Sejarah Hari Kebebasan Pers Sedunia dan Perjuangan Jurnalisme Global

Share

NUKILAN.id | Banda Aceh – Setiap tanggal 3 Mei, dunia memperingati Hari Kebebasan Pers Sedunia (World Press Freedom Day), sebagai bentuk penghormatan terhadap nilai-nilai kebebasan berekspresi dan independensi media. Namun, tak banyak yang tahu bahwa penetapan hari ini memiliki akar sejarah yang kuat di benua Afrika, tepatnya di Windhoek, Namibia, pada awal 1990-an.

Dari Windhoek untuk Dunia

Mengutip laman resmi UNESCO, Nukilan.id menemukan fakta terkait penetapan 3 Mei sebagai Hari Kebebasan Pers Sedunia. Hal ini bermula dari Deklarasi Windhoek yang disahkan pada 3 Mei 1991. Deklarasi ini lahir dari sebuah pertemuan penting para jurnalis Afrika di ibu kota Namibia.

Dalam pertemuan tersebut, mereka menyerukan pentingnya media yang bebas, independen, dan pluralistik, sebagai syarat mutlak bagi demokrasi dan pembangunan berkelanjutan.

“Kebebasan pers adalah bagian dari hak asasi manusia,” tegas para jurnalis dalam deklarasi yang kini menjadi tonggak sejarah bagi kebebasan media dunia.

Dua tahun kemudian, pada 1993, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) secara resmi menetapkan 3 Mei sebagai Hari Kebebasan Pers Sedunia, berdasarkan rekomendasi dari Konferensi Umum UNESCO tahun 1991.

Sejak saat itu, tanggal ini diperingati secara global sebagai momentum refleksi atas kondisi kebebasan pers dan tantangan yang dihadapi para jurnalis.

Tujuan dan Pesan Peringatan

Menurut UNESCO, Hari Kebebasan Pers Sedunia bukan hanya peringatan seremonial, melainkan juga momen penting untuk:

  • Mendorong kebebasan pers sebagai pilar demokrasi dan hak asasi manusia;

  • Melindungi media dari berbagai bentuk ancaman, intimidasi, sensor, hingga kekerasan;

  • Mengenang para jurnalis yang gugur atau dikriminalisasi karena keberaniannya menyampaikan kebenaran.

Tiap tahun, UNESCO menetapkan tema khusus untuk menyoroti isu kebebasan pers dalam konteks kekinian. Pada 2024, temanya adalah “A Press for the Planet: Journalism in the Face of the Environmental Crisis”, yang mengangkat peran media dalam krisis iklim.

Sementara pada 2025, tema yang diangkat adalah “Reporting in the Brave New World: The Impact of Artificial Intelligence on Press Freedom and the Media”, menyoroti bagaimana teknologi kecerdasan buatan (AI) memengaruhi kebebasan media dan masa depan jurnalisme.

Kondisi Global: Antara Harapan dan Ancaman

Meski telah diakui sebagai hak fundamental, kebebasan pers masih menghadapi tantangan serius di berbagai belahan dunia. Mengutip laporan tahunan Reporter Without Borders (RSF) tahun 2023 mengungkap hanya 31 persen negara yang memiliki iklim kebebasan pers yang “baik” atau “cukup baik”.

Di banyak negara, jurnalis masih dibungkam lewat sensor, kriminalisasi, hingga kekerasan. Ada yang dipenjara karena mengungkap korupsi, dan ada pula yang kehilangan nyawa saat meliput konflik atau pelanggaran hak asasi manusia.

Refleksi untuk Indonesia dan Dunia

Peringatan 3 Mei menjadi alarm penting, termasuk bagi Indonesia. Meski pers nasional dinilai relatif bebas pasca-Reformasi, berbagai tantangan tetap membayangi. Ancaman kekerasan terhadap jurnalis, UU yang multitafsir, hingga tekanan ekonomi terhadap media independen adalah persoalan yang tak boleh dikesampingkan.

Seperti ditegaskan UNESCO, “Pers yang bebas dan independen adalah fondasi demokrasi.” Tanpa jurnalisme yang merdeka, publik kehilangan akses terhadap informasi yang kredibel, dan masyarakat kehilangan kemampuan untuk berpikir kritis. (XRQ)

Reporter: Akil

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

Read more

Local News