Rangga, revisi UU KPK justru dilihat menjadi ganjalan dalam kinerja lembaga tersebut.
“Hasil jajak pendapat menunjukkan, UU KPK yang direvisi menjadi salah satu kelemahan KPK saat ini,” ucapnya.
Dari revisi UU KPK itu, ada dua hal yang paling disorot publik.
Misalnya, hadirnya Dewan Pengawas (Dewas) dan perubahan status kepegawaian menjadi aparatur sipil negara (ASN)
“Berdasarkan jajak pendapat, nyaris seperempat responden menilai pergantian status penyidik menjadi ASN menjadi kelemahan utama KPK saat ini. Sekitar seperlima lainnya berpendapat bahwa kehadiran Dewas menjadi persoalan utama,” papar Rangga.
“Dapat dipahami, perubahan status serta kehadiran mekanisme kontrol dalam bentuk Dewas berpotensi membuat kerja-kerja pemberantasan korupsi oleh KPK rentan terganggu konflik kepentingan,” urainya.
Adapun sampel jejak pendapat ini ditentukan secara acak dari responden panel Litbang Kompas sesuai proporsi jumlah penduduk di 34 provinsi.
Survei pada metode ini berada di tingkat kepercayaan 95 persen, nirpencuplikan penelitian ± 4,37 persen dalam kondisi penarikan sampel acak sederhana. Meskipun demikian, kesalahan di luar pencuplikan sampel dimungkinkan terjadi. [Kompas]