Nukilan.id – Penetapan tersangka dan penahanan terhadap salah satu pemilik toko di Simeuleu dikarenakan membantu perangkat desa yang kesulitan mencairkan dana desa di akhir tahun anggaran 2019 dinilai sebagai langkah hukum yang ambigu dan aneh. Pasalnya, uang disatu sisi dalam persoalan ini pihak yang berupaya membantu kesulitan pembangunan desa justru kena batu sandungan hukum.
Dilain sisi pihak pedagang toko bangunan bernama Surya itu malah harus menderita kerugian moril dan materil sementara pihak polres Simeulue seperti melewatkan kondisi dimana Bank Aceh Syariah tak memiliki uang tunai dalam jumlah besar pada akhir tahun.
“Awalnya pihak perangkat desa kan sudah meminta Bank Aceh Syariah untuk mencairkan uang desa, namun terkendala karena ketersediaan stok uang tunai karena akhir tahun. Jadi, pihak perangkat desa yang dihadapkan dengan kesulitan keuangan desa Kuala Makmur harus membayar berbagai berbagai kebutuhan, lalu meminta bantu kepada pedagang toko yang kebetulan punya uang tunai untuk membantu. Kemudian karena pihak desa berutang uang tunai Rp. 200 juta kepada pedagang tersebut, meminta pihak Bank Aceh Syariah diminta untuk membayar dengan mengirim saldo pembayaran ke rekening toko. Proses peminjaman tersebut ada kuitansi dan disaksikan perangkat desa, sehingga sangat aneh rasanya ketika seorang pedagang yang pada dasarnya membantu kesulitan Desa dan Bank Aceh malah ditersangka kan dan ditahan,” ungkap juru bicara Kaukus Peduli Aceh (KPA), Refan Kumbara kepada media, Sabtu (17/07/2021).
Refan menerangkan, untuk menunggu pencairan dana desa yang sering agak lama prosesnya pengamprahannya, maka tentunya perangkat desa akan mencari tempat/toko yang bersedia untuk memberikan utang agar proses pembangunan desa tidak terhambat. Apalagi, pencairan anggaran tahap II sering dilakukan jelang akhir tahun, jika tidak berutang maka pihak desa akan kesulitan untuk tetap melakukan kegiatan.
“Kejadian di Simeulue ini dapat berdampak kepada kekhawatiran bahkan ketakutan pihak pedagang atau swasta untuk memberikan utang kepada perangkat desa dalam membangun. Dampaknya pembangunan desa akan terhambat, jika semua pihak swasta yang memberikan utang dianggap berpotensi dikenakan UU 55 Tipikor,” jelasnya.
KPA juga menduga selama ini banyak pihak kepolisian yang bermain di pembangunan yang bersumber dari dana desa dengan mencari-cari kesalahan dan memanfaatkan keterbatasan pemahaman pihak perangkat desa terkait pengelolaan keuangan dan administrasi.
“Kita harap Kapolda Aceh dapat turun tangan dan menyelidiki kemungkinan oknum polisi nakal yang mencari pundi-pundi dengan menggertak aparatur desa. Jika Polda tidak tegas maka ke depan polisi di daerah/di lapangan akan semakin semena-mena dan berkemungkinan menjadikan pihak desa sebagai ATM berjalan, ini tentunya akan merusak semangat reformasi di tubuh Polri,” jelasnya.
Refan kembali melanjutkan, pasal 55 ayat 1 KUHP itu sering digunakan sebagai senjata ampuh dalam rangka menjerat pihak yang tak disenangi, kendatipun pihak tersebut tidak merugikan negara.
“Seperti halnya kejadian yang menimpa pedagang toko bangunan di Simeulue, apakah membantu kesulitan Desa dengan memberikan utang baik material maupun uang tunai dapat dikaitkan dengan membantu pelanggaran hukum, tentu ini sangat naif. Kapolda Aceh yang selama ini sangat tegas terhadap bawahannya harus turun tangan menunjukkan bahwa kepolisian di Aceh adalah mitra masyarakat dan tidak dalam rangka mencari kambing hitam yang dapat membuat masyarakat resah dan dirugikan secara moril dan materil,” jelasnya.
Bayangkan saja, kata Refan, ketika pihak yang membantu perangkat desa yang kesulitan mendapatkan uang tunai diakhir tahun anggaran malah dijadikan tersangka ditahan dengan dalih keterkaitan, tentunya akan merugikan pihak tersebut baik secara moril maupun materil.
“Disini polres Simeulue terlihat terlalu terburu-buru menetapkan tersangka dan melakukan penahanan, sehingga berpotensi mengorbankan orang yang tak salah. Bayangkan saja barang buktinya belum lengkap, bahkan sangking terburu-burunya, polisi justru menetapkan uang Rp. 80 juta dari Rp. 1 yang awalnya diminta polres dengan dalih disebutkan untuk jaminan penahanan dan diserahkan, malah dijadikan untuk barang bukti (BB). Padahal dalam kasus tersebut bukan operasi tangkap tangan(OTT), inikan sesuatu banget. Kemudian, secara aspek sosial, pihak yang ditetapkan sebagai tersangka yang belum jelas bersalah tentunya akan mengalami tentunya beban psikologis di masyarakat, belum lagi seperti pedagang di Simeuleu tersebut otomatis juga dirugikan secara materil bisa jadi penurunan citra toko yang berdampak terhadap penurunan penghasilan dan sebagainya. Ini sungguh memilukan,” jelasnya.
Dalam persoalan penetapan tersangka, KPA mengingatkan kepolisian wabil khusus Kapolres Simeuleu tentang adigium hukum mengingat pihaknya menilai banyak kejanggalan dalam penetapan tersangka pedagang toko bangunan berinisil SA yang pada notabenenya hanya membantu memberikan utang dan mencairkan uang tunai demi menangani kesulitan desa.
“Kedzoliman yang paling besar dalam hukum adalah menghukum orang yang tidak bersalah. Hal ini sejalan dengan adigium hukum yang mengatakan “lebih baik membebaskan seribu orang yang bersalah dari pada menghukum satu orang yang tidak bersalah”. Lantas, bagaimana jika Polres sebagai penegak hukum menetapkan tersangka yang salah hanya untuk memenuhi target pencapaiannya semata, ini tentu sangat miris,” tegasnya.
KPA meminta pihak Kapolda untuk turun tangan demi menghindari penetapan tersangka dan penahanan terhadap pihak yang tak bersalah.
“Kapolda harus memastikan bahwa polisi bersama rakyat, dan tidak membiarkan bawahannya semena-mena dalam bekerja. Apalagi, ini menjelang hari raya idul adha, bayangkan beban fsikologis yang dialami pihak terkait dan keluarganya. Padahal, jelas-jelas yang bersangkutan tidak melakukan tindakan yang merugikan negara, hanya mempermudah kesulitan desa, tidak bisa asal kait-kaitkan gitu, apalagi ada saksi dan bukti kuitansi kan bahwa desa pinjam uang tunai dan berutang. Masak bayar utang dan pinjaman dikenakan pasal 55 ayat 1 KUHP, aneh bin ajaib,” pungkasnya.
Kronologis kejadian
Bahwasanya adanya kesalahan penetapan tersangka yang terkesan seakan dipaksakan oleh Reskrim Polres Simeulue dengan rincian kronologis kasus sebagai berikut:
Bahwa pada tahun 2019, Desa Kuala Makmur berutang barang-barang bangunan di Toko RD Baru milik Surya Mandala, anatara lain berupa: semen, kawat harmonika, keramik, besi, pagar BRC, Tripleks dan lain-lain dengan total hutang Desa Kuala Makmur Rp. 200.000.000,- (Dua Ratus Juta Rupiah);
Kemudian, pada tanggal 20 Desember 2019 Desa Kuala Makmur, Desa Air Pinang, Pulau Siumat, Linggi dan Ganting, menarik Dana Desa dari Bank Aceh, Pada Saat itu Desa Kuala Mamur hendak menarik uang dari rekening desa sejumlah Rp. 830.000.000,- (Delapan Ratus Tiga Puluh Juta Rupiah), namun Bank Aceh tidak ada uang tunai sebanyak Rp. 830.000.000,- (Delapan Ratus Tiga Puluh Juta Rupiah) sebagaimana yang hendak ditarik tunai Desa Kuala Makmur tersebut, karena saat itu kondisi akhir
Sehingga Kepala Desa Kuala Makmur meminta kepada Pihak Bank Aceh agar mencairkan Rp. 630.000.000,- (Enam Ratus Tiga Puluh Juta Rupiah), akan tetapi tidak juga dikabulkan Pihak Bank, saat itu pihak bank mengatakan kebijakan itu berlaku seluruh desa bukan hanya desa Kuala Makmur. Pihak bank menyarankan saat itu untuk penarikan uang bangunan fisik bisa ditranfer ke rekening supplier, karena desa-desa yang lain juga dikirim ke rekening masing-masing supplier.
Sebelum dikirim ke rekening supplier, karena toko RD Baru (Surya Mandala) dalam hal ini sebagai supplier, maka Kepala Desa mengonfirmasi ke Surya Mandala, apakah hutang desa di toko bisa ditransfer ke rekening langsung? Surya Mandala menjetujuinya, sehingga sesuai permintaan Kepala Desa, pihak bank mengirim uang ke rekening Surya Mandala Rp. 400.000.000,- (Empat Ratus Juta Rupiah).
Karena, hutang desa Kuala Makmur hanya Rp. 200.000.000,- (Dua Ratus Juta Rupiah), maka sisa uang yang dikirim pihak bank ke rekening Surya Mandala sejumlah Rp. 200.000.000,- (Dua Ratus Juta Rupiah) lagi dikembalikan Surya Mandala ke Pihak Desa melauli Kepala Desa dan Ketua TPK Desa, bukti pengembalian tersebut dibuat diatas Kwitansi sebagaimana terlampir;
Saat itu Pimpinan Bank Aceh yang menyarankan agar uang ditransfer ke Rekening Supplier adalah bernama RAJULI.
Bahwa setelah dugaan kasus korupsi bergulir di Unit Tipidkor Rekrim Polres Simeulue, Surya Mandala dipanggil secara lisan untuk dimintai keterangan sebagai saksi. Saat Surya Mandala diperiksa sebagai saksi ingin menunjukkan bukti faktur bon hutang Desa Kuala Makmur Rp. 200.000.000,- (Dua Ratus Juta Rupiah) dan kwitansi pengembalian kepada Penyidik yang memeriksa saat itu bernama Brigadir Pol. RISKI YULIANSYAH, menolak untuk ditunjukkan bukti tersebut.
Setelah baru sekali saya diperiksa sebagai saksi, pada tanggal 29 Maret 2019 Surya Mandala ditetapkan sebagai TERSANGKA. Lantas, Surya Mandalapun terkejut menerima Surat Penetapan Tersangka tersebut dan tembusan SPDP.
Setelah diperiksa sebagai Tersangka, Surya Mandala juga diperiksa sebagai Saksi, Kemudian diperiksa lagi sebagai Tersangka. Terakir pada tanggal 12 Juli 2021 saya dipanggil lagi sebagai Saksi yang langung DITANGKAP dan DITAHAN dan dikaitkan dengan kasus dugaan korupsi dana desa Kuala Makmur, hanya karena persoalan membantu pencairan uang tunai dikala Bank Aceh kesulitan mencairkan uang tunai dalam jumlah besar di akhir tahun.
Akhibat dari memberikan hutang kepada pihak desa, pemilik toko ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan sehingga menimbulkan kerugian moril dan materil yang berakibat kepada menurunnya penghasilan, rusaknya nama baik toko dan pribadi, serta banyak kerugian materil lainnya.[]