NUKILAN.ID | BANDA ACEH – Praktik korupsi di Indonesia tak hanya menyasar lembaga eksekutif atau legislatif, tetapi telah menjalar ke jantung lembaga penegakan hukum itu sendiri. Ironisnya, institusi yang semestinya menjadi benteng terakhir keadilan justru ikut mencoreng wibawa hukum.
Data dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencatat, sepanjang kurun waktu 2010 hingga 2025, terdapat 31 hakim yang terjerat kasus korupsi. Angka ini menjadikan profesi hakim sebagai penegak hukum paling banyak terlibat dalam perkara korupsi yang ditangani lembaga antirasuah tersebut. Di peringkat berikutnya terdapat 19 pengacara, 13 jaksa, dan 6 anggota kepolisian.
Kasus terbaru yang menyita perhatian publik adalah dugaan korupsi yang melibatkan mantan pejabat Mahkamah Agung, Zarof Ricar, yang dituduh menerima suap senilai Rp915 miliar serta logam mulia seberat 51 kilogram. Nilai ini bahkan melebihi anggaran tahunan sejumlah kementerian, menandakan betapa besar dan dalamnya luka pada tubuh lembaga peradilan.
Namun, yang lebih memprihatinkan dari sekadar jumlah pelaku adalah kualitas vonis terhadap para koruptor. Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat, dari 1.718 terdakwa kasus korupsi yang diputus pada tahun 2023, mayoritas dijatuhi hukuman ringan.
Putusan-putusan tersebut, alih-alih menjadi palu keadilan, justru menjelma menjadi “tepukan halus” di punggung para pelaku kejahatan kerah putih dan mafia peradilan. Seakan-akan pasal-pasal dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi hanya menjadi komoditas negosiasi, bukan lagi instrumen pemidanaan yang tegas.
Menanggapi fenomena ini, Direktur Eksekutif Asah Kebijakan Indonesia, Nicholas Martua Siagian, menilai bahwa persoalan ini tak bisa dilihat sebagai kesalahan teknis semata. Namun juga merupakan krisis sistemik, krisis etika, krisis gelar akademik, dan krisis moral penegakan hukum.
Ia mencontohkan ketimpangan dalam penegakan hukum yang begitu mencolok. Di satu sisi, masyarakat miskin yang mencuri karena lapar seringkali dihukum berat. Sementara itu, koruptor dengan kerugian negara hingga triliunan rupiah justru hidup nyaman dengan vonis ringan.
“Ketika rakyat kecil yang mencuri makanan karena lapar dihukum berat, sedangkan koruptor bernilai triliunan rupiah hidup nyaman dan dijatuhi vonis ringan, maka makna keadilan menjadi semu. Tidak hanya gagal menegakkan hukum secara substantif, tapi juga ikut melanggengkan ketimpangan sosial,” kata Nicholas kepada Nukilan.id pada Jumat (20/6/2025).
Kondisi ini terasa kian paradoksal ketika di tengah maraknya skandal korupsi, pemerintah justru mengambil kebijakan untuk menaikkan gaji hakim.
“Di sinilah letak paradoks yang menyayat. Di tengah ledakan skandal korupsi, pemerintah justru menaikkan gaji hakim,” tambahnya.
Ia tidak menampik bahwa dari perspektif tata kelola kelembagaan, kenaikan gaji bisa dimaklumi. Namun, menurutnya, persoalan utama bukan semata-mata terletak pada angka nominal gaji, melainkan pada banyak aspek mendasar lainnya.
“Dari perspektif manajemen SDM dan tata kelola lembaga, langkah ini bisa dibenarkan. Namun, ketika hakim tetap korup setelah kesejahteraan mereka dijamin, kita harus bertanya lebih dalam, Apakah akar masalahnya besaran gaji, ataukah pada mentalitas, sistem rekrutmen, lemahnya pengawasan, dan rusaknya ekosistem peradilan, atau bahkan intervensi politik yang akhirnya membuat hukum menjadi instrumen transaksional?” ungkapnya.
Nicholas juga menyoroti betapa timpangnya perlakuan hukum terhadap kasus-kasus kecil dibandingkan dengan perkara korupsi berskala besar.
“Bandingkan dengan vonis tegas kepada pencuri tanaman di hutan lindung, pencuri singkong, atau pelanggaran kecil lainnya, yang sering kali dihukum lebih berat dari para koruptor yang hidup mewah di balik meja kekuasaan,” tuturnya.
Dalam refleksinya yang lebih mendalam, Nicholas mengutip pemikiran Jerome Frank, tokoh aliran realisme hukum, ‘Justice is what the judge had for breakfast.’ Kata-kata tersebut terasa relevan untuk menggambarkan betapa subjektifnya keputusan hukum di Indonesia.
“Kutipan ini mungkin sinis, tapi menggambarkan dengan tepat betapa putusan hakim seringkali dipengaruhi suasana hati, bukan prinsip keadilan. Jika hakim lapar pada kekuasaan dan kekayaan, maka hukum tak lagi dijalankan berdasarkan etika, melainkan nafsu duniawi,” ujar Nicholas.
Ia pun mengakhiri dengan pertanyaan tajam yang sekaligus menggugah nurani publik dan pemangku kebijakan.
“Akhirnya, kita harus kembali bertanya, lalu sudah begini, siapa yang menghakimi hakim? Jika para hakim yang dijuluki wakil Tuhan ikut menjual putusan, maka runtuhlah kepercayaan masyarakat terhadap institusi peradilan,” tutuonya. (XRQ)
Reporter: Akil