Sekolah Rakyat, Harapan Baru atau Sekadar Tambal Sulam?

Share

NUKILAN.id | Jakarta – Pemerintah tengah bersiap membuka Sekolah Rakyat, sebuah inisiatif pendidikan berkonsep boarding school yang diperuntukkan bagi anak-anak dari keluarga miskin dan miskin ekstrem. Sekolah ini dijadwalkan mulai beroperasi pada tahun ajaran 2025/2026 dengan fasilitas sepenuhnya gratis, mencakup biaya pendidikan, tempat tinggal, dan konsumsi.

Dengan konsep asrama dan kurikulum yang dirancang agar relevan dengan kebutuhan zaman, Sekolah Rakyat diharapkan menjadi solusi bagi anak-anak kurang mampu untuk mendapatkan akses pendidikan yang lebih baik. Harapannya, lulusan sekolah ini dapat bersaing di dunia kerja atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

Namun, gagasan ini menuai beragam tanggapan. Nukilan.id berbincang dengan Zidan Faizi, seorang aktivis sosialisme, yang mengapresiasi langkah pemerintah, tetapi juga mengkritisinya dari sudut pandang yang lebih luas.

“Sekolah Rakyat patut diapresiasi sebagai upaya mengurangi ketimpangan akses pendidikan,” kata Zidan kepada Nukilan.id pada Senin (31/3/2025).

Meski demikian, ia menilai program ini belum menyentuh akar permasalahan utama, yaitu ketimpangan struktural yang dihasilkan oleh sistem ekonomi saat ini.

“Pendidikan gratis dan asrama hanya mengatasi gejala, bukan penyebab,” lanjutnya.

Ia menjelaskan bahwa kemiskinan tidak berdiri sendiri, melainkan diproduksi oleh sistem ekonomi yang, menurutnya, mengeksploitasi kelas pekerja dan meminggirkan mereka dari ruang-ruang demokrasi.

“Selama kemiskinan diproduksi oleh formasi ekonomi yang mengeksploitasi pekerja, merampas tanah rakyat secara ugal-ugalan, dan meminggirkan kelas pekerja dalam demokrasi langsung di ruang kerja, program seperti ini hanya akan menjadi ‘tambal sulam’,” tegasnya.

Menurut Zidan, perbaikan sistem pendidikan harus dibarengi dengan reformasi yang lebih mendasar dalam pengelolaan sumber daya ekonomi. Tanpa itu, katanya, pendidikan gratis hanya akan menjadi alat untuk mempertahankan status quo.

“Pendidikan harus dibarengi dengan penghapusan hak kepemilikan privat atas sumber daya ekonomi (seperti tanah, industri, dan pendidikan) yang dikontrol segelintir elit,” paparnya.

Jika tidak ada perubahan dalam struktur kepemilikan ekonomi, ia khawatir Sekolah Rakyat hanya akan menjadi mekanisme baru untuk mencetak tenaga kerja murah.

“Tanpa itu, Sekolah Rakyat hanya akan menjadi ‘pabrik yang memproduksi pekerja murah’ yang akan selalu melanggengkan status quo,” pungkasnya.

Meski menuai kritik, program Sekolah Rakyat tetap menjadi langkah konkret pemerintah dalam membuka akses pendidikan bagi kelompok masyarakat kurang mampu. Namun, pertanyaan yang mengemuka adalah: apakah ini solusi jangka panjang atau sekadar tambal sulam dari permasalahan yang lebih besar? (XRQ)

Reporter: AKil

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

Read more

Local News