NUKILAN.ID | TAPAKTUAN — Nama Mustafa Ahmad mungkin tak tercatat dalam buku sejarah nasional, tetapi bagi masyarakat Labuhanhaji dan Kluet, ia adalah legenda hidup. Bukan karena jabatannya sebagai camat yang pernah ia emban selama puluhan tahun, melainkan karena keteguhan hatinya dalam memperjuangkan pendidikan, adat istiadat, dan semangat gotong royong di tengah masyarakat.
Lahir sebagai pendidik, Mustafa memulai pengabdiannya sebagai guru di berbagai sekolah menengah di Banda Aceh dan Labuhanhaji. Namun, kiprah utamanya dikenal saat ia menjadi Camat Labuhanhaji (1971–1978) dan Camat Kluet Selatan (1978–1985), hingga dipercaya menjabat Kepala BP-7 Aceh Selatan dan BP-7 Provinsi Aceh sebelum pensiun pada 1992.
“Beliau adalah pemimpin yang tak pernah berkompromi dengan ketidakbenaran. Tegas, tapi penuh kasih. Disiplin, tapi humanis,” ujar Twk Abdul Kadir, penggiat adat Aceh, dalam keetrangannya kepada Nukilan.id, Rabu (23/7/2025).
Memburu Anak-Anak ke Sawah Demi Sekolah
Satu hal yang membedakan Mustafa dari pejabat lainnya adalah perhatiannya terhadap pendidikan. Di masa jabatannya, jauh sebelum pemerintah mencanangkan program wajib belajar, ia sudah menerapkan kebijakan serupa secara mandiri.
“Kalau melihat anak-anak berkeliaran di pasar atau sawah saat jam sekolah, beliau langsung turun tangan. Tidak hanya menegur, tapi juga mengantarkan mereka kembali ke sekolah, bahkan membawa bekal untuk mereka,” kenang Abdul Kadir.
Ketegasan ini berdampak besar. Banyak anak-anak yang dulu ‘dipaksa’ sekolah oleh sang camat, kini telah tumbuh menjadi guru, dosen, pegawai negeri, pengusaha, bahkan tokoh masyarakat.
Menggerakkan Gotong Royong dan Mengobati Warga
Mustafa Ahmad bukan hanya birokrat, tapi juga penggerak sosial. Ia dikenal sebagai pelopor kegiatan gotong royong, terutama dalam pembangunan infrastruktur pedesaan. Salah satu cerita yang masih diingat warga adalah saat ia memimpin pembukaan akses jalan dari Paya Dapur ke Lawe Sawah, wilayah yang dulunya terisolasi di Lembah Sekorong (sekarang Kluet Timur).
“Beliau ikut memikul, ikut menggali, dan menyatukan warga untuk membabat hutan. Itu bukan perintah dari atas, tapi inisiatif dari bawah,” ujar Abdul Kadir.
Tak hanya itu, sejak 1985 Mustafa juga melayani masyarakat sebagai ahli akupunktur. Keahliannya digunakan tanpa pamrih untuk membantu pengobatan alternatif bagi warga yang membutuhkan.
Pejuang Adat yang Mendedikasikan Pemikiran untuk Buku
Selain kiprah di bidang pemerintahan dan sosial, Mustafa Ahmad juga dikenal sebagai intelektual adat. Ia aktif menulis artikel, jurnal, dan menyusun naskah buku tentang adat istiadat Aceh. Di usia senjanya, ia tengah menyempurnakan naskah berjudul “Adat Aceh Setelah Tahun 1621”, yang telah melalui penyuntingan oleh almarhum Zamzami Surya, wartawan senior Aceh Selatan.
“Buku itu bukan sekadar kumpulan pengetahuan, tetapi bentuk tanggung jawab moral beliau terhadap pelestarian adat Aceh,” kata Abdul Kadir.
Buku tersebut mengupas tuntas perbedaan antara Adat Istiadat, Adat Kebiasaan, dan Hukum Adat, serta menempatkan adat sebagai sistem sosial yang hidup dan relevan, bukan sekadar simbol seremoni.
“Beliau selalu bilang, adat harus hidup dalam praktik sehari-hari, bukan hanya dalam prosesi atau wacana,” tambahnya.
Teladan yang Tak Lekang oleh Zaman
Kini, di usia 89 tahun, Mustafa Ahmad masih menyimpan tekad untuk melihat buku karyanya terbit dan menjadi rujukan generasi muda Aceh. Ia juga terus mengingatkan pentingnya pendidikan, nilai-nilai adat, dan semangat gotong royong.
“Sosok seperti beliau adalah pengingat bahwa perubahan tidak harus selalu datang dari kekuasaan besar. Tapi dari teladan, dari tindakan-tindakan kecil yang konsisten, dan dari pemimpin yang hidup bersama rakyatnya,” ujar Abdul Kadir menutup wawancara.
Warisan pengabdian Mustafa Ahmad terus hidup dalam ingatan masyarakat. Mereka yang pernah merasakan sentuhan tangan tegas namun hangatnya, masih menyimpan kisah-kisah kecil yang membekas — tentang razia anak-anak di sawah, gotong royong menembus hutan, atau sentuhan jarum akupunktur yang menyembuhkan tanpa biaya.
Dan kini, pertanyaannya adalah: apakah masih ada pemimpin seperti Mustafa Ahmad di tengah kita? Sosok yang memimpin bukan hanya dengan kata, tapi dengan hati dan keteladanan. (XRQ)
Reporter: Akil