NUKILAN.ID | OPINI — Keberangkatan Bupati Aceh Selatan, Mirwan MS, ke Tanah Suci untuk menunaikan ibadah umrah di tengah kabupaten yang masih berjibaku dengan bencana banjir adalah sebuah ironi politik yang sulit ditelan. Ketika warga masih berkutat dengan lumpur, akses jalan terputus, logistik terbatas, dan peringatan cuaca ekstrem dari BMKG belum reda, sang kepala daerah justru berada ribuan kilometer dari tanah yang ia pimpin. Bukan soal ibadahnya—itu urusan personal setiap manusia dengan Tuhannya—melainkan soal pilihan waktu, sense of crisis, dan etika jabatan.
Situasi ini kian mengemuka setelah Gubernur Aceh, Muzakir Manaf (Mualem), secara terbuka menyatakan bahwa dirinya tidak pernah memberikan izin kepada Bupati Aceh Selatan untuk melakukan perjalanan ke luar negeri. Padahal, secara prosedural, seorang bupati atau wakil bupati wajib mengajukan permohonan izin kepada Dirjen Otonomi Daerah melalui gubernur. Gubernur berperan meneruskan permohonan tersebut ke pemerintah pusat. Mekanisme ini adalah standar baku yang menempatkan gubernur sebagai simpul administratif antara kepala daerah kabupaten/kota dan pemerintah pusat dalam setiap pengajuan perjalanan dinas luar negeri.
Persoalan yang melibatkan Bupati Mirwan ini semakin terang setelah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) memastikan bahwa beliau melakukan perjalanan ke luar negeri tanpa izin resmi dari Menteri Dalam Negeri. Padahal aturan mengenai perjalanan luar negeri bagi kepala daerah telah diatur secara ketat dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Pasal 76 ayat (1) huruf i secara eksplisit melarang kepala daerah maupun wakil kepala daerah melakukan perjalanan ke luar negeri tanpa persetujuan Mendagri. Sementara itu, Pasal 77 mengatur jenis sanksi yang dapat dijatuhkan—mulai dari teguran tertulis, pemberhentian sementara, hingga pemberhentian tetap. Rangkaian sanksi ini menunjukkan bahwa pembuat kebijakan memandang pelanggaran tersebut sebagai masalah serius yang tidak dapat disepelekan.
Dalam keadaan biasa, keharusan mengantongi izin luar negeri adalah bagian dari disiplin administratif. Namun dalam keadaan darurat, ketika Aceh Selatan tengah berada dalam masa emergency response dan bahkan diberi status tanggap darurat oleh pemerintah provinsi hingga 11 Desember 2025, kehadiran pemimpin menjadi elemen yang tak tergantikan. Apalagi, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) masih mengingatkan adanya potensi cuaca ekstrem pascabencana banjir 26 November. Dalam situasi yang serba tidak pasti seperti itu, absennya seorang bupati meninggalkan pertanyaan publik yang wajar: siapa yang sedang memastikan bahwa proses penanganan berjalan optimal?
Kepemimpinan bukan hanya soal mengeluarkan instruksi, tetapi hadir pada momen yang paling sulit. Ada nilai simbolik yang sangat kuat ketika seorang kepala daerah turun ke lapangan saat warganya tertimpa musibah. Kehadiran seorang pemimpin, menyaksikan langsung kondisi masyarakat, berinteraksi dengan pengungsi, dan memonitor pergerakan bantuan, dapat mempercepat respons dan memperkuat rasa aman publik. Ketidakhadiran dalam waktu-waktu krusial bisa menimbulkan kesan bahwa dinamika krisis tidak dibaca dengan cukup cermat.
Di tengah kontroversi ini, langkah Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Gerindra yang mencopot Mirwan dari jabatan Ketua DPD Gerindra Aceh Selatan menjadi penanda penting. Ini menunjukkan bahwa partai politik, dalam kapasitasnya sebagai institusi penjaga disiplin kader, merespons secara serius tindakan yang dinilai tidak sejalan dengan tanggung jawab seorang pejabat publik. Di banyak kasus politik daerah, langkah tegas seperti ini jarang terjadi, sehingga keputusan DPP Gerindra patut dibaca sebagai wujud komitmen memperbaiki standar perilaku politik kadernya. Mandat yang diberikan masyarakat Aceh Selatan dalam Pilkada 2024 adalah amanah besar; jika seorang pejabat dianggap mengabaikan momentum penting di mana kepemimpinannya dibutuhkan, respons korektif dari partai menjadi bagian dari mekanisme akuntabilitas politik.
Namun koreksi politik saja tidak cukup. Dari perspektif tata kelola pemerintahan, Kementerian Dalam Negeri memiliki tanggung jawab administratif untuk menegakkan aturan. Mekanisme izin perjalanan luar negeri bukan formalitas, melainkan pagar aturan agar fungsi pemerintahan daerah tetap berjalan konsisten. Pelanggaran terhadap aturan ini, terutama dalam kondisi darurat bencana, dapat menciptakan preseden buruk. Jika seorang kepala daerah dapat bepergian tanpa izin dan tanpa konsekuensi, bagaimana mungkin pemerintah berharap ASN di tingkat bawah mematuhi aturan kedisiplinan? Perilaku birokrasi dibentuk oleh keteladanan, dan keteladanan tertinggi seharusnya datang dari kepala daerah.
Dalam dinamika krisis ini, permintaan maaf terbuka dari Bupati Aceh Selatan menjadi hal yang wajar diharapkan. Permintaan maaf bukan bentuk kelemahan, tetapi ekspresi tanggung jawab moral atas setiap keputusan yang berdampak luas. Publik Aceh Selatan—dan bahkan Indonesia—patut mendapatkan klarifikasi serta sikap resmi berupa pengakuan atas keputusan yang diambil dan komitmen memperbaiki ke depan. Akuntabilitas tidak hanya lahir dari sanksi hukum atau teguran administratif, melainkan juga dari kemampuan seorang pejabat publik untuk mengakui kekeliruan secara terbuka.
Selain itu, peran DPRK Aceh Selatan menjadi sangat strategis. Sebagai lembaga pengawas pemerintah daerah, legislatif memiliki wewenang dan kewajiban untuk meminta penjelasan resmi mengenai urgensi keberangkatan umrah tersebut. Pemanggilan ini bukan untuk mempermalukan atau menciptakan konflik politik, tetapi untuk memperjelas fakta, meluruskan informasi, dan memastikan bahwa pemerintahan daerah tetap berjalan sesuai prinsip akuntabilitas. Transparansi diperlukan agar publik dapat melihat secara jelas bagaimana sebuah keputusan diambil, dan apa pertimbangan yang menyertainya, terutama ketika keputusan tersebut diambil dalam masa darurat bencana.
Kasus ini sebenarnya membuka ruang refleksi yang lebih luas. Ia memperlihatkan bahwa jabatan kepala daerah bukan hanya posisi administratif, melainkan ruang kepemimpinan yang menuntut empati mendalam terhadap rakyat. Dalam konteks bencana, pemimpin diuji bukan hanya dengan kemampuan mengelola anggaran atau merancang kebijakan, tetapi dengan kemampuan membaca situasi, mempertimbangkan prioritas, dan menempatkan dirinya dalam posisi yang memberikan rasa aman kepada publik. Bencana adalah momentum ketika rakyat merasakan kebutuhan akan figur pemimpin yang hadir, mendengar, dan bertindak.
Pada akhirnya, polemik keberangkatan umrah ini adalah potret bagaimana etika jabatan publik diuji. Ia mengingatkan kita bahwa seorang pemimpin dipilih bukan hanya untuk menjalankan prosedur, tetapi untuk mewakili kepentingan masyarakat pada saat yang paling genting. Ketika rakyat sedang berjuang keluar dari kepungan banjir dan ancaman cuaca ekstrem masih membayangi, kehadiran pemimpin di tengah mereka bukan hanya harapan, tetapi bagian integral dari fungsi pemerintahan itu sendiri.
Krisis selalu membuka tabir kualitas kepemimpinan. Dan dalam krisis kali ini, publik Aceh Selatan memperlihatkan bahwa mereka memahami benar apa itu tanggung jawab seorang pemimpin: hadir, sigap, dan bersama rakyat, bukan pergi di saat masyarakat masih membutuhkan pengawasan dan kehadirannya.
Penulis: Missi Muizzan, putra asli Aceh Selatan sekaligus pendiri Yayasan Suar Galang Keadilan, telah menempuh perjalanan panjang dalam dunia kemanusiaan melalui kiprahnya di berbagai lembaga kemanusiaan internasional.





