Nukilan.id – Prospek terjadi perang antara Ukraina-Rusia semakin kuat dengan adanya peningkatan pasukan militer dan persenjataan masing-masing di perbatasannya. Situasi di perbatasan Ukraina semakin mencekam setelah Rusia mengerahkan 100 ribu tentara di perbatasan kedua negara.
Amerika Serikat merespons ancaman Moskow itu dengan mengirim 3.000 tentara tambahan ke Polandia dan Romania untuk melindungi wilayah Eropa Timur. Inggris memasok senjata anti-tank ke Ukraina. Pasukan Inggris pun telah melatih tentara-tentara di negara tersebut.
AS telah menuduh Rusia dapat melancarkan serangan ke Ukraina kapan saja. Namun, Menteri Luar Negeri Rusia, Sergey Lavrov, malah balik menuduh negara-negara Barat melakukan pembohongan dan menyebarkan disinformasi.
Meski Rusia membantah mempunyai rencana menginvasi negara tetangganya, Moskow meningkatkan ketegangan politik dengan menggelar latihan perang di Belarus dan Laut Hitam. Diperkirakan total ada 30 ribu pasukan tempur lengkap dengan jet dan rudal.
AS mengkhawatirkan peningkatan itu mengarah pada rencana Rusia untuk bergerak menuju Kyiv dari utara. Laporan intelijen AS menyebutkan bahwa Rusia berencana untuk menyerang Ukraina pada Rabu 16 Februari 2022. Meski, tidak ada pejabat Gedung Putih yang bisa mengonfimasinya.
Dilansir dari New York Times, Senin 14 Februari 2022, para pejabat AS telah mengumpulkan informasi intelijen bahwa Rusia pertimbangkan hari Rabu sebagai kemungkinan tanggal dimulainya aksi militer, menurut beberapa pejabat yang diberi pengarahan tentang materi tersebut. Para pejabat, yang berbicara sebagai anonim, mengakui kemungkinan bahwa penyebutan tanggal tertentu bisa menjadi bagian dari upaya disinformasi Rusia.
Pengerahan besar-besaran militer Rusia di Ukraina memicu serangkaian peringatan publik oleh Amerika Serikat dan negara-negara lain — termasuk Belanda, Latvia, Inggris, Jepang, dan bahkan Rusia — kepada setiap warga negara untuk meninggalkan Ukraina.
Penasihat Keamanan Nasional Gedung Putih, Jake Sullivan, kembali mengulangi adanya ancaman invasi Rusia. “Invasi Rusia ke Ukraina bisa dimulai kapan saja. Kami tidak bisa memperkirakan waktunya tetapi kami sudah sampaikan beberapa kali bahwa kemungkinan itu ada,” kata Sullivan
Upaya Diplomasi
Sejauh ini Ukraina terus berusaha mencegah terjadi bentrok senjata dengan militer Rusia, berbagai diplomasi dilakukan termasuk mengundang pertemuan dengan Rusia dan negara lain yang merupakan pemain kunci dalam arsitektur keamanan Eropa. Presiden Ukraina, Volodymyr Zelenskiy, pun mengundang Presiden AS, Joe Biden, ke Kiev membahas situasi negaranya.
Presiden Rusia, Vladimir Putin, telah mengeluarkan berbagai tuntutan keamanan ke AS sebelum ia menarik pasukan militernya kembali. Daftar tuntutan Putin termasuk larangan Ukraina memasuki NATO, dan kesepakatan bahwa NATO akan menarik pasukan dan senjata di sebagian besar Eropa Timur.
Menteri Luar Negeri (Menlu) Ukraina, Dmytro Kuleba, mengatakan bahwa Rusia mengabaikan permintaan resmi mereka yang menanyakan soal terjadinya peningkatan kekuatan armada pasukan Rusia di perbatasannya sebagaimana diberitakan BBC. Oleh karenanya Ukraina melayangkan undangan pertemuan dalam tenggat waktu 48 jam lagi membahas transparansi rencana Rusia itu.
Menlu Ukraina menyatakan pihaknya meminta jawaban dari Rusia dengan berada di bawah Perjanjian Wina yaitu sebuah perjanjian mengenai keamanan yang diadopsi oleh negara-negara anggota Kerja Sama Keamanan Eropa (OSCE) termasuk di dalamnya Rusia sendiri. “Apabila Rusia serius tentang wilayah keamanan OSCE maka harus berkomitmen untuk transparan mengenai militernya untuk mengurangi eskalasi ketegangan,” kata Menlu Kuleba.
Kemungkinan Perang Dunia Pecah
Pengerahan kekuatan militer Rusia, yang belum pernah terjadi sebelumnya di Ukraina, tidak hanya mendekatkan prospek perang yang menghancurkan di negara itu, tetapi juga meningkatkan risiko memicu konflik lebih luas yang tidak disengaja ke negara-negara Eropa Timur, yang merupakan aliansi AS, sehingga memicu ketakutan akan kemungkinan mengarah ke Perang Dunia III.
Namun, AS dan NATO berusaha menghindari perang dengan menegaskan bahwa pasukan mereka tidak akan memasuki Ukraina apa pun yang terjadi, dan Pentagon telah menarik 160 tentara penjaga nasional yang bertindak sebagai penasihat militer.
Bahkan selama perang dingin, Washington dan Moskow memastikan pasukan mereka tidak bentrok, dan Joe Biden telah menjelaskan bahwa dia akan berusaha untuk tetap seperti itu. “Ketika Amerika dan Rusia mulai saling menembak, itu adalah perang dunia,” kata Biden.
Namun, sejumlah pengamat menyatakan keraguan bahwa diplomasi politik bisa meredam ketegangan di Ukraina.
“Kami tidak dapat sepenuhnya yakin bahwa menjelang atau selama konflik bahwa NATO dan Rusia akan dapat berkomunikasi, terutama karena sistem komunikasi sipil dan militer di antara mereka tidak sekuat atau secara teknis tangguh seperti yang seharusnya,” kata Sahil Shah, seorang rekan kebijakan di Jaringan Kepemimpinan Eropa.
Dia menyebut dua negara bersenjata nuklir terbesar di dunia telah kembali ke jurang konflik tepat 60 tahun setelah krisis rudal Kuba. “Jika diplomasi tidak dilakukan secara maksimal, risiko salah perhitungan dan miskomunikasi berpotensi menarik Eropa yang lebih luas ke dalam perang yang menghancurkan,” ujarnya dilansir dari The Guardian. [viva]