NUKILAN.id | Banda Aceh – Setiap 10 Mei, dunia memperingati Hari Lupus Sedunia (World Lupus Day). Peringatan ini tidak sekadar simbolik. Ia menjadi seruan global untuk menyadarkan masyarakat terhadap lupus—penyakit autoimun kronis yang hingga kini masih menjadi teka-teki medis dan menyita perhatian komunitas ilmiah.
Dikutip Nukilan.id dari data World Lupus Federation (2023), jutaan orang di dunia hidup dengan lupus. Banyak dari mereka yang menjalani tahun-tahun pertama dengan diagnosa keliru, atau bahkan tidak tahu bahwa tubuh mereka sedang diserang oleh sistem imun mereka sendiri.
Apa Itu Lupus?
Lupus, atau lebih tepatnya Systemic Lupus Erythematosus (SLE), adalah penyakit autoimun yang menyebabkan sistem kekebalan tubuh menyerang jaringan sehat, bukan virus atau bakteri asing. Serangan ini memicu peradangan di berbagai organ, mulai dari kulit, sendi, ginjal, hingga otak (Tsokos, 2011).
Penyakit ini tidak mudah dikenali. Gejalanya bisa menyerupai banyak kondisi lain, dari kelelahan biasa hingga nyeri sendi. Karena sifatnya yang sangat bervariasi, lupus dijuluki sebagai penyakit seribu wajah.
Gejala yang Tak Selalu Disadari
Beberapa gejala lupus yang umum antara lain ruam malar berbentuk kupu-kupu di wajah, artritis simetris, fotosensitivitas, kerusakan ginjal, dan kelelahan ekstrem. Data menunjukkan bahwa 40–60 persen pasien mengalami nefritis lupus (Bertsias et al., 2012), dan lebih dari 90 persen mengeluhkan kelelahan yang mengganggu aktivitas harian (Strand et al., 2019).
Namun, banyak pasien baru mendapatkan diagnosis setelah organ vital mereka sudah terdampak. Global Lupus Trust (2023) mencatat, separuh pasien mengalami kerusakan organ permanen akibat keterlambatan diagnosis.
“Deteksi dini sangat krusial,” tulis American College of Rheumatology (ACR) dalam panduan klinisnya tahun 2020. Pemeriksaan antibodi antinuklear (ANA) dan anti-dsDNA disebut sebagai standar diagnosis lupus.
Dari Genetika hingga Sinar Matahari
Penyebab lupus tidak tunggal. Peneliti menyebut adanya campur tangan faktor genetik, lingkungan, hormon, hingga obat-obatan.
Risiko lupus meningkat hingga sepuluh kali lipat jika seseorang memiliki kerabat tingkat pertama yang juga mengidap penyakit ini (Harley et al., 2008). Variasi genetik seperti HLA-DR2 dan DR3 serta defisiensi protein komplemen (C1q, C4) juga berkaitan erat dengan penyakit ini (Tsokos, 2011).
Sementara dari sisi lingkungan, paparan sinar ultraviolet (UV) dan infeksi virus—terutama Epstein-Barr Virus (EBV)—dapat memicu reaksi autoimun (Rahman & Isenberg, 2008; James et al., 2006).
Menariknya, lupus jauh lebih banyak menyerang perempuan. Perbandingannya mencapai 9:1 dibanding pria. Ini membuat ilmuwan meyakini peran besar hormon estrogen dalam patogenesis lupus (Archer & Chao, 2022).
Beberapa jenis obat seperti procainamide, hidralazin, dan terapi anti-TNFα juga dilaporkan dapat memicu drug-induced lupus, sebuah bentuk lupus yang disebabkan oleh reaksi obat (Rubin, 2020).
Perjuangan yang Belum Usai
Meski belum ada obat yang benar-benar menyembuhkan lupus, berbagai terapi penunjang terus dikembangkan. Salah satunya adalah belimumab, obat biologis yang menargetkan sel B—salah satu komponen sistem imun yang berperan dalam lupus.
Organisasi seperti Lupus Foundation of America dan World Lupus Federation aktif mendorong pendekatan personalized medicine untuk menangani penyakit ini secara lebih spesifik sesuai profil imunologi pasien (Fanouriakis et al., 2021).
Peringatan Hari Lupus Sedunia bukan hanya peristiwa seremonial. Ia adalah pengingat bahwa di balik data statistik dan istilah ilmiah, terdapat jutaan wajah manusia yang sedang berjuang—dalam senyap—melawan penyakit yang tak mudah dikenali ini. (XRQ)
Reporter: Akil