Monday, April 29, 2024

Setelah 23 Tahun, Reformasi Belum Selesai

Nukilan.id – Sudah dua dekade lebih Presiden Soeharto lengser menandai dimulainya era reformasi. Banyak perubahan yang terjadi. Sebagian membaik, sebagian tidak lebih baik. Demokrasi di Indonesia dianggap belum menggembirakan.

Meski kini masyarakat memiliki kebebasan berpendapat dan berkumpul, rezim kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dinilai masih menggunakan pola Orde Baru untuk membungkam kritikan. Pola itu diselipkan rezim Jokowi melalui sejumlah pasal dalam Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) .

Aktivis 1998, Savic Ali melihat rezim Jokowi paranoid terhadap kritik. Padahal, kritik merupakan kontrol penting dari masyarakat untuk mengawasi jalannya pemerintahan dan memperbaiki kualitas demokrasi.

“Ada abuse (penyalahgunaan) dari negara untuk membatasi (kritikan) dengan penggunaan pasal-pasal dalam UU ITE yang menurut saya sama dengan pasal pada zaman Orde Baru,” katanya saat dihubungi, Jumat (21/5/2021).

Baca juga: Sejarah Singkat Hari Kebangkitan Nasional, Berikut Tema Harkitnas 2021

Di tengah kritikan dibungkam, Savic melanjutkan, oligarki kekuasan semakin menguat. Kecenderungan oligarki terlihat dari cara rezim Jokowi menarik banyak partai politik untuk berkoalisi. Sementara jumlah partai politik yang berdiri di barisan oposisi menipis.

Saat ini, ada 10 partai politik yang bergandengan tangan dengan pemerintahan Jokowi yaitu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI P), Golongan Karya (Golkar), Nasional Demokrasi (NasDem), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Hati Nurari (Hanura), Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Persatuan Indonesia (Perindo), Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) dan Partai Bulan Bintang (PBB).

Sedangkan partai politik yang berada di luar kekuasaan hanya tiga yakni Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nasional (PAN) dan Demokrat.

“Saya kira itu membuat tidak ada perimbangan kekuasaan yang mendukung ke arah check and balance sehingga ini rentan menjadi kecenderungan oligarki,” tukas Savic.

Hal lain yang menjadi sorotan Savic adalah, cara pemerintahan Jokowi menangani konflik di Tanah Air juga mengalami kemunduran dan malah mengadopsi gaya Orde Baru. Misalnya menangani konflik Papua. Pemerintah memilih mengedepankan pendekatan militer untuk menghadapi kelompok kriminal bersenjata (KKB) Papua ketimbang dialog.

Pendekatan militer kerap digunakan Soeharto saat menyelesaikan konflik yang dianggap berpotensi mengganggu stabilitas keamanan di Indonesia. Sementara pendekatan dialog selalu dipakai Presiden Abdurahman Wahid atau Gus Dur, salah satunya saat mengatasi konflik Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Aceh.

“Ini sekarang kalau kita lihat sedikit-sedikit Papua pendekatannya militer,” kata Savic.

Baca juga: Harkitnas 2021, Jokowi: Gotong Royong untuk Bangkit Lawan Pandemi

Sementara aktivis 1998 lain, Haris Rusly Moti juga mencatat banyak kemunduran yang terjadi setelah 23 tahun reformasi. Tiga di antaranya korupsi, nepotisme dan membungkam kritik. Haris menyoroti Jokowi membiarkan kewenangan penyidik dibantai pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sendiri sehingga koruptor semakin tumbuh subur.

Terpilihnya putra dan menantu Jokowi sebagai kepala daerah, di mata Haris sebagai bentuk nepotisme yang terus berkembang. Putra sulung Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka terpilih menjadi Wali Kota Solo dan sang menantu Bobby Nasution sebagai Wali Kota Medan.

“Jadi kalau dikatakan di era Jokowi yang paling gagal dari agenda reformasi adalah pemberantasan korupsi, nepotisme,” tegasnya.

Yang meresahkan Haris saat ini adalah, ruang bagi pengkritik yang semakin sempit. UU ITE dinilanya telah menjadi ‘senjata’ aparat untuk menangkap dan memenjarakan pengkritik. Jokowi juga disebut bukan anak kandung reformasi karena tidak pernah turun ke jalan untuk memperjuangkan agenda reformasi.

“Presiden Jokowi ini enggak pernah terlibat dalam perjuangan publik, tidak pernah ditangkapin, tidak pernah dipentungin, tidak pernah dipenjara, tidak pernah ikut demo seperti aktivis buruh atau mahasiswa. Jadi dia tidak merasakan betapa pahitnya dikejar tentara, polisi, sehingga saat dia berkuasa seenak-enaknya saja menangkapi orang, menjarai orang, nuduh orang, karena backgroundnya dia orang yang tiba-tiba beruntung saja jadi presiden, bukan orang yang memang memperjuangkan politik sehingga mendapatkan itu,” ujar Haris.

Meski banyak catatan kemunduran dari sisi politik dan sosial, Algooth Putranto yang merupakan aktivis 1998 menilai kondisi ekonomi di 23 tahun reformasi telah mengalami kemajuan pesat. Jokowi telah membawa ekonomi Indonesia jauh lebih baik.

Data awal tahun 2021, di tengah pandemi Covid-19, ekonomi Indonesia mengalami kontraksi sekitar -2,2 persen sampai -1,7 persen. Kondisi ekonomi ini cukup baik jika dibandingkan dengan negara yang tergabung dalam G20 dan Asean. Hanya saja, posisi Indonesia berada di bawah China dan Vietnam.

“Jokowi, meskipun banyak orang, sebagian orang tidak suka tapi pada kenyataannya upaya yang dilakukan itu jadi batu tumpuan untuk 50 tahun Indonesia ke depan,” ujarnya.

Selain ekonomi, Algooth melihat, pemerintahan Jokowi telah melakukan perbaikan cukup signifikan dari segi infrastruktur. Sebelum reformasi, pembangunan infrastruktur berpusat di Pulau Jawa dan Sumatera, kini Jokowi berupaya membangun infrastruktur di Indonesia timur dan daerah terbelakang lainnya.

“Perbaikan infrastruktur, meskipun berat itu sudah sangat bagus,” katanya.

Situasi Politik 23 Tahun Reformasi Lebih Baik

Tapi benarkah situasi politik dan sosial setelah 23 tahun reformasi tidak lebih baik seperti penilaian Aktivis 98 tersebut? Pengamat Komunikasi Politik Universitas Gadjah Mada (UGM), Dodi Ambardi menilai, situasi politik saat ini jauh lebih baik dibanding pada Orde Baru.

Buktinya, masyarakat memiliki kebebasan untuk memilih partai, memilih calon pemimpin dan membuat partai tanpa intimidasi dari penguasa. Sangat jauh berbeda dengan kondisi Orde Baru. Masyarakat kala itu hanya diperbolehkan memilih salah satu dari tiga partai dalam Pemilu, yakni PPP, Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI).

Baca juga: Peringati 56 Tahun Lemhannas, Sekjen: Satu Nafas dengan Kebangkitan Nasional

“Kemudian kebebasan persnya relatif jauh lebih ada ruangnya untuk megkritik. Dari indikator itu, saya mengatakan bahwa demokrasi yang di Indonesia ini real, jauh lebih bagus, masuk kategori demokrasi. Dibanding klaim demokrasi pada masa Orba,” kata Dodi dalam perbincangan dengan merdeka.com.

Jika dibandingkan dengan periode kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Dodi menyebut, masa reformasi di zaman Jokowi cenderung naik turun. Misalnya dari sisi sosial menurun karena rezim Jokowi antikritik sehingga mengakibatkan sejumlah pengkritik dijerat dengan UU ITE.

Sementara dilihat dari polarisasi politik mengalami stagnan sejak masa kepemimpinan SBY hingga Jokowi. Menurut Dodi, saat ini, Jokowi tengah mengupayakan menangani polarisasi di masyarakat yang bisa menyebabkan terjadi penurunan kualitas demokrasi.

“Saya kira pemerintah sekarang sedang menangani polarisasi yang ada di dalam masyarakat,” tutupnya.[merdeka]

spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img

Must Read

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img

Related News

- Advertisement -spot_img