Sekda Aceh dan Dinamika Birokrasi

Share

NUKILAN.id | Opini – 19 Februari 2025, suasana Aula Serbaguna Kantor Gubernur Aceh dipenuhi cahaya. Lantai marmer berkilau, raut wajah para pejabat tampak sumringah. Di tengah ruangan, Wakil Gubernur Aceh, Fadhlullah, menyerahkan selembar Surat Keputusan (SK) penting kepada Alhudri. Dengan senyum lebar, mantan Kepala Dinas Sosial Aceh itu menerima mandat baru: Pelaksana Tugas (Plt) Sekretaris Daerah (Sekda) Aceh, menggantikan Diwarsyah.

Namun, seperti banyak kisah politik di negeri ini, kehangatan itu hanya seumur jagung.

Sehari berselang, badai kecil mulai bertiup. Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Zulfadhli — lebih dikenal sebagai Abang Samalanga — dengan lantang menyatakan bahwa SK Alhudri cacat hukum. Ia menunjuk absennya telaah staf dan paraf Kepala Badan Kepegawaian Aceh (BKA) sebagai lubang prosedural fatal.

Pernyataan Zulfadhli segera membelah opini publik. Pemerintah membalas. Juru Bicara Mualem-Dek Fadh, Kamaruzzaman alias Ampon Man, menegaskan bahwa tanda tangan gubernur sudah cukup untuk melegalkan keputusan tersebut. Asas presumption of legality — bahwa keputusan pejabat publik dianggap sah hingga dibatalkan pengadilan — menjadi tameng utama mereka.

Namun polemik tidak berhenti di tataran normatif. Faisal Jamaluddin, juru bicara tim relawan Mualem-Dek Fadh, mengungkapkan adanya ketergesaan dan kekeliruan administratif dalam penyusunan SK tersebut. Ini, menurutnya, berpotensi menjadi masalah di kemudian hari.

Di tengah silang pendapat itu, akademisi hukum dari Universitas Syiah Kuala, M Jafar, berpendapat lain. Ia menegaskan bahwa aspek administrasi, seperti paraf atau telaah staf, bukan syarat formil yang membatalkan keabsahan SK secara hukum.

Dengan begitu, perdebatan menjadi cermin betapa rapuhnya tatanan birokrasi kita: ketika tafsir hukum bisa lentur tergantung kepentingan.

Namun, panggung drama ini belum berakhir. Pada 17 Maret 2025, tanpa banyak seremoni, Alhudri digeser. Gubernur Aceh Muzakir Manaf alias Mualem menunjuk M Nasir Syamaun sebagai Plt Sekda baru. Alasan resmi? “Penyegaran birokrasi.”

Tentu, narasi ini terdengar manis. Namun bagi publik yang jeli, peristiwa ini lebih menyerupai koreksi halus terhadap ketegangan yang sempat mencuat. Apalagi, kehadiran Zulfadhli dalam pelantikan Nasir menjadi isyarat politik yang terlalu jelas untuk diabaikan.

Ada hubungan lama yang dikedepankan: Nasir, kata Kamaruzzaman, sudah mengenal Mualem lebih dari 15 tahun sejak aktif di KONI. Chemistry itu menjadi dalih sahih bagi “pemilihan pasangan” baru dalam rumah tangga pemerintahan. Analogi yang menarik — dan cukup jujur — bahwa dalam birokrasi, kedekatan personal kerap mengalahkan parameter objektif lainnya.

Kini, Nasir mengemban dua jabatan sekaligus: Kepala Dispora Aceh dan Plt Sekda Aceh. Sementara Alhudri kembali ke posisi Staf Ahli Gubernur.

Kisah pergantian Plt Sekda ini meninggalkan pelajaran penting. Pertama, lemahnya prosedur administrasi tetap menjadi penyakit lama birokrasi Aceh. Kedua, politik kedekatan personal — bukan meritokrasi — masih dominan dalam pengisian jabatan strategis.

Di tengah riuh politik yang kadang berbalut senyum diplomatis, rakyat Aceh tetap memendam satu harapan: tata kelola pemerintahan yang lebih solid, profesional, dan terbebas dari tarik-menarik kepentingan.

Apakah pergantian ini akan menjadi awal penyegaran birokrasi? Atau justru menandai babak baru dalam cerita lama: pergulatan kuasa yang berbalut kepentingan personal?

Jawabannya, seperti biasa, akan ditulis oleh waktu. Dan sejarah Aceh akan terus mengalir, kadang deras, kadang berliku — mengikuti irama politik yang dimainkan di atas panggung kekuasaan. (XRQ)

Penulis: Akil

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

Read more

Local News