Nukilan.id – Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh telah mengajukan gugatan Perbuatan Melanggar Hukum (Onrechtmatige Oveheidsdaad) terhadap Komisi Informasi Aceh (KIA) pada 11 Oktober 2022 lalu.
Gugatan itu terdaftar pada Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Banda
Aceh dengan nomor perkara 27/G/TF/2022/PTUN.BNA.
“Upaya ini dilakukan karena KIA tak kunjung melaksanakan sidang penyelesaian Sengketa Informasi Publik yang diajukan oleh LBH Banda Aceh sejak tanggal 18 April 2022,” kata Kepala Operasional YLBHI-LBH Banda Aceh
Muhammad Qodrat, S.H., dalam konferensi pers di Kantor LBH Banda Aceh, Senin, (17/10/2022).
Menurutnya, informasi yang disengketakan sangat dibutuhkan dalam rangka mengadvokasi kasus yang tengah ditangani LBH Banda Aceh. Terhambatnya penyelesaian Sengketa Informasi Publik oleh KIA mengakibatkan proses advokasi yang sedang berjalan menjadi terkendala.
Dijelaskan, berdasarkan pasal 38 ayat (1) dan ayat (2) Undang – Undang Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP), Komisi Informasi harus mulai mengupayakan penyelesaian Sengketa Informasi Publik paling lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah menerima permohonan, dan menyelesaikannya paling lambat dalam waktu 100 (seratus) hari kerja.
“Namun sampai dengan batas waktu yang ditentukan, KIA tidak kunjung memulai proses penyelesaian Sengketa Informasi Publik yang diajukan LBH Banda Aceh selaku kuasa hukum para pemohon,” Imbuhnya.
Kemudian, atas alasan itu LBH Banda Aceh mengajukan gugatan terhadap KIA. Pengajuan gugatan ini telah sesuai dengan ketentuan Pasal 4 ayat (4) UU KIP yang memberikan hak kepada seluruh Pemohon Informasi Publik untuk mengajukan gugatan ke pengadilan apabila dalam memperoleh Informasi Publik mendapatkan hambatan atau kegagalan.
Sementara itu, Koordinator Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), Alfian, S.E mengatakan, pekerjaan di luar tugas komisioner sebagai faktor penghambat terhambatnya penyelesaian sengketa informasi publik oleh KIA diduga disebabkan Komisionernya yang sibuk dengan aktifitas di luar tugas dan fungsinya sebagai Komisioner.
“Dari hasil penelusuran yang kami lakukan, terdapat 2 orang Komisioner KIA yang memiliki kesibukan, jabatan, dan pekerjaan lain selain sebagai Komisioner KIA, yaitu Muslim Khadri selaku Komisioner Bidang Penyelesaian Sengketa Informasi, dan Muhammad Hamzah selaku Komisioner Bidang Edukasi, Sosialisasi dan Advokasi,” sebut Alfian.
Dari data yang diperoleh, Muslim Khadri saat ini menjabat sebagai Ketua Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Pidie Jaya, pengurus pada Persatuan Catur Seluruh Indonesia (Percasi), dan dosen dengan perjanjian kerja pada Program Studi Manajemen Universitas Islam Kebangsaan Indonesia (UNIKI).
Sementara Muhammad Hamzah tercatat sebagai Wakil Ketua Bidang Organisasi Persatuan Catur Seluruh Indonesia
(Percasi), Ketua Dewan Pembina Pengurus Daerah pada Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) Aceh, Direktur Pusat Gerakan dan Advokasi Rakyat (Pugar), serta dosen pada Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Ar-Raniry dan Universitas Iskandar Muda (UNIDA).
Hasil penelusuran di atas mengindikasikan Muslim Khadri dan Muhammad Hamzah telah melanggar ketentuan Pasal 30 ayat (1) huruf f UU KIP yang mensyaratkan anggota Komisi Informasi untuk melepaskan keanggotaan dan jabatannya dalam Badan Publik.
Menurut Pasal 1 angka 3 UU KIP, yang dimaksud dengan Badan Publik termasuk lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara, yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), atau organisasi non-pemerintah sepanjang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, sumbangan masyarakat, dan/atau luar negeri.
Oleh karena itu, selain menggugat KIA ke Pengadilan, dalam waktu dekat LBH Banda Aceh dan MaTA juga akan melaporkan dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh kedua orang Komisioner KIA tersebut.
“Kami juga mengingatkan kepada seluruh Komisioner KIA bahwa mereka telah
membuat surat pernyataan kesanggupan untuk bekerja penuh waktu pada saat
mendaftar sebagai Komisioner KIA,” tegas Alfian.
“Karena mereka digaji dengan uang rakyat, sehingga selayaknya lebih mementingkan kepentingan tugas daripada kepentingan pribadi dan hobi,” sambungnya.
Untuk itu, Alfian meminta kepada Penjabat (Pj) Gubernur Aceh, Achmad Marzuki dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) untuk segera mengevaluasi kinerja KIA.
“Besar dugaan, mandeknya proses penyelesaian sengketa informasi publik tidak hanya terjadi dalam kasus ini, tetapi terjadi juga pada banyak kasus-kasus lainnya,” pungkas Alfian. []