Nukilan.id – Kita tentu sudah tahu bahwa perubahan iklim kini tengah menjadi isu global. Konvensi PBB tentang Kerangka Kerja Perubahan Iklim mendefinisikan perubahan iklim disebabkan oleh aktivitas manusia, baik secara langsung atau tidak langsung. Dampaknya mengubah komposisi dari atmosfer global dan variabilitas iklim alami pada perioda waktu yang dapat diperbandingkan.
Komposisi atmosfer global yang dimaksud adalah komposisi material atmosfer bumi berupa gas rumah kaca yang terdiri dari karbon dioksida, metana, nitrogen, dan sebagainya. Pada dasarnya, gas rumah kaca dibutuhkan untuk menjaga suhu bumi agar tetap stabil, tetapi konsentrasinya yang semakin meningkat malah membuat lapisan atmosfer semakin tebal.
Dari penebalan lapisan atmosfer tersebut menyebabkan jumlah panas bumi yang terperangkap di atmosfer bumi semakin banyak, kemudian mengakibatkan peningkatan suhu bumi yang disebut pemanasan global.
Dampak perubahan iklim bisa sangat luas untuk kehidupan di bumi. Adanya kenaikan suhu bumi tak hanya berdampak pada naiknya temperatur, tapi juga mengubah sistem iklim. Pada akhirnya, kondisi ini akan memengaruhi banyak aspek dalam kehidupan manusia, mulai dari kualitas dan kuantitas air, habitat, hutan, kesehatan, lahan pertanian, hingga ekosistem wilayah pesisir.
Sebagai upaya mengurangi risiko bencana yang diakibatkan perubahan iklim, Indonesia tengah mempersiapkan implementasi karbon biru (blue carbon). Pemerintah sangat yakin bahwa penting menciptakan laut yang sehat, aman, dan produktif demi kesejahteraan bangsa.
Implementasi karbon biru
Perlu diketahui bahwa karbon biru merupakan jenis karbon yang diserap dan disimpan oleh laut dan ekosistem pesisir seperti lamun dan bakau. Menurut penelitian, daun, batang, dan akar serta sedimen bakau dan lamun mampu menyimpan karbon 3-5 kali lebih besar dari vegetasi di darat.
Indonesia juga menjadi negara dengan peranan penting dalam agenda karbon biru karena termasuk negara dengan estimasi luasan ekosistem bakau terluas di dunia, yaitu sebesar 3.364.080 hektare pada tahun 2021 dan potensi luasan ekosistem lamun terluas ke dua di dunia setelah Australia, yaitu ebesar 832.000 – 1.800.000 hektare. Dengan besarnya potensi luasan dan kemampuannya dalam menyerap serta menyimpan karbon, kedua ekosistem karbon biru ini kemudian menjadi bagian penting dalam pengendalian perubahan iklim.
Victor Gustaaf Manoppo selaku Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut mengatakan bahwa ada tiga strategi yang akan menjadi fokus utama Indonesia. Pertama adalah perluasan zona larang tangkap dalam pengelolaan kawasan konservasi laut, peningkatan efektivitas kawasan konservasi, dan pemberdayaan masyarakat lokal di sekitar kawasan konservasi laut.
Kedua adalah penguatan, perlindungan dan peningkatan kualitas kawasan stok karbon biru. Sementara fokus ketiga yaitu memperkuat sinergi pengelolaan karbon biru di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Hal tersebut disampaikan Victor dalam acara Global Coalition for Blue Carbon (GCBC), sebuah agenda khusus dalam rangkaian konferensi kelautan dunia The 2nd Oceans Conference (UNOC) di Lisbon, Portugal pada Minggu (26/4). Lewat Kementerian Kelautan dan Perikanan, Indonesia juga kini resmi tergabung dalam GCBC yang digagas Prancis, Kolombia, dan Kosta Rika.
Dalam kesempatan tersebut, Victor pun menyampaikan bahwa Indonesia menyambut dengan baik ajakan Prancis untuk bergabung dengan GCBC dan mendukung koalisi sebagai upaya global untuk mengelola ekosistem laut dan pesisir.
“Karbon biru, sebagai salah satu jasa ekosistem pesisir, berperan penting dalam implementasi kebijakan ekonomi biru. Secara nasional, melalui terbitnya Peraturan Pemerintah, laut atau karbon biru telah dipromosikan sebagai sektor baru yang akan berkontribusi pada Indonesia’s 2nd Nationally Determined Contribution (2nd NDC) tahun 2025. Untuk mencapai target ini, Indonesia mempersiapkan kondisi yang memungkinkan untuk implementasi karbon biru,” jelas Victor.
Lewat Kementerian Luar Negeri, Prancis telah mengundang Indonesia untuk mendukung deklarasi bersama pembentukan GCBC. Diketahui Prancis dan Kosta Rika telah memutuskan membentuk GCBC dan negara-negara yang akan bergabung di koalisi ini akan diundang untuk menyampaikan dukungan secara resmi disela-sela UNOC 2.
Menurut keterangan Victor, Indonesia meyakini GCBC memiliki peluang menjadi wadah kerja sama dan kolaborasi dalam pengelolaan ekosistem karbon biru, khususnya peran ekosistem dalam meningkatkan dorongan global untuk mencapai target mitigasi perubahan iklim, serta perannya dalam mengurangi risiko bencana. Hal ini juga dinilai sejalan dengan kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono dalam mewujudkan keseimbangan antara ekologi dan ekonomi melalui penerapan ekonomi biru.
“Namun demikian, Indonesia memiliki beberapa hal yang perlu ditindaklanjuti, seperti bentuk organisasi GCBC, mekanisme keanggotaan, konsekuensi keuangan bagi negara peserta, status hukum perjanjian yang dibuat dalam koalisi dan mekanisme untuk mengenali dan menghubungkan target pencapaian koalisi dengan kondisi dan target nasional masing-masing negara anggota,” pungkasnya. [GNFI]