Sosiolog Beberkan Alasan Banda Aceh Diserbu Pengemis

Share

NUKILAN.ID | BANDA ACEH – Fenomena meningkatnya jumlah pengemis dan pengamen di sudut-sudut Kota Banda Aceh serta sejumlah kabupaten lain di Aceh belakangan ini mengundang keprihatinan berbagai kalangan.

Mereka tak lagi hanya hadir di persimpangan lampu merah, tetapi mulai memasuki ruang-ruang privat seperti warung dan kafe, menyuguhkan alunan musik dengan harapan imbalan uang dari pengunjung.

Fenomena ini mengindikasikan persoalan sosial yang lebih dalam, yang tak sekadar soal pilihan hidup di jalanan. Untuk menelusuri akar masalah tersebut, Nukilan.id mewawancarai Dr. Masrizal, sosiolog dari Aceh, pada Minggu (1/6/2025).

Menurutnya, kemunculan pengemis dan pengamen di ruang publik sangat berkaitan erat dengan kondisi ekonomi lokal yang rapuh dan tidak stabil.

“Tentu saja ada. Lemahnya ekonomi masyarakat menjadi salah satu faktor utama munculnya pengemis dan pengamen di ruang-ruang publik,” ujar Dr. Masrizal.

Ia menjelaskan bahwa ketergantungan masyarakat Aceh terhadap sektor ekonomi tradisional yang tidak memiliki daya tahan terhadap fluktuasi pasar, memperparah situasi tersebut.

Ketika komoditas mengalami penurunan produksi, dampaknya langsung terasa pada kehidupan sehari-hari warga.

“Misalnya, di Aceh Selatan, saat pala mulai mati, ekonomi masyarakat pun langsung terdampak. Daya beli menurun, aktivitas ekonomi lesu. Hal serupa terjadi di Pidie, di mana produksi muling (melinjo) tidak sebaik dulu,” sambungnya.

Kondisi ini, menurut Dr. Masrizal, mencerminkan betapa rapuhnya ketahanan ekonomi masyarakat Aceh dalam menghadapi perubahan, baik yang bersifat lokal maupun global.

“Semua ini memperlihatkan betapa rentannya masyarakat kita terhadap fluktuasi ekonomi,” tambahnya.

Namun, akademisi FISIP Universitas Syiah Kuala ini menekankan bahwa penyebab tumbuh suburnya praktik mengemis dan mengamen di ruang publik tidak hanya berpangkal pada faktor ekonomi semata.

Ada dimensi sosiokultural yang juga memainkan peran signifikan, khususnya yang berkaitan dengan keluarga dan pendidikan.

“Dari sisi keluarga, dulu nilai-nilai keharmonisan dan rasa saling memiliki dalam keluarga sangat kuat. Kini, nilai-nilai tersebut mulai memudar. Rasa kepedulian terhadap sesama anggota keluarga pun semakin menipis,” tuturnya.

Perubahan nilai-nilai kekeluargaan ini, menurutnya, tidak dapat dilepaskan dari menurunnya kualitas pendidikan yang dalam jangka panjang turut membentuk mentalitas dan orientasi hidup generasi muda.

“Salah satu penyebabnya adalah rendahnya kualitas pendidikan di Aceh, yang kini berada di bawah rata-rata dibandingkan dengan beberapa wilayah lain di Sumatra,” jelas Dr. Masrizal.

Pendidikan yang lemah, lanjutnya, membuka celah bagi tumbuhnya pola pikir instan dalam menyikapi persoalan hidup. Di tengah keterbatasan lapangan kerja dan tekanan ekonomi, sebagian masyarakat justru melihat praktik mengemis sebagai solusi cepat untuk mendapatkan penghasilan.

“Lemahnya pendidikan ini secara tidak langsung turut membentuk mentalitas masyarakat, termasuk tumbuhnya pola pikir bahwa mengemis adalah jalan cepat untuk mendapatkan uang,” katanya.

Ia menambahkan bahwa fenomena ini cenderung lebih menonjol di kawasan-kawasan yang berada di sekitar wilayah perkotaan, di mana lalu lintas manusia dan potensi pemberian lebih besar.

“Fenomena ini mulai banyak ditemukan terutama di wilayah-wilayah yang dekat dengan perkotaan,” tutupnya.

Fenomena ini menjadi cermin persoalan struktural yang memerlukan perhatian serius dari pemerintah daerah dan pemangku kepentingan. Perbaikan ekonomi lokal, penguatan pendidikan, serta revitalisasi nilai-nilai sosial di tingkat keluarga adalah langkah-langkah krusial yang perlu diambil untuk menekan gejala sosial yang kian mengemuka di ruang-ruang publik Aceh. (XRQ)

Reporter: Akil

spot_img

Read more

Local News