Nukilan.id – Pembangunan bendungan untuk mega proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) masih membayangi sejumlah sungai di Provinsi Aceh.
Dalam pertemuan antara Gubernur Aceh, Nova Iriansyah dengan managemen PT. Waskita Karya pada Sabtu, 4 Juni 2022, di Banda Aceh, diterangkan bahwa perusahaan tersebut berencana membangun tiga PLTA.
Direktur Operasional III PT. Waskita Karya, Gunadi mengatakan, pihaknya akan membangun bendungan untuk PLTA di tiga kawasan aliran sungai di Kabupaten Aceh Timur, Gayo Lues, dan Bener Meriah.
“Diperkirakan, pembangkit listrik di ketiga wilayah tersebut berpotensi menghasilkan 500 megawatt listrik,” jelasnya, dikutip dari situs resmi Pemerintah Aceh.
Saat ini, PT. Waskita Karya menjalin kerja sama dengan PT. Inalum untuk membangun smelter di kawasan Kuala Tanjung, Sumatera Utara. Pengoperasian smelter itu, membutuhkan suplai listrik sebesar 900 sampai 1.000 megawatt.
“Nilai investasi pembangunan pembangkit listrik itu sekitar Rp30 triliun. Perusahaan memperkirakan, setelah memenuhi berbagai tahapan perizinan dan studi, paling cepat konstruksinya bisa dimulai pada 2024,” urainya.
Gunadi menyebut, sejumlah manfaat akan didapat masyarakat Aceh jika PLTA itu dibangun, yaitu menjadi lumbung pasokan air bersih, menyerap tenaga kerja saat konstruksi maupun operasional, mengendalikan banjir, serta menambah pendapatan daerah.
“Kami sudah lebih satu tahun mencari lokasi,” jelasnya.
Gubernur Aceh, Nova Iriansyah, masih dikutip dari sumber yang sama, mendukung PT. Waskita Karya untuk membangun PLTA. Pemerintah Aceh siap membantu segala bentuk investasi yang muaranya dapat bermanfaat bagi masyarakat.
“Sebagai perusahaan negara, saya berharap investasi ini bisa serius dikerjakan. Terkait lingkungan, saya yakin dengan teknologi terbaru saat ini yang ramah lingkungan,” jelas Nova.
Di Kabupaten Gayo Lues, daerah yang akan direncanakan dibangun PLTA adalah Desa Lesten, Kecamatan Pining. Di Aceh adalah Desa Batu Sumbang, Kecamatan Simpang Jernih, serta Desa Pasir Putih, Kecamatan Syiah Utama, Kabupaten Bener Meriah. Ketiga kawasan itu berada dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL).
Lokasi PLTA rawan gempa
Peneliti Pusat Riset Tsunami dan Mitigasi Bencana atau Tsunami and Disaster Mitigation Research Center (TDMRC) Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, Dr. Muksin Umar, dalam diskusi “Menelaah Kawasan Rentan Bencana di Aceh, Studi Kasus Rencana Pembangunan PLTA di Kawasan Ekosistem Leuser” pada Selasa, 26 Februari 2019 lalu, pernah menjelaskan.
Menurut dia, dari hasil penelitian yang dilakukan oleh timnya, Desa Lesten dekat sesar aktif. Sejarah menunjukkan, pernah terjadi beberapa kali gempa dengan kekuatan 6,0 Skala Richter di Desa Lesten.
“Kami telah memetakan ada sesar baru di Aceh Tenggara yang dinamakan Sesar Nisam. Risiko gempa besar harus menjadi perhitungan saat pembangunan dilakukan,” terang Muksin yang juga Ketua Himpunan Ahli Geofisika Indonesia (HAGI) Provinsi Aceh.
Muksin menilai, pembangunan PLTA perlu menghitung tingkat kebutuhan energi dan kerawanan bencana, serta kajian mendalam mengenai sumber energi yang paling cocok.
“Pembangunan yang dilakukan di hutan Leuser, termasuk PLTA, memerlukan penelitian mendalam, baik itu kajian risiko bencana dan lainnya. Alasannya, hutan Leuser merupakan lanskap luar biasa yang membentang dari Aceh hingga Sumatera Utara, sebagai hamparan hutan hujan tropis utuh yang paling penting,” ujar Muksin.
Proyek dibatalkan
Rencana pembangunan bendungan untuk PLTA di Desa Lesten, sebelumnya telah diajukan PT. Kamirzu. Bahkan, pada 9 Juni 2017, Gubernur Aceh telah mengeluarkan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan [IPPKH] kepada perusahaan ini dengan Keputusan Gubernur Aceh Nomor 522.51/DPMPTSP/1499/IPPKH/2017.
Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh dan sejumlah pengacara, menggugat Gubernur Aceh ke Pengadilan Tata Usaha Negara [PTUN] Banda Aceh terkait dikeluarkannya IPPKH untuk PLTA Tampur. Gugatan dengan Nomor: 7/G/LH/2019/PTUN.BNA didaftarkan pada 11 Maret 2019.
Persidangan demi persidangan dilaksanakan di PTUN Banda Aceh dan pada 1 Agustus 2019, Majelis Hakim PTUN Banda Aceh dengan Hakim Ketua Muhammad Yunus Tazryan beserta Fandy Kurniawan Pattiradja dan Miftah Saad Caniago sebagai hakim anggota, menggelar sidang lapangan di Desa Lesten.
Pada 28 Agustus 2019 Majelis Hakim PTUN Banda Aceh mengeluarkan putusan yang mengabulkan seluruh tuntatan Walhi Aceh dan membatalkan IPPKH yang dikeluarkan Gubernur Aceh untuk PLTA Tampur.
Pemerintah Aceh melalui penasehat hukum, mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Medan, Sumatera Utara. Hasilnya, Majelis Hakim PTTUN Medan justru menguatkan putusan PTUN Banda Aceh.
Kembali kalah di PTTUN Medan, Pemerintah Aceh melanjutkan kasasi ke Mahkamah Agung dengan Nomor: 270 K/TUN/LH/2020. Pada 28 Juli 2020, Majelis Hakim Mahkamah Agung juga memutuskan menolak kasasi tersebut. [Mongabay]