RUU TNI dan Bayang-Bayang Dwi Fungsi

Share

NUKILAN.id | Opini – Pembahasan Rancangan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) kembali memicu perdebatan publik. Bukan hanya substansinya yang dipertanyakan, tetapi juga proses pembahasannya yang terkesan tertutup dan minim partisipasi. Dua isu utama mengemuka: pertama, dugaan adanya upaya mengembalikan Dwi Fungsi ABRI secara terselubung; kedua, lokasi pembahasan yang dinilai tidak mencerminkan transparansi dan efisiensi penggunaan anggaran negara.

Salah satu kritik keras datang dari Saiful Mujani, pendiri Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), yang mempertanyakan mengapa pembahasan RUU TNI dilakukan secara diam-diam di hotel mewah tanpa melibatkan akademisi, organisasi masyarakat (ormas), dan lembaga swadaya masyarakat (LSM). Pada 14-15 Maret 2025, Komisi I DPR RI menggelar rapat di Hotel Fairmont Jakarta. Pemilihan tempat ini pun memicu kontroversi, mengingat pemerintah sedang menggaungkan efisiensi anggaran. Bahkan, sekelompok orang dari Koalisi Masyarakat Sipil Reformasi Sektor Keamanan sempat melakukan aksi protes di lokasi.

Sekretaris Jenderal DPR, Indra Iskandar, berdalih bahwa rapat di hotel dilakukan karena pembahasan berlangsung secara maraton, sehingga para peserta bisa langsung beristirahat. Namun, alasan ini tidak cukup untuk meredakan kritik. Bukankah efisiensi anggaran seharusnya menjadi prioritas? Jika pembahasan ini memang penting dan melibatkan kepentingan nasional, mengapa tidak dilakukan di gedung DPR yang sudah disediakan untuk fungsi legislasi?

Lebih jauh, narasi yang berkembang di ruang publik adalah bahwa penyertaan TNI dalam jabatan sipil merupakan hal baru yang dimulai melalui RUU ini. Padahal, keterlibatan TNI dalam jabatan publik sudah berlangsung sejak 2004. Dulu, ada sepuluh lembaga yang menempatkan perwira aktif TNI dalam struktur sipil, dan kabarnya jumlah itu akan bertambah menjadi 16 lembaga dalam revisi undang-undang ini. Sayangnya, informasi yang berkembang tidak sepenuhnya transparan. Bahkan, menurut Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad, draf RUU yang dibahas di ruangan berbeda dengan versi yang beredar di publik. Jika benar, ini mengindikasikan ada pihak yang sengaja menciptakan kegaduhan.

Sejarah mencatat bahwa dominasi militer dalam politik dan ekonomi pada era Orde Baru meninggalkan trauma bagi banyak pihak. Saat itu, TNI tidak hanya menjadi alat pertahanan negara, tetapi juga berperan dalam pemerintahan, ekonomi, bahkan politik praktis. Reformasi 1998 berusaha mengakhiri praktik Dwi Fungsi ABRI agar supremasi sipil tetap terjaga. Oleh karena itu, setiap perubahan terkait peran TNI dalam sistem pemerintahan harus dicermati dengan seksama agar tidak membawa Indonesia kembali ke masa lalu yang suram.

Namun, di sisi lain, ada pandangan yang menilai bahwa keterlibatan TNI dalam jabatan sipil dapat memberikan solusi terhadap berbagai permasalahan di pemerintahan. Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD, misalnya, pernah mengungkapkan bahwa setelah reformasi, jabatan-jabatan strategis diberikan sepenuhnya kepada sipil karena trauma Dwi Fungsi ABRI. Akan tetapi, justru setelah itu, korupsi semakin menjadi-jadi. Pernyataan ini, meskipun kontroversial, seolah memberikan pembenaran bahwa TNI dapat mengisi posisi tertentu dalam birokrasi sipil.

Politisi Partai Demokrat, Rahlan Nasidq, memiliki pandangan yang lebih moderat. Menurutnya, TNI aktif boleh ditempatkan di jabatan sipil, tetapi harus dalam sektor yang berkaitan langsung dengan pertahanan negara. Misalnya, dalam lembaga yang menangani penanggulangan terorisme atau pemberantasan narkotika. Jika tugas tersebut masih selaras dengan fungsi utama TNI dalam menjaga kedaulatan negara, maka tidak ada alasan untuk menolaknya. Apalagi, tantangan keamanan nasional semakin kompleks, melibatkan ancaman terorisme, perdagangan narkoba, dan kejahatan transnasional yang tidak bisa ditangani hanya oleh kepolisian.

Terlepas dari pro dan kontra ini, yang paling penting adalah proses pembahasan RUU TNI harus dilakukan secara transparan dan melibatkan masyarakat. Keputusan yang diambil nantinya akan berdampak pada struktur pemerintahan dan stabilitas demokrasi di Indonesia. Jika pembahasan ini dilakukan secara tertutup dan tergesa-gesa, wajar jika muncul kecurigaan bahwa ada agenda tersembunyi di baliknya.

Demokrasi yang sehat menuntut adanya partisipasi publik dalam setiap kebijakan yang menyangkut kepentingan nasional. Jika benar RUU TNI tidak bertujuan menghidupkan kembali Dwi Fungsi ABRI, maka keterbukaan adalah jalan terbaik untuk membuktikannya. Karena jika tidak, bayang-bayang masa lalu akan terus menghantui, dan kita harus bertanya: apakah reformasi yang diperjuangkan selama lebih dari dua dekade benar-benar berarti? (XRQ)

Reporter: Akil

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

Read more

Local News