Tuesday, September 17, 2024
1

RUU Polri: Ancaman Senyap yang Mengintai Demokrasi Indonesia

NUKILAN.id | Opini – Pada Rabu, 29 Mei 2024, DPR secara senyap menyetujui Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri sebagai usul inisiatif. Salah satu perubahan yang mencolok adalah dalam Pasal 14 Ayat 1, yang mengusulkan perluasan kewenangan Polri, termasuk penyadapan sebagai tugas pokok. Pertanyaannya, ada apa di balik ini?

Selain Pasal 14 Ayat 1, draf RUU Polri juga menyisipkan Pasal 16a dan 16b. Pasal 16a mengatur tugas intelijen keamanan, termasuk deteksi dan peringatan dini terhadap ancaman. Intelijen keamanan (Intelkam) adalah intelijen yang diimplementasikan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri. Sementara Pasal 16b merinci metode pengumpulan informasi, di mana Polri bisa meminta bahan keterangan dari kementerian, lembaga pemerintah, dan lembaga lainnya, serta melakukan pemeriksaan aliran dana.

Jika diteliti lebih lanjut, Polri berpotensi menjadi superb investigator yang rentan penyalahgunaan wewenang dan intimidasi. Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto, pada Jumat, 31 Mei 2024, menyoroti risiko besar penyalahgunaan wewenang ini. Dengan usulan pasal tersebut, polisi bisa melakukan penyadapan tanpa izin kejaksaan, yang jelas rawan bagi kebebasan berekspresi dan berpendapat.

Hal ini bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi yang diresmikan pada 17 Oktober 2022. UU ini bertujuan menjaga hak privasi dan keamanan informasi setiap individu. Munculnya pasal-pasal dalam RUU Polri ini bisa dimaknai sebagai upaya intimidatif terhadap demokrasi.

Bambang juga menilai penambahan kewenangan ini berisiko tumpang tindih dengan Badan Intelijen Negara (BIN). Pengaturannya masih kabur dan rawan penyelewengan. Sebelum RUU Polri ini, penyadapan polisi diatur ketat dalam Peraturan Kapolri Nomor 5 Tahun 2010. Sebelum menyadap, Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) harus mengajukan izin ke Ketua Pengadilan Negeri setempat.

Di Indonesia, beberapa aparat penegak hukum seperti Kejaksaan, KPK, BNN, dan BIN bisa menyadap untuk mengungkap kejahatan luar biasa seperti korupsi, terorisme, dan narkotika. Namun, untuk Polri, kasus apa yang bisa diintai? Apakah kasus generalis atau spesifik?

Lalu, bagaimana kelanjutan RUU Polri yang memperluas wewenang penyadapan? Bagaimana respons Presiden Joko Widodo? Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur, pada Minggu, 2 Juni 2024, berharap Presiden Jokowi tidak mengeluarkan Surat Presiden (Surpres) untuk RUU Polri. Presiden punya waktu 60 hari untuk mengirim Surpres. Jika Jokowi setuju membahas RUU ini dengan DPR, publik bisa menduga ada udang di balik batu. Jangan-jangan RUU Polri ini memang disiapkan pemerintah dan diselipkan di ranah DPR.

Jika Presiden Jokowi mengirimkan Surpres, publik patut mempertanyakan komitmen beliau terhadap demokrasi dan perlindungan HAM. Perluasan kewenangan Polri tanpa pengawasan ketat hanya akan menambah daftar panjang masalah dalam sistem penegakan hukum kita. Demokrasi yang kita perjuangkan tidak boleh digadaikan demi kepentingan segelintir pihak. Apakah kita siap hidup di bawah bayang-bayang penyadapan tanpa batas? (XRQ)

Penulis: Akil Rahmatillah (Alumni Ilmu Pemerintahan USK)

spot_img
spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img

Must Read

- Advertisement -spot_img

Related News

- Advertisement -spot_img