NUKILAN.id | Banda Aceh – Indonesia dikenal sebagai salah satu negara paling religius di dunia. Berdasarkan riset Majalah CEOWORLD & Global Business Policy, Indonesia menempati peringkat ke-7 dari 148 negara dengan tingkat religiusitas tinggi, mencatat skor 98,7. Survei Pew’s Global Attitude Survey bahkan menempatkan Indonesia di peringkat kedua sebagai negara yang paling menganggap agama sebagai faktor penting dalam kehidupan mereka.
Namun, tingginya tingkat religiusitas ini tidak selalu sejalan dengan perilaku sosial yang ideal. Ada paradoks yang mencolok: meskipun sangat religius, Indonesia juga kerap diwarnai dengan perilaku masyarakatnya yang bertentangan dengan nilai-nilai agama, seperti tingkat korupsi yang tinggi, suka mengakses situs dewasa, kurang sopan di media sosial dan tingginya pelaku judi online
Untuk menggali lebih dalam fenomena ini, Nukilan.id mewawancarai Masrizal, seorang sosiolog Aceh, mengenai paradoks antara religiusitas tinggi dan perilaku sosial yang sering kali tidak sesuai dengan nilai-nilai agama.
Menurut Masrizal, fenomena ini merupakan hasil dari perubahan sosial yang mendalam. Ia mengatakan bahwa, tingginya tingkat religiusitas tidak serta merta berbanding lurus dengan perilaku sosial yang ideal.
“Hal ini mencerminkan melemahnya norma dan nilai-nilai dalam masyarakat kita,” kata Masrizal kepada Nukilan.id, Rabu (14/8/2024).
Masrizal menjelaskan bahwa nilai dan norma sosial adalah dua pilar penting dalam kehidupan masyarakat. Nilai berfungsi sebagai panduan atau standar mengenai apa yang dianggap baik atau buruk, sementara norma mengatur perilaku masyarakat dalam berbagai situasi, baik yang tertulis maupun tidak tertulis.
“Di Indonesia, seharusnya nilai dan norma ini berpadu harmonis, menciptakan tatanan kehidupan yang sesuai dengan kearifan lokal,” ujarnya.
Ia menekankan bahwa fenomena ini merupakan akibat dari apa yang ia sebut sebagai ‘kealpaan kultural’. Dalam konteks ini, kealpaan kultural merujuk pada hilangnya kebiasaan saling menegur dan menasihati dalam masyarakat, yang dulu menjadi salah satu pilar utama dalam menjaga ketertiban sosial.
“Dulu, masyarakat sering menegur jika seseorang melakukan kesalahan. Namun sekarang, kita jarang melihat hal tersebut terjadi. Bahkan, banyak orang kini lebih memilih untuk mengabaikan kesalahan ketimbang menegur,” jelasnya.
Selain itu, dampak negatif teknologi juga turut berkontribusi terhadap perubahan sosial dalam konteks ini. Oleh karena itu Masrizal menekankan pentingnya partisipasi orang tua dalam membentuk karakter anak-anak mereka.
“Caring dan observing orang tua terhadap anak sangat diperlukan. Hal ini bisa memperkuat kembali budaya yang baik di masyarakat,” katanya.
Masrizal juga menyoroti ‘kealpaan struktura, di mana pemerintah dan instansi terkait tidak hadir secara maksimal untuk menangani masalah-masalah sosial ini.
“Perlu adanya upaya dari pemerintah, seperti melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dengan menyertakan mata kuliah tentang kearifan lokal, serta undang-undang yang mengatur lembaga seperti Kominfo untuk mengawasi aktivitas negatif seperti perjudian yang mungkin terjadi hingga ke tingkat desa,” sarannya.
Masrizal memperingatkan, jika masalah ini tidak segera ditangani, bisa berdampak serius pada masa depan bangsa, terutama pada tahun 2045.
“Jika ini tidak diperkuat, mental masyarakat beragama akan melemah. Pemuda-pemuda Indonesia bisa menjadi generasi yang tidak peduli dengan nilai-nilai ini,” tutupnya.
Kesimpulannya, penanganan masalah ini membutuhkan upaya kolektif dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, masyarakat, dan keluarga, untuk memastikan nilai dan norma sosial tetap terjaga dan berdampak positif bagi kehidupan masyarakat. (XRQ)
Reporter: Akil Rahmatillah