Nukilan.id – Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI mencabut sejumlah ketetapan (Tap) MPR terkait dengan putusan perundang-undangan terhadap tiga mantan Presiden RI, yaitu Sukarno, Soeharto, dan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Terdapat tiga Tap MPR yang dicabut. Pertama, Tap MPR Nomor II/MPR/2021 tentang Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia KH Abdurrahman Wahid yang dicabut MPR pada Rabu (25/9/2024). Tap ini berisi tentang pemberhentian Gus Dur sebagai Presiden RI dan menegaskan bahwa Gus Dur telah melanggar haluan negara. Kini Tap MPR tersebut dinyatakan sudah tidak berlaku lagi.
Kedua, Tap MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintah Negara dari Presiden Sukarno. Beleid ini secara tersirat menuding Sukarno terlibat dalam agenda pemberontakan Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia (G30S/PKI).
Surat pencabutan itu telah diserahkan Ketua MPR RI, Bambang Soesatyo kepada Menteri Hukum dan HAM (Menkumham), Supratman Andi Atgas dan keluarga Bung Karno, yaitu kepada Presiden Kelima RI, Megawati Soekarnoputri, Guntur Soekarnoputra, Sukmawati Soekarnoputri, dan Guruh Soekarnoputra.
Dengan demikian, tuduhan bahwa Presiden Sukarno terlibat dalam gerakan pemberontakan PKI pada 30 September 1965 sudah tidak berlaku lagi. Disebutkan bahwa pencabutan Tap MPRS ini selain untuk menghapus tuduhan terhadap Presiden Sukarno juga untuk memberikan penghargaan dan pemulihan martabat Proklamator RI tersebut.
Terakhir, yaitu TAP MPR Nomor 11 Tahun 1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Pencabutan ini disampaikan dalam Sidang Akhir Masa Jabatan MPR Periode 2019-2024.
Dalam Pasal 4 Tap MPR yang ditandatangani pada 13 November 1998 oleh Ketua MPR, Harmoko itu, nama Soeharto disebutkan secara eksplisit terkait dengan upaya pemberantasan KKN. Berikut bunyi pasal tersebut:
“Upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap siapapun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga, dan kroninya maupun pihak swasta/konglomerat termasuk mantan Presiden Soeharto dengan tetap memperhatikan prinsip praduga tak bersalah dan hak-hak, asasi manusia.”
Ketua MPR, Bambang Soesatyo alias Bamsoet mengatakan bahwa pencabutan Tap MPR tersebut merupakan langkah tindak lanjut dari Surat dari Fraksi Golkar pada 18 September 2024 dan diputuskan dalam rapat gabungan MPR pada 23 September 2024. Bamsoet berdalih Tap MPR itu tak berlaku lagi karena Soeharto telah meninggal dunia.
“Terkait dengan penyebutan nama mantan Presiden Soeharto dalam Tap MPR Nomor 11/MPR 1998 tersebut secara diri pribadi, Bapak Soeharto dinyatakan telah selesai dilaksanakan karena yang bersangkutan telah meninggal dunia,” kata Bamsoet.
Wacana Pemberian Gelar Pahlawan Nasional
Pencabutan nama Soeharto dari Tap MPR Nomor 11/MPR 1998 ini dinilai selain memutihkan jejak kelam Soeharto terkait pelanggaran HAM, korupsi, dan penyalahgunaan kekuasaan juga berpotensi membuka kembali jalan bagi wacana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto yang dulu sempat mencuat.
Awalnya, wacana pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto ini muncul dari usulan Partai Golkar menjelang Hari Pahlawan pada 10 November 2008 silam. Lalu pada 2010, Kementerian Sosial yang dipimpin oleh Menteri Sosial, Salim Segaf Al-Jufri dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dalam Kabinet Indonesia Bersatu II kembali mengusulkan wacana tersebut.
Lalu, pada Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden RI Tahun 2014 (Pilpres 2014), Capres Prabowo Subianto saat itu dalam kampanye politiknya kembali menjanjikan akan memberikan gelar pahlawan kepada Soeharto. Hal ini mengingat afiliasinya dengan Keluarga Cendana (sebutan untuk keluarga Soeharto) yang sangat dekat. Mantan istrinya, Siti Hediati Hariyadi alias Titiek Soeharto adalah putri keempat dari Soeharto.
Kemudian, usulan serupa kembali diajukan Partai Golkar dalam Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) partai berlambang pohon beringin itu pada 2016 lalu. Kini wacana tersebut kembali menguat setelah MPR mencabut Tap MPR Nomor 11/MPR 1998 yang di dalamnya menyebutkan nama Soeharto.
Editorial Koran Tempo menyebutkan pencabutan Tap MPR dan wacana pemberian gelar pahlawan nasional ini tak lebih dari “akal-akalan memutihkan kejahatan Seoharto” dan “preseden buruk menghapus kejahatan penguasa.”
Koran Tempo menyebutkan MPR telah mencuci nama Soeharto dari kejahatan KKN selama dia berkuasa dengan penghapusan Tap MPR tersebut. Ketua MPR, Bamsoet yang juga merupakan politikus Partai Golkar dinilai telah menafikan gerakan reformasi 1998 yang menuntut pengadilan terhadap Soeharto atas kejahatan-kejahatan yang dilakukannya. Atau dengan kata lain, Bamsoet telah meniadakan aspirasi publik dalam penggulingan Soeharto.
Selain itu juga disebutkan bahwa menyamakan Soeharto dengan Sukarno dan Gus Dur merupakan “kekeliruan cara berpikir, culas, serta menghina nilai-nilai demokrasi.” Sukarno merupakan proklamator kemerdekaan dan peletak dasar sistem politik Indonesia. Sementara Gus Dur telah mereformasi TNI-Polri yang penting dalam demokrasi dan menghapus sekat-sekat identitas warga negara yang digunakan Soeharto untuk melanggengkan kekuasaannya.
“Adapun Soeharto, yang naik menjadi presiden lewat proses konstitusional yang berkabut, mempraktikkan kekuasaan tangan besi dengan dalih stabilitas dan pembangunan. Korupsi Soeharto bukan isapan jempol. Putusan Mahkamah Agung Nomor 140 PK/Pdt/2015 menyatakan Yayasan Supersemar milik Soeharto melakukan perbuatan melawan hukum dan wajib membayar uang pengganti Rp4,4 triliun kepada negara. Hingga kini putusan itu tak pernah ditindaklanjuti secara hukum. Artinya, penghapusan nama Soeharto dari Tap MPR berpotensi merugikan negara,” tulis Koran Tempo dalam editorialnya, Senin (30/9/2024).
Penghinaan bagi Para Korban
Penghapusan Tap MPR Nomor 11/MPR 1998 dinilai telah menafikan korban dan penyintas pelanggaran HAM di masa Orde Baru. Sekelompok penyintas dari Peristiwa 1965 atau rangkaian penangkapan, pemenjaraan, hingga pembunuhan orang-orang yang dicap sebagai anggota, simpatisan, ataupun berafiliasi dengan PKI mengaku sedih dan kecewa dengan keputusan tersebut. Terlebih lagi dengan wacana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto.
Salah satunya adalah Uchikowati Fauzia, korban Peristiwa 1965 dari generasi kedua. Ibunya dipenjara selama tujuh tahun tanpa diadili pada masa Orde Baru karena dianggap terlibat PKI. Ia menegaskan tidak menerima keputusan tersebut dan menyebut Soeharto bukanlah pahlawan, tapi penjahat.
“Soeharto memulai kekuasaan 32 tahun diawali dengan memenjarakan hingga membunuh rakyatnya sendiri, baik perempuan hingga anak-anak. Itu sebuah penghinaan karena tidak mengembalikan martabat kami, tidak memanusiakan korban sebagai manusia,” ujar Uchikowati, dikutip Nukilan dari BBC, Senin (30/9/2024).
Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebutkan pencabutan Tap MPR ini merupakan langkah keliru karena tak mempertimbangkan aspek historis lantaran berpotensi memutihkan dosa-dosa Soeharto selama 32 tahun masa kepemimpinannya yang dipenuhi dengan kejahatan HAM, korupsi, dan penyalahgunaan kekuasaan.
Selain itu, tindakan ini dinilai sebagai kemunduran bagi reformasi yang seharusnya menyerukan pengadilan bagi Soeharto dan kroninya sehingga upaya ini tidak hanya akan mengaburkan tanggung jawab, namun juga mengancam upaya keadilan dan pengungkapan kebenaran yang selama ini diperjuangkan.
ICW juga menilai upaya penghapusan ini disinyalir untuk memuluskan rencana pemberian gelar pahlawan nasional kepada presiden kedua RI itu. Tap MPR Nomor 11/MPR 1998 dianggap menjadi batu sandungan bagi Soeharto agar memperoleh gelar kepahlawanan.
“Pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto bukan hanya akan merugikan keadilan bagi korban, tetapi juga dapat menciptakan preseden buruk bagi penanganan pelanggaran HAM di masa depan. Keputusan ini menunjukkan bahwa tanpa adanya pengakuan dan pertanggungjawaban, sejarah kelam dapat terulang kembali, merugikan generasi mendatang yang berhak atas keadilan dan kebenaran,” sebut ICW dalam keterangan resminya, Jumat (27/9/2024).
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Dimas Bagus Arya mengatakan alasan karena Soeharto sudah meninggal dunia tidak serta merta bisa menjadi alasan Tap MPR tersebut untuk dicabut. Menurut Dimas, pertanggungjawaban itu merupakan salah satu upaya agar ada mekanisme kontrol terkait calon pemimpin yang akan datang agar tidak boleh melakukan pelanggaran, apalagi pelanggaran yang menyebabkan kerugian ekonomi negara.
Sementara Wakil Direktur Imparsial, Ardimanto menyebutkan apa yang dilakukan MPR bukan hanya sekadar menghilangkan nama Soeharto dari TaP MPR, tapi juga menghapus sejarah kelam praktik KKN yang pernah terjadi di Indonesia yang dilakukan Soeharto dan kroni-kroninya.
“Tap MPR itu sampai muncul itu adalah praktik gurita korupsi yang dilakukan Soeharto dan kroni-kroninya. Untuk itu, Gerakan Reformasi 98 mengeluarkan Tap MPR tersebut untuk Indonesia bebas dari korupsi. Tuntutannya adalah mengusut tuntas korupsi yang terjadi pada masa Orde Baru,” demikian disampaikan Ardimanto, dilansir VOA, Minggu (29/9/2024). ***
Reporter: Sammy