Sejarah Taman Ghairah, Simbol Kejayaan Kesultanan Aceh Darussalam

Share

Nukilan.id – Kebesaran Kesultanan Aceh Darussalam terjadi ketika dibawah pemerintah raja agungnya Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Dirinya menjadikan Aceh sebagai kerajaan yang terkuat di Asia Tenggara.

Pada paruh abad ke 17, Kesultanan Aceh mengalami perkembangan budaya yang begitu pesat, terutama Istana Dalam Sultan atau Istana Darud Dunia yang dijadikan sebagai pusat perayaan dan segala kebudayaan.

Menurut Beuliue, antropolog berkebangsaan Prancis yang pernah singgah di Kesultanan Aceh pada tahun 1621 mengatakan bahwa Istana Aceh yang luasnya dua kilometer persegi ini mampu menampung 300 ekor gajah perang.

Kelilingnya lebih dari setengah mil (sekitar 2 km), bentuknya hampir bulat bujur, dan sekelilingnya ada parit yang dalamnya sampai 30 kaki (10 m) dan sama lebarnya, agak sukar dilalui karena terjal dan penuh semak.

Tanah galiannya dibuang ke arah istana sehingga menyerupai tembok yang diatasnya ditanami bambu, buluh besar yang tumbuh setinggi pohon frene (sejenis pohon akasia), lebat dan tebalnya warna hijau yang tak pernah bisa dimakan api.

Selain dari kemegahan dan kemewahan istana Kesultanan Aceh, kita juga bisa melihat keindahan dari taman sultan Aceh atau Taman Ghairah. Pembuatan taman sudah menjadi kebiasaan dari dunia Melayu, seperti penguasa di Malaka.

Taman Ghairah yang kini lebih dikenal dengan nama Taman Sari Gunongan dan Taman Putroe Phang dibangun oleh Sultan Iskandar Muda untuk permaisurinya yang berasal dari Pahang, bernama Putri Kamilah atau bergelar Putroe Phang.

Setelah sekian lama berpisah dengan kampung halamannya, sang permaisuri mulai merindukan daerah Pahang. Daerah Pahang ketika itu digambarkan sebagai wilayah perbukitan dengan udara yang sejuk.

Karena itulah, sultan membangun taman tersebut lengkap dengan bangunan bernama Gunongan di dalamnya. Gunongan ini dibangun oleh sultan untuk memenuhi permintaan permaisuri yang senang dengan gunung–gunung di Malaka.

Menurut kisah, Putroe Phang sehari-hari sering bermain bersama dayang-dayangnya di sini. Sang putri biasa memanjat Gunongan seperti yang dilakukannya di perbukitannya di kampung halamannya, Pahang.

Keindahan Taman Ghairah

Taman Ghairah terletak di sebelah utara istana, taman ini mempunyai pintu (gapura) yang dibuat dari batu, yang sekarang dinamai Pinto Khop, di seberangnya terletak sawah yang dinamai Radja Umong.

Sementara itu di sebelah timur terdapat masjid yang dinamai Masjid Baiturrahim, sedangkan dahulunya Gunongan ini terletak di tengah-tengah sebuah taman yang indah. Gunongan menjadi salah satu peninggalan Kesultanan Aceh yang tidak dirusak oleh Belanda.

Dalam kitab Bustanussalatin disebut luas taman kira-kira 1000 depa, di dalamnya terdapat bunga-bunga dan buah-buahan beraneka rupa serta mengalir sebuah kolam ikan, taman terbentang di sebelah selatan bangunan-bangunan istana.

Sungai merupakan poros taman yang menjadi jalan masuk dari ujung tembok paling selatan. Di antara dua hutan kecil, palungnya beralaskan batu, tepi-tepinya berubin warna-warni. Sedangkan undak-undaknya dari batu hitam yang diberi pinggiran kuningan.

“Hal ini memungkinkan orang-orang untuk turun mandi ke dalam sungai,” jelas Rina Rahma dalam skripsi berjudul Eksistensi Taman Ghairah (Tinjauan Historis Kitab Bustanussalatin) Secara Tekstual dan Kontekstual.

Menurut Rahma, di sebelah timur ada karang besar bersudut delapan. Biasanya, jelasnya di atas karang itu, sultan suka mengail keteduhan pohon rindang yang seakan-akan merupakan payung alamiah.

Di dalam taman ini juga ada kolam, tempat pemeliharaan segala macam ikan, ada dinding karang yang diiringi oleh semacam pohon liangliu (pohon laba-laba). Ada sebuah kolam lagi yang penuh dengan bunga Seroja dan di tengah-tengahnya ada sebuah taman.

Sekitar taman ini mengalir sebuah sungai yang dikenal dengan nama Sungai Darul Isyki (Krueng Daroy). Di sekitar taman ini juga terdapat sebuah bangunan yang bernama Pinto Khop yaitu pintu keluar dari arah belakang istana.

Pada masa Sultanah Safiatuddin (1641-1675) di dekat Gunongan didirikan sebuah bangunan yang bernama Kandang Gunongan. Setelah selesai dibangun bangunan ini sangat indah, berukir-ukir dan banyak bagiannya dilapisi dengan emas.

Bangunan ini dipakai sebagai tempat makam suaminya Sultan Iskandar Thani yang pernah menjadi Sultan Aceh sejak tahun 1636-1641. Diketahui Sultanah Safiatuddin sangat mencintai suaminya, sehingga dibangunlah bangunan megah itu.

Hilangnya memori tentang Taman Ghairah

Ketika pasukan Belanda menyerang Koetaradja (Banda Aceh), sebagian besar kompleks istana hancur. Berbagai peninggalan sejarah kejayaan Kesultanan Aceh pun rusak akibat serangan tersebut.

Kemewahan Taman Ghairah yang pernah digambarkan dalam kitab Bustanussalatin, kini hanya tersisa beberapa bangunan saja di antaranya Gunongan, Pinto Khop, Paterena Sangga, Kandang Sultan dan Sungai Krueng Daroy.

Menurut Rahma, pada konteks masa kini tentu saja kondisinya sangat berbeda seperti yang pernah diuraikan dalam kitab Bustanussalattin pada abad ke 17 an. Disebutnya, hari ini Taman Ghairah tidak lagi berada dalam satu kawasan.

Hal ini bisa dilihat dari fungsi taman hingga penataan komponen-komponen taman. Letak bangunan Gunongan dan Pinto Khop tidak menyatu dalam satu taman. Gunongan terletak di dalam kawasan yang sekarang dinamakan Taman Sari Gunongan.

Sedangkan kawasan Pinto Khop kini telah dipugar dan diberi nama Taman Putroe Phang, untuk mengenang seorang permaisuri yang berasal dari Pahang. Pengelolaan Taman Gunongan sedikit lebih bagus dibandingkan pengelolaan Taman Putroe Phang.

Secara kontekstual, disebut oleh Rahma, terlihat Taman Ghairah merupakan peninggalan yang sangat besar. Sehingga kini menyisakan dua taman yang terkenal yaitu Taman Putroe Phang dan Taman Sari Gunongan.

Menurutnya Pemerintah Aceh juga salah menyebut Taman Sari sebagai Taman Ghairah. Padahal jelasnya, Taman Sari adalah bagian dari istana yang pernah dikuasai Belanda. Taman ini dibangun oleh Belanda untuk tempat bermain anak-anaknya.

Sedangkan Taman Ghairah dahulunya terdapat di bagian arah belakang Istana Dalam Sultan dengan pintu masuknya melalui Pinto Khop yang khusus dibangun untuk anggota keluarga kerajaan.

Taman Ghairah kini pun kehilangan fungsinya seperti masa lalu. Taman ini berfungsi sebagai tempat bermainnya para permaisuri dan juga anggota keluarga kerajaan, namun saat masa kolonial ini diubah Belanda menjadi pos militer.

Karena itu dirinya mendorong agar Pemerintah Aceh mengembalikan fungsi taman tersebut seperti dahulu pada zaman kesultanan. Dengan begitu, katanya, masyarakat Aceh tidak akan lupa sejarah bangsanya. [GNFI]

 

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

Read more

Local News