Sejarah Transmigrasi Jawa di Aceh Tengah: Perjalanan, Faktor, dan Perjuangan Hidup

Share

NUKILAN.id | Takengon – Kecamatan Jagong Jeget di Kabupaten Aceh Tengah memiliki komposisi penduduk yang unik. Berbeda dengan wilayah lain di sekitarnya yang didominasi oleh masyarakat Gayo dan Aceh, mayoritas warga di kecamatan ini berasal dari Jawa. Keberadaan mereka merupakan hasil dari program transmigrasi yang dilaksanakan pemerintah pada Maret 1982. Program ini bertujuan untuk mengatasi kepadatan penduduk di Jawa dan membuka peluang ekonomi baru di daerah lain di Indonesia.

Transmigrasi adalah kebijakan pemerintah yang bertujuan untuk pemerataan penduduk dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Sejak era Orde Baru, transmigrasi tidak hanya berfungsi untuk mengurangi kepadatan di Jawa, tetapi juga untuk meningkatkan produksi pertanian, memperluas lahan garapan, serta memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa melalui interaksi budaya di daerah tujuan.

Nukilan.id mengutip skripsi yang ditulis oleh Trianda Yuriska berjudul Sejarah Transmigrasi Jawa di Kecamatan Jagong Jeget. Dalam skripsi tersebut, Trianda Yuriska menjelaskan bahwa program transmigrasi di Kecamatan Jagong Jeget membawa banyak keluarga dari berbagai daerah di Jawa, seperti Cilacap, Banjarnegara, Yogyakarta, dan Magelang. Para transmigran datang dengan harapan memperoleh kehidupan yang lebih baik, meskipun harus menghadapi berbagai tantangan di tanah baru.

Sebagian besar transmigran memilih untuk berpindah karena faktor ekonomi yang sulit di kampung halaman. Hal ini disampaikan oleh beberapa warga yang menjadi saksi sejarah perjalanan mereka.

Sarwi, seorang transmigran asal Magelang yang termasuk dalam golongan kelima, berbagi kisahnya tentang alasan di balik keputusannya untuk pindah.

“Yang jelas rata-rata kan orang transmigrasi ini kan orang yang bermasalah seperti masalah ekonomi dan masalah lainnya, tapi kebanyakan masalah ekonomi begitu,” ujarnya. Ia menambahkan bahwa sejak usia 14 tahun ia sudah berkeluarga dan memiliki seorang anak, sehingga keputusannya untuk berpindah adalah demi mengubah nasib.

Senada dengan Sarwi, Hikmah, yang datang sebagai bagian dari kelompok pertama, juga merasakan tekanan ekonomi yang berat di kampung halamannya. Sebagai anak pertama dari sembilan bersaudara, ia harus menjadi tulang punggung keluarga.

“Gak miskin lagi namun udah fakir,” katanya menggambarkan kesulitan hidupnya. Ia hanya sempat mengenyam pendidikan hingga kelas 3 SD karena harus mencari nafkah untuk membantu keluarga.

“Sulitnya ekonomi, jangankan untuk makan besok, untuk nanti siang aja udah bingung mau makan apa,” ungkapnya.

Sementara itu, Poniran, seorang transmigran dari kelompok ketiga, mengungkapkan faktor lain di balik kepindahannya. Selain kesulitan ekonomi, ia menyebut bahwa banyak kejadian pencurian yang membuatnya malu.

“Banyak terjadi pencurian dan membuat malu dalam keluarga karena harus mencuri untuk memenuhi kebutuhan hidup,” katanya. Selain itu, ada pula faktor budaya yang ia sebut sebagai “Wirang”, yaitu ketika seorang suami lebih tertarik pada istri tetangganya dibandingkan istrinya sendiri.

Dari berbagai kisah ini, dapat disimpulkan bahwa faktor utama yang mendorong transmigrasi ke Kecamatan Jagong Jeget meliputi kesulitan ekonomi, tekanan sosial akibat pencurian, dan permasalahan budaya yang membuat kehidupan mereka di Jawa semakin berat.

Proses transmigrasi ini bukanlah perjalanan yang mudah. Para transmigran harus menempuh perjalanan jauh dari Jawa ke Aceh, yang dilakukan dalam beberapa tahap transportasi.

Menurut Sarwi, ia dan kelompoknya diberangkatkan dari Jawa menggunakan pesawat ke Banda Aceh.

“Dari Jawa sampai Banda Aceh kami diangkut pakai pesawat, dari Banda Aceh sampai Takengon kami menggunakan bus besar,” ungkapnya. Sesampainya di Takengon, mereka mendapat sambutan langsung dari Bupati Aceh Tengah, sebuah pengalaman yang memberinya harapan baru di tanah rantau.

Sarwi menjelaskan bahwa terdapat beberapa golongan transmigran di Kecamatan Jagong Jeget. Golongan pertama berasal dari Cilacap, golongan kedua dari Banjarnegara, golongan ketiga dari Daerah Istimewa Yogyakarta, sedangkan golongan keempat dan kelima terdiri dari berbagai daerah, seperti Magelang dan sekitarnya.

Golongan kelima tiba di Jagong Jeget dengan 51 Kepala Keluarga (KK). Setibanya di sana, mereka menerima jatah hidup (Jadup) selama satu tahun dari pemerintah, yang kemudian diperpanjang setengah tahun pada tahap kedua. Pemerintah berkomitmen menanggung kebutuhan mereka hingga mampu mandiri dalam bertani dan ekonomi.

Perjalanan mereka lancar hingga memasuki jalur Kampung Isaq (kini Kecamatan Linge) menuju Jagong Jeget, yang saat itu masih sulit dilalui. Sarwi mengenang kedatangannya hanya dengan pakaian di badan dan selembar kain untuk menggendong anaknya, sementara barang-barang mereka tertahan akibat akses yang buruk.

“Pertama tiba memang sudah ada rumah yang disediakan, namun belum bisa dikatakan itu sebuah desa karena keadaan masih hutan. Jangankan jalan, untuk menuju rumah saja harus merayap melewati kayu-kayu besar yang baru ditebang,” ujar Sarwi.

Meskipun rumah telah disediakan, hunian itu masih kosong, hanya beralaskan papan tanpa kasur atau selimut. Para transmigran harus bertahan selama hampir dua bulan sebelum akhirnya barang-barang mereka tiba. Pemerintah juga memberikan berbagai kebutuhan, termasuk alat pertanian seperti cangkul dan parang, serta benih tanaman untuk membuka lahan.

Namun, tantangan terbesar adalah akses pemasaran hasil pertanian. Jalan yang rusak parah membuat para transmigran harus berjalan kaki dari Jagong Jeget menuju Takengon, ibu kota Kabupaten Aceh Tengah, untuk menjual hasil panen mereka. Perjuangan ini menunjukkan betapa beratnya kehidupan awal para transmigran di tempat baru.

Hikmah, seorang transmigran dari golongan pertama, mengisahkan pengalamannya. Ia dan keluarganya tiba di Jagong Jeget pada 28 Februari 1982 bersama 52 KK lainnya.

“Saya berjiwa dagang, jadi gimana pun saya harus dapat duit,” katanya. Bahkan, ia pernah berjalan kaki ke Isaq (Kecamatan Linge) hanya untuk mengambil jatah hidup yang diberikan pemerintah.

Proses transmigrasi ini ditawarkan oleh pemerintah daerah asal mereka, tanpa adanya unsur paksaan. Bahkan, beberapa warga yang tergolong berada secara ekonomi juga ikut dalam program ini. Mereka diberangkatkan menggunakan pesawat Garuda dari Jawa ke Medan, kemudian melanjutkan perjalanan ke Aceh dengan bus besar.

Poniran, seorang transmigran asal Yogyakarta, tiba di Jagong Jeget pada 28 Maret 1982. Ia ditunjuk sebagai kepala kelompok untuk golongan ke-3 yang terdiri dari 39 KK.

“Saya pakai truk di depan, alat berat di belakang, ada juga bus yang bawa orang serta bus yang mengangkut barang,” kenangnya.

Menurut Poniran, program transmigrasi ini diusulkan oleh Kanwil Transmigrasi Yogyakarta. Namun, karena rumah-rumah di lokasi tujuan belum siap, keberangkatan mereka sempat tertunda selama dua bulan. Mereka sempat menginap selama 12 hari di Jakarta, satu hari satu malam di Banda Aceh, serta satu hari di Takengon sebelum akhirnya diberangkatkan ke Jagong Jeget.

“Sampai di Jakarta, ada embel-embel bahwa barang siapa yang mengikuti transmigrasi maka ia menjalankan program nasional,” ujarnya.

Meski menjabat sebagai kepala kelompok, Poniran tidak mendapat perlakuan istimewa. Rumah dan jatah hidupnya sama dengan transmigran lainnya. Sebelumnya, ia bekerja sebagai tukang kayu di Yogyakarta.

Warga transmigran yang datang dari Jawa sebagian besar belum mengenal tata cara menanam kopi, komoditas utama di Jagong Jeget. Namun, mereka mendapat pelatihan dan benih dari pemerintah, termasuk bibit jagung dan kopi. Selama enam bulan pertama, mereka belum bisa bercocok tanam karena tanah masih asam. Baru pada bulan ke-7 dan ke-8 mereka mulai membuka lahan. Setelah delapan bulan, tanah yang sudah subur mulai ditanami, menandai awal kehidupan yang lebih baik bagi para transmigran di Jagong Jeget. (xrq)

Reporter: Akil

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

Read more

Local News