NUKILAN.ID | BANDA ACEH – Kekerasan, diskriminasi, dan perundungan di lingkungan pendidikan Indonesia masih menjadi masalah serius. Beberapa kasus tragis kembali muncul dalam beberapa waktu terakhir. Misalnya, di Bekasi, seorang siswa sekolah dasar menjadi korban perundungan berat hingga harus diamputasi dan meninggal dunia. Di Sulawesi Selatan, seorang guru merendahkan siswanya karena pekerjaan orang tuanya sebagai petani. Sementara itu, di Tarakan, tiga siswa tidak naik kelas hanya karena menganut agama berbeda. Kasus-kasus ini menunjukkan bahwa perlindungan dan empati di lingkungan sekolah belum berjalan optimal.
Menanggapi persoalan tersebut, sekelompok mahasiswa PPL-PPG Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) Universitas Syiah Kuala (USK) meluncurkan program inovatif bernama SEKATA. Nama ini merupakan singkatan dari Sekolah Aman Tanpa Kekerasan dan Diskriminasi. Program ini adalah bagian dari mata kuliah Design Thinking dalam PPG Calon Guru Gelombang II Tahun 2024 di USK. Tujuannya adalah menciptakan lingkungan sekolah yang ramah, aman, serta bebas dari diskriminasi dan kekerasan.
SEKATA menekankan empat pilar utama. Pertama, pelatihan guru dan staf untuk mencegah kekerasan dan diskriminasi. Kedua, pengembangan kurikulum karakter yang menanamkan nilai toleransi dan empati. Ketiga, sistem pelaporan yang aman bagi siswa. Terakhir, komitmen bersama seluruh elemen sekolah untuk menciptakan suasana inklusif. Keempat pilar ini menjadi fondasi penting dalam membangun budaya sekolah yang sehat dan harmonis.
Ketua kelompok PPL-PPG Mapel PPKn USK, Munawir, S.Pd, menegaskan, “SEKATA bukan sekadar program, melainkan gerakan transformasi budaya sekolah yang mengedepankan hak-hak anak dan keberagaman sebagai kekuatan, bukan penghalang.” Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa SEKATA diharapkan menjadi pijakan bagi guru, tenaga kependidikan, dan seluruh pemangku kepentingan di sekolah. Tujuannya adalah menciptakan ruang belajar yang nyaman dan aman bagi semua siswa, tanpa diskriminasi.
Indah Nur Fernanda, S.Pd, menambahkan, “Senada dengan apa yang disampaikan ketua kami, Bang Awil. SEKATA menjadi wadah konkret untuk membangun kesadaran kolektif. Kami percaya perubahan besar dimulai dari sikap kecil yang menghargai perbedaan dan menolak segala bentuk kekerasan.” Pernyataan ini menggarisbawahi pentingnya partisipasi aktif seluruh komunitas sekolah dalam program ini.
Anggota lain seperti Warni Sasmita, S.Pd, Supira, S.Pd, dan Satria Hastuti, S.Pd, menyampaikan harapan besar. Mereka ingin agar komitmen yang tertanam dalam program SEKATA dapat tersampaikan ke seluruh guru hebat di Indonesia. Dengan begitu, semangat untuk menciptakan sekolah yang ramah dan inklusif bisa tersebar lebih luas.
Program SEKATA tidak hanya fokus pada perlindungan siswa. Melalui pelatihan intensif, penguatan kurikulum karakter, dan sistem pelaporan yang aman, program ini juga menanamkan nilai penting seperti saling menghargai dan solidaritas. Lebih dari itu, SEKATA mengedepankan kolaborasi antara guru, tenaga kependidikan, siswa, dan orang tua. Pendekatan ini diharapkan mampu mengubah budaya sekolah menjadi lebih inklusif dan penuh empati.
Dengan segala upaya tersebut, SEKATA diharapkan menjadi inspirasi bagi sekolah-sekolah lain di Indonesia. Harapannya, langkah serupa dapat diadopsi demi mewujudkan pendidikan yang tidak hanya berkualitas secara akademis, tetapi juga sehat secara sosial dan emosional. Program ini membawa harapan bahwa setiap siswa dapat belajar di lingkungan yang aman, nyaman, dan bebas dari diskriminasi serta kekerasan.